Rabu, 16 April 2014

Membuka Tirai Hitam KPK

Oleh: Ali Thaufan DS

Apresiasi yang luar biasa disampaikan masyarakat atas kerja KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dinilai cukup baik. Sejak berdirinya, KPK telah menjadi momok bagi pecinta korupsi; menindak koruptor; musuh DPR; serta peringatan bagi pejabat tinggi negara. Wajar saja jika ada kewenangan KPK yang coba dibatasi dalam penangganan kasus korupsi. Tetapi, kini KPK terjebak dalam kasus suap yang menyeret mantan personilnya tersebut –meski belum sepenuhnya terbukti. Hal ini bisa mengundang keraguan masyarakat kepada KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.

Tulisan ini hadir dari: (1). pembacaan media atas isu serta dugaan yang menyebutkan mantan anggota KPK terlibat kasus suap, dan (2) pembacaan atas penanganan kasus oleh KPK yang sarat intervensi politik. Dalam beberapa pemberitaan media, dikabarkan bahwa mantan Deputi Penindakan KPK, Ade Raharja diduga menerima suap. Suap tersebut guna mengamankan kasus korupsi Hambalang. Jika demikian adanya, integritas KPK dalam memberantas korupsi perlu dipertanyakan, diragukan dan dicurigai.

Maraknya kasus korupsi yang bahkan semakin membudaya memaksa KPK kewalahan dalam penanganan. KPK harus berhadapan dengan lembaga tinggi negara, aparat penegak hukum seperti Polri, dewan perwakilan rakyat atau bahkan berhadapan dengan presiden sekalipun. Menurut Bambang Satriya, korupsi dilakukan oleh banyak oknum menguatkan oknum tersebut. Bahkan, mereka membentuk jaringan korup agar memudahkan dalam praktik korup nya. Maka, tidak menutup kemungkinan, jaringan oknum tersebut adalah KPK. Pasalnya, sebagai lembaga hukum KPK tidak mungkin bersih dari praktik korupsi dan suap. (Media Indonesia 17/04/2014)

Pemilihan ketua KPK yang dilakukan oleh DPR amat sulit terhindar dari proses lobi-lobi politik. Seperti diketahui, DPR kerap menjadi ajang mengukur kekuatan dan peta partai politik. Sehingga, sangat mungkin ketua KPK mempunyai tawar-menawar dengan anggota dewan tersebut. Tentu saja ini bukan perkara mudah bagi KPK. Sehingga penanganan suatu kasus terkadang lamban dan berlarut-larut. Penanganan kasus yang terkesan lamban tersebut mengantarkan penulis pada kesimpulan adanya lobi-lobi ditingkat elit KPK dalam pengambilan keputusan. Jika demikian faktanya, masyarakat perlu mengawal proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.

Sejak mencuatnya beberapa kasus yang ditangani KPK dan hingga saat ini tidak ada kejelasan, keraguan terhadapnya muncul. Apakah KPK sudah tidak lagi “garang”? Apakah KPK tersandra oleh kasus korupsi itu sendiri? Atau bahkan, ada “tangan tak terlihat” yang mengendalikan KPK? Pertanyaan ini sangat wajar diajukan bagi siapa saja yang melihat kerja KPK.

Beberapa kasus yang molor seperti: Century yang entah dimana ujungnya; Hambalang yang mengambang; serta kasus suap dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID), menyiratkan pesan bahwa KPK belum benar-benar tegas mengusut kasus. Terlebih jika menyangkut nama petinggi negara. Inilah, yang penulis maksud dengan tirai hitam KPK yang belum terbuka. Ditambah lagi adanya oknum internal KPK yang terlibat suap.


Sebagai lembaga hukum sekalipun, KPK perlu mendapat pengawasan agar ia tidak semena-mena menindak tetapi dirinya terjerat kasus hukum. Atau, jika pada akhirnya KPK menjadi ajang suap-menyuap guna mengamankan kasus, maka lebih baik KPK ditiadakan. Apalah artinya menambah lembaga hukum jika ia melanggar hukum. Cukup dengan kejaksaan dan Polri, dengan catatan keduanya harus “dibersihkan” dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar