Oleh: Ali Thaufan
DS
Apresiasi yang
luar biasa disampaikan masyarakat atas kerja KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
yang dinilai cukup baik. Sejak berdirinya, KPK telah menjadi momok bagi pecinta
korupsi; menindak koruptor; musuh DPR; serta peringatan bagi pejabat tinggi
negara. Wajar saja jika ada kewenangan KPK yang coba dibatasi dalam penangganan
kasus korupsi. Tetapi, kini KPK terjebak dalam kasus suap yang menyeret mantan
personilnya tersebut –meski belum sepenuhnya terbukti. Hal ini bisa mengundang keraguan
masyarakat kepada KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Tulisan ini hadir
dari: (1). pembacaan media atas isu serta dugaan yang menyebutkan mantan
anggota KPK terlibat kasus suap, dan (2) pembacaan atas penanganan kasus oleh
KPK yang sarat intervensi politik. Dalam beberapa pemberitaan media, dikabarkan
bahwa mantan Deputi Penindakan KPK, Ade Raharja diduga menerima suap. Suap tersebut
guna mengamankan kasus korupsi Hambalang. Jika demikian adanya, integritas KPK
dalam memberantas korupsi perlu dipertanyakan, diragukan dan dicurigai.
Maraknya kasus
korupsi yang bahkan semakin membudaya memaksa KPK kewalahan dalam penanganan.
KPK harus berhadapan dengan lembaga tinggi negara, aparat penegak hukum seperti
Polri, dewan perwakilan rakyat atau bahkan berhadapan dengan presiden sekalipun.
Menurut Bambang Satriya, korupsi dilakukan oleh banyak oknum menguatkan oknum
tersebut. Bahkan, mereka membentuk jaringan korup agar memudahkan dalam praktik
korup nya. Maka, tidak menutup kemungkinan, jaringan oknum tersebut adalah KPK.
Pasalnya, sebagai lembaga hukum KPK tidak mungkin bersih dari praktik korupsi
dan suap. (Media Indonesia 17/04/2014)
Pemilihan ketua
KPK yang dilakukan oleh DPR amat sulit terhindar dari proses lobi-lobi politik.
Seperti diketahui, DPR kerap menjadi ajang mengukur kekuatan dan peta partai politik.
Sehingga, sangat mungkin ketua KPK mempunyai tawar-menawar dengan anggota dewan
tersebut. Tentu saja ini bukan perkara mudah bagi KPK. Sehingga penanganan
suatu kasus terkadang lamban dan berlarut-larut. Penanganan kasus yang terkesan
lamban tersebut mengantarkan penulis pada kesimpulan adanya lobi-lobi ditingkat
elit KPK dalam pengambilan keputusan. Jika demikian faktanya, masyarakat perlu
mengawal proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.
Sejak mencuatnya
beberapa kasus yang ditangani KPK dan hingga saat ini tidak ada kejelasan,
keraguan terhadapnya muncul. Apakah KPK sudah tidak lagi “garang”? Apakah KPK
tersandra oleh kasus korupsi itu sendiri? Atau bahkan, ada “tangan tak terlihat”
yang mengendalikan KPK? Pertanyaan ini sangat wajar diajukan bagi siapa saja
yang melihat kerja KPK.
Beberapa kasus
yang molor seperti: Century yang entah dimana ujungnya; Hambalang yang
mengambang; serta kasus suap dana percepatan
pembangunan infrastruktur daerah (DPPID), menyiratkan pesan bahwa KPK belum
benar-benar tegas mengusut kasus. Terlebih jika menyangkut nama petinggi
negara. Inilah, yang penulis maksud dengan tirai hitam KPK yang belum terbuka. Ditambah
lagi adanya oknum internal KPK yang terlibat suap.
Sebagai
lembaga hukum sekalipun, KPK perlu mendapat pengawasan agar ia tidak
semena-mena menindak tetapi dirinya terjerat kasus hukum. Atau, jika pada akhirnya
KPK menjadi ajang suap-menyuap guna mengamankan kasus, maka lebih baik KPK
ditiadakan. Apalah artinya menambah lembaga hukum jika ia melanggar hukum. Cukup
dengan kejaksaan dan Polri, dengan catatan keduanya harus “dibersihkan” dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar