Selasa, 01 April 2014

Pemikiran Hadis Syah Waliyullah al-Dahlawî (Pembacaan Atas Buku “Hujjah Allah al-al-Bâligha”)

Ali Thaufan DS

Pendahuluan
Sebagai sumber panduan berislam, hadis memiliki posisi yang cukup penting. Memahami hadis secara utuh menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap muslim, terlebih akademisi ilmu hadis. Dalam tiga abad terakhir, banyak para pengkaji hadis muncul dari kalangan non muslim (orientalis). Para pemikir pembaru muslim kemudian memberikan respon. Diantaranya ada yang “mengamini” atas hasil temuan atau kajian orientalis, ada yang menguatkan dan ada pula yang memberikan sanggahan dan menolaknya.

Diantara nama-nama para pembaru pemikiran Islam, nama Syah Waliyullah al-Dahlawî tidak begitu tenar seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Namun, ia telah memberi sumbangsih pemikiran dibidang tafsir dan hadis. Tulisan ini ingin menjelaskan seputar: sekilas biografi Syah Waliyullah al-Dahlawî dan pemikirannya dibidang ilmu hadis yang meliputi kategorisasi atau pembagian hadis/sunnah, tingkatan hadis, reputasi kitab-kitab hadis, sikap dalam menghadapi hadis yang bertentangan serta prinsip para ulama hadis dalam menilai sebuah hadis untuk pengambilan hukum.

Sekilas Biografi Syah Waliyullah al-Dahlawî
Syah Waliyullah al-Dahlawî adalah “embrio” bagi lahirnya tokoh-tokoh pembaruan Islam. Ia memberi reaksi positif atas perubahan situasi dan perkembangan dunia modern melalui karyanya Hujjah Allâh al-Bâligha[1] dan Taqwîl al-Hadîth fî Rumûz Qisâs al-Anbiyâ. Karya yang kedua, membahas mengenai kemukjizatan hukuman yang terkandung dalam al-Qur’an, balasan bagi siapa saja yang memusuhi nabi.[2] Al-Dahlawî lahir pada 14 Syawwal 1114 H/1704 M di kota Delhi India.[3] Ia disebut sebagai pemikir revolusioner Islam di bidang teologi dan pelopor penterjemah al-Qur’an dalam bahasa Persia.[4] Ayahnya bernama Syah Abdu al-Rahim seorang ulama terkenal di Delhi. Al-Dahlawî dibesarkan di lingkungan pendidikan.

Sayyid Sabiq membagi perjalanan intelektual al-Dahlawî menjadi tiga tahap. Pertama, menghafalkan al-Qur’an dan sunnah. Bahkan ia telah hafal al-Qur’an di umur tujuh tahun. Kedua, mempelajari kajian-kajian agama, seperti ilmu bahasa, tafsir, hadis, fiqh, ushul, tasawwuf, aqidah, mantiq, kedokteran, filsafat, dan berhitung/matematika. Ia menyelesaikannya dalam usia 15 tahun. Ketiga, perjalalan ke Hijaz. Diceritakan bahwa ia banyak menimba ilmu dari ulama di Hijaz. Sepulangnya dari Hijaz, ia mencurahkan hidupnya untuk mengajar dan mendidik.[5]

Al-Dahlawî meninggal pada 1776. Ia meninggalkan banyak karya tulisnya. Diantaranya: Dibidang ilmu hadis adalah kitab al-Musawâ dan Mushaffâ yang merupakan ulasan kitab Muwaththa Imam Malik, Syarh Tarâjim al-Abwâb li al-Bukharî, al-Nawâdir min Ahâdis Sayyid al-Awâil wa al-Awâhkir, al-Arba’în, al-Dûr al-Samîn fî Mubsyirâ al-Nabî al-Amîn, al-Irsyâd fî Muhimma al-Isnâd. Karyanya di bidang tafsir tertuang dalam kitab Fathu al-Rahmân fî Tarjama al-Qur’ân, al-Zahrawain, al-Fawz al-Kabîr, Ta’wîl al-Ahâdist, Fathu al-Munîr. Karya dibidang ilmu Ushuluddin, kitab Hujjah Allah al-Bâligha, Izâlah al-Khafâ ‘an Khilâfah al-Khulafâ, Hasan al-‘Akîdah, al-Inshâf. Dan masih banyak lagi karya lainnya.[6]

Pemikiran Hadis Syah Waliyullah al-Dahlawî
Seperti telah penulis jelaskan pada judul tulisan ini, penulis hanya menjabarkan pemikiran al-Dahlawî di bidang ilmu hadis dari salah satu karyanya, Hujjah Allâh al-Bâligha. Buku tersebut memang tidak secara khusus membahas ilmu hadis, tetapi ada beberapa bab yang menyinggung mengenai ilmu hadis.

Al-Dahlawî menjelaskan bahwa terdapat dua ilmu nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, yakni: ilmu nabi yang menjadi pedomannya dalam menyebarkan  risâlah dan ilmu nabi yang tidak termasuk dalam urusan penyebaran  risâlah.[7] Dengan kata lain, hadis nabi mencakup hadis sebagai tablîgh al-risâlah dan ghairu tablîgh al- risâlah.[8] Tablîgh al-risâlah merupakan hadis atau sunnah nabi yang substansinya berkaitan dengan perintah dalam ajaran Islam. Sedangkan gharu tablîgh al-risâlah adalah hadis atau sunnah nabi yang tidak berkaitan dengan perintah ajaran agama Islam.

Jenis ilmu yang pertama (tablîgh risâlah) meliputi: ilmu akhirat yang didasarkan pada al-Qur’an; syariat dan ketentuan ibadah; kebijakan praktis dan kemaslahatan mutlak; dan keutamaan amalan dan keistimewaan bagi orang yang mengerjakan kebajikan. Berkenaan hal ini, al-Dahlawî menyandarkan pada firman Allah Surah al-Hasyr: 7.

“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...

Sedangkan jenis yang kedua adalah informasi tentang keseharian nabi, bukan dalam konteks ritual keagamaan. Terhadap jenis yang kedua ini, al-Dahlawî menyandarkan pada hadis nabi: “Aku hanya manusia biasa. Jika aku memerintahkan kamu dalam suatu urusan menurut pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku hanya manusia biasa”.[9]

Berkaitan dengan hal itu, Majid Khon memaparkan bahwa terdapat dua kategori hadis atau sunnah menurut al-Dahlawî, yakni: hadis tasyrî’i dan bukan tasyrî’i. Hal ini menunjukkan bahwa ada semacam pemilahan hadis. Hadis tasyrî’i yang harus diamalkan dan ghairu tasyrî’i yang tidak wajib diamalkan.[10]

Pembagian semacam ini, menurut Munawir, dilakukan al-Dahlawî dalam menjawab kegelisahannya atas pemahaman umat Islam terhadap hadis. hal itu menjadi penting, karena saat ini banyak umat Islam hanya memahami hadis secara tekstualis. Sehingga dibutuhkan pemahaman secara utuh terhadap hadis. Oleh sebab itu, pembagian –hadis  risâlah dan ghairu  risâlah- menjadi sesuatu yang amat penting. Umat Islam perlu memahami hadis baik secara teks maupun konteks.[11]

Selain pembagian hadis di atas, al-Dahlawî memberikan perhatian tentang tingkatan hadis. Menurutnya, ada empat tingkatan hadis, yakni: 1). Hadis-hadis mutawatir. 2). Hadis yang memiliki jalur periwayatan yang banyak. 3). Hadis sahîh dan 4). Hadis dhaif, palsu dan hadis yang sanadnya terputus. Untuk tingkatan hadis yang terakhir, tidak ada alasan untuk menerimanya.

Selain tingkatan hadis, al-Dahlawî juga memiliki penilaian terhadap kitab-kitab hadis. Penilaian itu didasarkan pada hadis-hadis yang dihimpun dalam kitab hadis. Menurutnya, ada beberapa kitab hadis yang memiliki reputasi sangat baik, begitu juga dengan sebaliknya. Kitab hadis yang memiliki reputasi tinggi atau tingkatan pertama: al-Muwaththa’, sahîh al-Bukharî dan sahîh Muslim. Terkait kitab al-Muwaththa’, al-Dahlawî mengutip pendapat al-Syafi’i yang berkata bahwa kitab paling sahîh setelah al-Qur’an adalah al-Muwaththa’. Pujian al-Dahlawî juga ditunjukkan pada dua kitab hadis sahîh, sahîh Bukhari dan Muslim. Dengan mengutip pendapat para ulama hadis, ia mengatakan bahwa jika ada hadis yang terputus dalam kedua kitab tersebut, pasti memiliki periwayatan yang sahîh. Ia juga mengecam bagi siapa saja yang memandang rendah kedua kitab tersebut. Bahkan al-Dahlawî menyebutnya sebagai orang yang menyimpang dari agama.[12]

Kitab hadis yang memiliki tingkatan kedua atau reputasi terbaik setelah ketiga kitab di atas –al-Muwaththa’, sahîh al-Bukharî dan sahîh Muslim- adalah: Sunan Abî Dawûd, Jamî’ Tirmidzî dan al-Mujtaba karya Nasa’î. Menurut al-Dahlawî, reputasi kitab-kitab ini tidak seperti reputasi kitab pertama, tetapi hampir mendekati. Hal ini dikarenakan pengarang kitab yang dapat dipercaya; memiliki daya hapalan yang kuat; adil; pengetahuan yang luas terhadap ilmu hadis.[13]

Tingkatan ketiga adalah kitab-kitab Musnad, Jamî’ dan Mushannaf yang disusun sebelum dan setelah generasi al-Bukharî dan Muslim. Al-Dahlawî berpendapat bahwa kitab ini menghimpun hadis sahîh, hasan, dhaif, tidak lazim, dan hadis yang ditolak. Diantara kitab-kitab tingkatan ini, adalah: Musnad Abû Ali, Mushannaf Abd Razzak, Mushannaf Abû Bakar Ibn Syaibah dan Musnad Abd Ibn Humaid.

Kitab hadis tingkatan ke empat adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis yang tidak didapati pada kitab-kitab di tingkatan pertama dan kedua. Umumnya, hadis-hadis pada kitab tingkatan ketiga didominasi dengan riwayat hadis yang tidak tercatat, hadis yang disampaikan para penceramah, ahli bid’ah dan orang yang tidak dapat dipercaya. Bahkan, kisah-kisah israiliyat pun kerap dimasukkan dalam kitab hadis ini (tingkatan keempat). Diantara kitab hadis tersebut antara lain: Kitab al-Dhua’fa karya Ibn Hibbân, al-Kamil karya Ibn Âdi serta kitab-kitab hadis karya al-Khâtib, al-Juwaini, Ibn Askîr, Ibn Najjâr dan al-Daylami. Al-Dahlawî menambahkah, bahwa hadis-hadis pada tingkatan keempat ini kerap digunakan oleh sekte Rafidah, Muktazilah dan sekte lainya guna mendukung paham mereka. Sedangkan tingkatan kelima adalah mereka yang memalsukan hadis. Sengaja membuat mata rantai sanad tetapi untuk memanipulasi sebuah hadis. Al-Dahlawî tidak menyebutkan nama kitab yang termasuk dalam golongan tingkatan kelima ini.[14]

Perhatian al-Dahlawî dibidang ilmu hadis juga ia curahkah berkenaan dengan cara memahami makna hukum baik hadis maupun al-Qur’an. Menurutnya, cara untuk memahami makna tersebut adalah: memahami atas apa yang dijelaskan al-Qur’an dan hadis; memahami tingkatan makna dari sabda nabi;[15] memahami makna yang disampaikan sahabat; dan memahami tujuan dari hukum itu sendiri.[16]

Mengenai hadis-hadis yang bertentangan, al-Dahlawî juga memberikan perhatiannya. Menurutnya, pada dasarnya tidak ada hadis yang saling bertentangan. Pertentangan itu hanya dari sudut pandang orang yang membaca hadis. Ia menyontohkan: Seorang sahabat berkata bahwa nabi melakukan sesuatu dan sahabat lain mengatakan bahwa nabi mengerjakan sesuatu yang lain, maka sesungguhnya tidak ada pertentangan antara keduanya. Kedua perbuatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan yang dibolehkan.[17]

Memang, al-Dahlawî tidak menafikan hadis-hadis yang secara teks bertentangan. Sebagaimana sabda nabi saat ditanyai oleh orang tua mengenai larangan atau kebolehan mencium istri pada saat berpuasa. Nabi memberi jawaban dengan membolehkan orang tua mencium istrinya pada saat berpuasa. Sedangkan nabi memberi larangan mencium istri ketika ditanyai oleh seorang pemuda.[18]

Lebih lanjut menurut al-Dahlawî, jika tidak mungkin mendamaikan hadis yang bertentangan maka dilakukan langkah untuk memilih salah satu hadis itu. Pemilihan itu harus didasarkan dengan penelitian kualitas sanad; kualitas matan; dan kesesuaian hukum dengan al-Qur’an.[19] Atas pembacaan konsep al-Dahlawî dalam menghadapi hadis yang bertentangan, penulis berkesimpulan perlunya mengetahui sabab wurud sebuah hadis; mengetahui konteks hadis tersebut; dan kritik sanad dan matan guna mengetahui kualitasnya hadis tersebut.

Dalam menilai sebuah hadis, al-Dahlawî menjelaskan prinsip yang biasanya dilakukan oleh para ulama hadis. Yakni: jika menemukan ayat al-Qur’an tentang suatu maslah, tidak boleh berpaling dari ayat itu; jika suatu ayat mengandung berbagai penafsiran, sunnah dapat dipergunakan membantu penjelasan; jika ulama hadis tidak menemukan jawaban suatu masalah didalam al-Qur’an, ulama hadis mempergunakan sunnah Rasulullah; jika terdapat hadis mengenai suatu masalah, tidak boleh mengikuti atsar para sahabat atau ijtihad yang dapat bertentangan; jika mendapati masalah dan tidak ada dalil hadis yang menerangkan, maka merujuk pada pendapat sahabat dan tabiin yang tidak terbatas pada kelompok atau wilayah tertentu; apabilah mayoritas ulama dan khalifah menyepakati atas masalah tertentu, ulama hadis akan mengikutinya; jika ada ulama yang berbeda pendapat, ia akan meminta pendapat pada ulama yang menguasai bidang keilmunya; jika dalam suatu masalah mereka menjumpai dua pendapat yang sama kuat, kedua sama-sama dianggap sebagai pendapat yang sah.

Urutan-urutan penilaian hadis yang dilakukan para ulama dan dijelaskan al-Dahlawî di atas, menunjukkan adanya “herarki” pengambilan hukum berdasarkan hadis. Al-Dahlawî menyontohkan beberapa kasus yang terjadi pada Abu Bakar. Bahwa ketika terdapat masalah tertentu, Abu Bakar mencari dalil al-Qur’an. Ketika tidak mendapatinya, ia merujuk pada hadis nabi. Ketika tidak didapati juga, ia mengajak para ulama untuk memecahkan masalah tersebut. hal serupa juga dilakukan oleh Umar ibn Khattab[20]

Pembagaian atau kategorisasi hadis tablîgh risâlah dan ghairu  risâlah yang dijelaskan di atas tidak luput dari kritikan. Dalam tesisnya, Munawir menjelaskan kekurangan dikotomi antara tablîgh risâlah dan ghairu  risâlah. Menurutnya, konsep tipologi ini akan cenderung pada subjektif. Sangat berkaitan dengan pandangan orang tertentu. Karena dikotomi tersebut hanya didasarkan pada teks verbal, maka ajaran didalamnya akan jarang sekali tersentuh. Munawir menawarkan gagasan agar dikotomi tidak sebatas teks verbal, tetapi lebih luas lagi pada nilai-nilai universal yang terkandung didalamnya.[21]

Penutup
Pembagian ilmu nabi oleh al-Dahlawî menunjukkan bahwa terdapat hadis dan sunnah nabi sesuai dengan posisi nabi. Adakalanya sabda nabi pada saat nabi sebagai rasul utusan Allah, karenanya sabdanya harus dijadikan landasan hukum bagi umat Islam. Tetapi, ada pula sabda nabi saat ia diposisi sebagai manusia biasa, karenanya tidak wajib untuk diamalkan atau dijadikan landasan hukum. Pembagian hadis seperti ini dapat memudahkan para ahli fiqh dalam penetapan sebuah hukum.

Selain kategorisasi hadis di atas, al-Dahlawî mencurahkan perhatiannya pada kitab-kitab hadsi yang patut dijadikan rujukan –seperti al-Muwaththa’, sahîh al-Bukharî dan sahîh Muslim. Dalam menghadapi hadis yang terkesan bertentangan, al-Dahlawî juga memberikan pemikirannya dengan melakukan penelitian kualitas sanad; matan; dan kesesuaian hukum dengan al-Qur’an.



[1] Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Argumen Puncak Allah: Kearifan dan Dimensi Batin Syariat”.
[2] Menurut Baljon, Pemikiran al-Dahlawî lahir ditengah Kerajaan Moghul sedang dalam cerai-berai. Ditambah lagi arus pemikiran Barat yang begitu deras. Melalui karyanya tersebut (Hujjah Allah al-Bâligha), al-Dahlawî berupaya mamasukkan gagasan yang lahir dari Barat dengan menunjukkan pemikiran Islam yang rasional. Lihat: J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h 4
[3] Dalam buku versi bahasa Indonesia menyebut lahir pada 04 Syawwal 1214 H
[4] E. Van Donzel. ed, The Encyclopaedia Of Islâm, (Leiden: E. J. Brill, 1997), Vol 2, h. 254.
[5] Dalam buku versi bahasa Indonesia, di ceritakan guru-gurunya yang banyak memberikan pengaruh bagi al-Dahlawî adalah Abû Thâhir al-Kurdi al-Madanî (w. 1733), Wafd Allah al-Makka dan Taj al-Dîn al-Qalâ’i al-Hanafî (w. 1734).
[6] Sayyid Sabiq (editor) dalam: Syah Waliyullah al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, (Beirut: Dâr al-Jîl, 2005), h. 12-16. Lihat pula dalam buku versi bahasa Indonesia, h. 686.
[7] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 223-224
[8] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 198. Lihat juga: Munawir, “Tipologi Pembagian Hadis: Risalah dan Ghairu Risalah (Sebuah Rekonstruksi Pemikiran Hadis Al-Dahlawî)”, (Tesis S2 UIN Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 7
[9] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 224
[10] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, h. 198
[11] Munawir, “Tipologi Pembagian Hadis: Risalah dan Ghairu Risalah...”, h. 6
[12] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 231-232
[13] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 232
[14] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 233-234
[15]al-Dahlawî memberikan contoh hadis Nabi: “Berhati-hatilah terhadap dua hal yang menyebabkanmu dikutuk” dan “Mata adalah tali kekang perbuatan”. Hadis pertama dijelaskan dengan membaca secara utuh konteks hadis tersebut. Bahwa kutukan itu adalah bagi orang yang membuang air besar di bawah rindangnya pohon kurma.
[16] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 237-238
[17] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 238
[18] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 240
[19] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 240-241
[20] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 255-256
[21] Munawir, “Tipologi Pembagian Hadis”, h. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar