Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Sebagai sumber panduan berislam, hadis memiliki posisi yang cukup
penting. Memahami hadis secara utuh menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap
muslim, terlebih akademisi ilmu hadis. Dalam tiga abad terakhir, banyak para
pengkaji hadis muncul dari kalangan non muslim (orientalis). Para pemikir pembaru
muslim kemudian memberikan respon. Diantaranya ada yang “mengamini” atas hasil
temuan atau kajian orientalis, ada yang menguatkan dan ada pula yang memberikan
sanggahan dan menolaknya.
Diantara nama-nama para pembaru pemikiran Islam, nama Syah
Waliyullah al-Dahlawî tidak begitu tenar seperti Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Namun, ia telah memberi sumbangsih pemikiran
dibidang tafsir dan hadis. Tulisan ini ingin menjelaskan seputar: sekilas
biografi Syah Waliyullah al-Dahlawî dan pemikirannya dibidang ilmu hadis yang
meliputi kategorisasi atau pembagian hadis/sunnah, tingkatan hadis, reputasi kitab-kitab
hadis, sikap dalam menghadapi hadis yang bertentangan serta prinsip para ulama
hadis dalam menilai sebuah hadis untuk pengambilan hukum.
Sekilas Biografi Syah Waliyullah al-Dahlawî
Syah Waliyullah
al-Dahlawî adalah “embrio” bagi lahirnya tokoh-tokoh pembaruan Islam. Ia memberi reaksi positif
atas perubahan situasi dan perkembangan dunia modern melalui karyanya Hujjah
Allâh al-Bâligha[1] dan Taqwîl al-Hadîth
fî Rumûz Qisâs al-Anbiyâ. Karya yang kedua, membahas mengenai kemukjizatan hukuman
yang terkandung dalam al-Qur’an, balasan bagi siapa saja yang memusuhi nabi.[2] Al-Dahlawî lahir pada 14 Syawwal 1114 H/1704 M di kota Delhi India.[3] Ia disebut
sebagai pemikir revolusioner Islam di bidang teologi dan pelopor penterjemah
al-Qur’an dalam bahasa Persia.[4] Ayahnya bernama
Syah Abdu al-Rahim seorang ulama terkenal di Delhi. Al-Dahlawî dibesarkan di
lingkungan pendidikan.
Sayyid
Sabiq membagi perjalanan intelektual al-Dahlawî menjadi tiga tahap. Pertama,
menghafalkan al-Qur’an dan sunnah. Bahkan ia telah hafal al-Qur’an
di umur tujuh tahun. Kedua, mempelajari kajian-kajian agama, seperti ilmu bahasa, tafsir, hadis, fiqh, ushul, tasawwuf, aqidah, mantiq, kedokteran, filsafat, dan
berhitung/matematika. Ia menyelesaikannya dalam usia 15 tahun. Ketiga, perjalalan ke Hijaz. Diceritakan bahwa
ia banyak menimba ilmu dari ulama di Hijaz. Sepulangnya dari Hijaz, ia mencurahkan
hidupnya untuk mengajar dan mendidik.[5]
Al-Dahlawî
meninggal pada 1776. Ia meninggalkan banyak karya tulisnya.
Diantaranya: Dibidang ilmu hadis adalah kitab
al-Musawâ dan Mushaffâ yang merupakan ulasan kitab Muwaththa Imam
Malik, Syarh Tarâjim al-Abwâb li al-Bukharî, al-Nawâdir min Ahâdis Sayyid al-Awâil
wa al-Awâhkir, al-Arba’în, al-Dûr al-Samîn fî Mubsyirâ al-Nabî al-Amîn,
al-Irsyâd fî Muhimma al-Isnâd. Karyanya di bidang tafsir tertuang dalam kitab Fathu
al-Rahmân fî Tarjama al-Qur’ân, al-Zahrawain, al-Fawz al-Kabîr, Ta’wîl al-Ahâdist,
Fathu al-Munîr. Karya dibidang ilmu Ushuluddin, kitab Hujjah Allah al-Bâligha, Izâlah
al-Khafâ ‘an Khilâfah al-Khulafâ, Hasan al-‘Akîdah, al-Inshâf. Dan masih banyak
lagi karya lainnya.[6]
Pemikiran Hadis Syah Waliyullah al-Dahlawî
Seperti telah penulis jelaskan pada judul tulisan ini, penulis
hanya menjabarkan pemikiran al-Dahlawî di bidang ilmu hadis dari salah satu
karyanya, Hujjah Allâh al-Bâligha. Buku
tersebut memang tidak secara khusus membahas ilmu hadis, tetapi ada beberapa
bab yang menyinggung mengenai ilmu hadis.
Al-Dahlawî menjelaskan bahwa terdapat dua ilmu nabi yang terdapat
dalam kitab-kitab hadis, yakni: ilmu nabi yang menjadi pedomannya dalam
menyebarkan risâlah dan ilmu nabi yang
tidak termasuk dalam urusan penyebaran risâlah.[7] Dengan kata lain, hadis
nabi mencakup hadis sebagai tablîgh al-risâlah dan ghairu tablîgh al- risâlah.[8] Tablîgh al-risâlah
merupakan hadis atau sunnah nabi yang substansinya berkaitan dengan perintah
dalam ajaran Islam. Sedangkan gharu tablîgh al-risâlah adalah hadis atau sunnah
nabi yang tidak berkaitan dengan perintah ajaran agama Islam.
Jenis ilmu yang pertama (tablîgh risâlah) meliputi: ilmu akhirat
yang didasarkan pada al-Qur’an; syariat dan ketentuan ibadah; kebijakan praktis
dan kemaslahatan mutlak; dan keutamaan amalan dan keistimewaan bagi orang yang
mengerjakan kebajikan. Berkenaan hal ini, al-Dahlawî menyandarkan pada firman
Allah Surah al-Hasyr: 7.
“...
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...”
Sedangkan jenis yang kedua adalah informasi tentang keseharian nabi,
bukan dalam konteks ritual keagamaan. Terhadap jenis yang kedua ini, al-Dahlawî
menyandarkan pada hadis nabi: “Aku hanya manusia biasa. Jika aku memerintahkan
kamu dalam suatu urusan menurut pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku hanya
manusia biasa”.[9]
Berkaitan dengan hal itu, Majid Khon memaparkan bahwa terdapat dua
kategori hadis atau sunnah menurut al-Dahlawî, yakni: hadis tasyrî’i dan bukan tasyrî’i.
Hal ini menunjukkan bahwa ada semacam pemilahan hadis. Hadis tasyrî’i yang
harus diamalkan dan ghairu tasyrî’i yang tidak wajib diamalkan.[10]
Pembagian semacam ini, menurut Munawir, dilakukan al-Dahlawî dalam
menjawab kegelisahannya atas pemahaman umat Islam terhadap hadis. hal itu
menjadi penting, karena saat ini banyak umat Islam hanya memahami hadis secara
tekstualis. Sehingga dibutuhkan pemahaman secara utuh terhadap hadis. Oleh
sebab itu, pembagian –hadis risâlah dan
ghairu risâlah- menjadi sesuatu yang
amat penting. Umat Islam perlu memahami hadis baik secara teks maupun konteks.[11]
Selain pembagian hadis di atas, al-Dahlawî memberikan perhatian
tentang tingkatan hadis. Menurutnya, ada empat tingkatan hadis, yakni: 1).
Hadis-hadis mutawatir. 2). Hadis yang memiliki jalur periwayatan yang banyak.
3). Hadis sahîh dan 4). Hadis dhaif, palsu dan hadis yang sanadnya terputus.
Untuk tingkatan hadis yang terakhir, tidak ada alasan untuk menerimanya.
Selain tingkatan hadis, al-Dahlawî juga memiliki penilaian terhadap
kitab-kitab hadis. Penilaian itu didasarkan pada hadis-hadis yang dihimpun
dalam kitab hadis. Menurutnya, ada beberapa kitab hadis yang memiliki reputasi
sangat baik, begitu juga dengan sebaliknya. Kitab hadis yang memiliki reputasi tinggi
atau tingkatan pertama: al-Muwaththa’, sahîh al-Bukharî dan sahîh Muslim.
Terkait kitab al-Muwaththa’, al-Dahlawî mengutip pendapat al-Syafi’i yang
berkata bahwa kitab paling sahîh setelah al-Qur’an adalah al-Muwaththa’. Pujian
al-Dahlawî juga ditunjukkan pada dua kitab hadis sahîh, sahîh Bukhari dan
Muslim. Dengan mengutip pendapat para ulama hadis, ia mengatakan bahwa jika ada
hadis yang terputus dalam kedua kitab tersebut, pasti memiliki periwayatan yang
sahîh. Ia juga mengecam bagi siapa saja yang memandang rendah kedua kitab
tersebut. Bahkan al-Dahlawî menyebutnya sebagai orang yang menyimpang dari
agama.[12]
Kitab hadis yang memiliki tingkatan kedua atau reputasi terbaik setelah
ketiga kitab di atas –al-Muwaththa’, sahîh al-Bukharî dan sahîh Muslim- adalah:
Sunan Abî Dawûd, Jamî’ Tirmidzî dan al-Mujtaba
karya Nasa’î. Menurut al-Dahlawî,
reputasi kitab-kitab ini tidak seperti reputasi kitab pertama, tetapi hampir
mendekati. Hal ini dikarenakan pengarang kitab yang dapat dipercaya; memiliki
daya hapalan yang kuat; adil; pengetahuan yang luas terhadap ilmu hadis.[13]
Tingkatan ketiga adalah kitab-kitab Musnad, Jamî’ dan Mushannaf
yang disusun sebelum dan setelah generasi al-Bukharî dan Muslim. Al-Dahlawî
berpendapat bahwa kitab ini menghimpun hadis sahîh, hasan, dhaif, tidak lazim,
dan hadis yang ditolak. Diantara kitab-kitab tingkatan ini, adalah: Musnad Abû Ali, Mushannaf
Abd Razzak, Mushannaf Abû Bakar Ibn
Syaibah dan Musnad Abd Ibn Humaid.
Kitab hadis tingkatan ke empat adalah kitab hadis yang menghimpun
hadis-hadis yang tidak didapati pada kitab-kitab di tingkatan pertama dan
kedua. Umumnya, hadis-hadis pada kitab tingkatan ketiga didominasi dengan
riwayat hadis yang tidak tercatat, hadis yang disampaikan para penceramah, ahli
bid’ah dan orang yang tidak dapat dipercaya. Bahkan, kisah-kisah israiliyat pun
kerap dimasukkan dalam kitab hadis ini (tingkatan keempat). Diantara kitab
hadis tersebut antara lain: Kitab al-Dhua’fa karya Ibn Hibbân, al-Kamil
karya Ibn Âdi serta
kitab-kitab hadis karya al-Khâtib, al-Juwaini, Ibn Askîr, Ibn Najjâr dan
al-Daylami. Al-Dahlawî menambahkah, bahwa hadis-hadis pada tingkatan keempat
ini kerap digunakan oleh sekte Rafidah, Muktazilah dan sekte lainya guna
mendukung paham mereka. Sedangkan tingkatan kelima adalah mereka yang
memalsukan hadis. Sengaja membuat mata rantai sanad tetapi untuk memanipulasi
sebuah hadis. Al-Dahlawî tidak menyebutkan nama kitab yang termasuk dalam
golongan tingkatan kelima ini.[14]
Perhatian al-Dahlawî dibidang ilmu hadis juga ia curahkah berkenaan
dengan cara memahami makna hukum baik hadis maupun al-Qur’an. Menurutnya, cara
untuk memahami makna tersebut adalah: memahami atas apa yang dijelaskan
al-Qur’an dan hadis; memahami tingkatan makna dari sabda nabi;[15] memahami makna yang
disampaikan sahabat; dan memahami tujuan dari hukum itu sendiri.[16]
Mengenai hadis-hadis yang bertentangan, al-Dahlawî juga memberikan
perhatiannya. Menurutnya, pada dasarnya tidak ada hadis yang saling bertentangan.
Pertentangan itu hanya dari sudut pandang orang yang membaca hadis. Ia
menyontohkan: Seorang sahabat
berkata bahwa nabi melakukan sesuatu dan sahabat lain mengatakan bahwa nabi
mengerjakan sesuatu yang lain, maka sesungguhnya tidak ada pertentangan antara
keduanya. Kedua perbuatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan yang dibolehkan.[17]
Memang, al-Dahlawî tidak menafikan hadis-hadis yang secara teks
bertentangan. Sebagaimana sabda nabi saat ditanyai oleh orang tua mengenai larangan atau kebolehan
mencium istri pada saat berpuasa. Nabi memberi jawaban dengan membolehkan orang
tua mencium istrinya pada saat berpuasa. Sedangkan nabi memberi larangan
mencium istri ketika ditanyai oleh seorang pemuda.[18]
Lebih lanjut menurut al-Dahlawî, jika tidak mungkin mendamaikan
hadis yang bertentangan maka dilakukan langkah untuk memilih salah satu hadis
itu. Pemilihan itu harus didasarkan dengan penelitian kualitas sanad; kualitas
matan; dan kesesuaian hukum dengan al-Qur’an.[19] Atas pembacaan konsep al-Dahlawî
dalam menghadapi hadis yang bertentangan, penulis berkesimpulan perlunya
mengetahui sabab wurud sebuah hadis; mengetahui konteks hadis tersebut; dan
kritik sanad dan matan guna mengetahui kualitasnya hadis tersebut.
Dalam menilai sebuah hadis, al-Dahlawî menjelaskan prinsip yang
biasanya dilakukan oleh para ulama hadis. Yakni: jika menemukan ayat al-Qur’an tentang
suatu maslah, tidak boleh berpaling dari ayat itu; jika suatu ayat mengandung
berbagai penafsiran, sunnah dapat dipergunakan membantu penjelasan; jika ulama
hadis tidak menemukan jawaban suatu masalah didalam al-Qur’an, ulama hadis
mempergunakan sunnah Rasulullah; jika terdapat hadis mengenai suatu masalah, tidak
boleh mengikuti atsar para sahabat atau ijtihad yang dapat bertentangan; jika
mendapati masalah dan tidak ada dalil hadis yang menerangkan, maka merujuk pada
pendapat sahabat dan tabiin yang tidak terbatas pada kelompok atau wilayah
tertentu; apabilah mayoritas ulama dan khalifah menyepakati atas masalah
tertentu, ulama hadis akan mengikutinya; jika ada ulama yang berbeda pendapat, ia
akan meminta pendapat pada ulama yang menguasai bidang keilmunya; jika dalam
suatu masalah mereka menjumpai dua pendapat yang sama kuat, kedua sama-sama
dianggap sebagai pendapat yang sah.
Urutan-urutan penilaian hadis yang dilakukan para ulama dan
dijelaskan al-Dahlawî di atas, menunjukkan adanya “herarki” pengambilan hukum
berdasarkan hadis. Al-Dahlawî menyontohkan beberapa kasus yang terjadi pada
Abu Bakar. Bahwa ketika terdapat masalah tertentu, Abu Bakar mencari dalil al-Qur’an.
Ketika tidak mendapatinya, ia merujuk pada hadis nabi. Ketika tidak didapati
juga, ia mengajak para ulama untuk memecahkan masalah tersebut. hal serupa juga
dilakukan oleh Umar ibn Khattab[20]
Pembagaian atau kategorisasi hadis tablîgh
risâlah dan ghairu risâlah yang
dijelaskan di atas tidak luput dari kritikan. Dalam
tesisnya, Munawir menjelaskan kekurangan dikotomi antara tablîgh risâlah dan
ghairu risâlah. Menurutnya, konsep tipologi
ini akan cenderung pada subjektif. Sangat berkaitan dengan pandangan orang
tertentu. Karena dikotomi tersebut hanya didasarkan pada teks verbal, maka
ajaran didalamnya akan jarang sekali tersentuh. Munawir menawarkan gagasan agar
dikotomi tidak sebatas teks verbal, tetapi lebih luas lagi pada nilai-nilai
universal yang terkandung didalamnya.[21]
Penutup
Pembagian ilmu nabi oleh al-Dahlawî menunjukkan bahwa terdapat
hadis dan sunnah nabi sesuai dengan posisi nabi. Adakalanya sabda nabi pada
saat nabi sebagai rasul utusan Allah, karenanya sabdanya harus dijadikan
landasan hukum bagi umat Islam. Tetapi, ada pula sabda nabi saat ia diposisi
sebagai manusia biasa, karenanya tidak wajib untuk diamalkan atau dijadikan
landasan hukum. Pembagian hadis seperti ini dapat memudahkan para ahli fiqh
dalam penetapan sebuah hukum.
Selain kategorisasi
hadis di atas, al-Dahlawî mencurahkan perhatiannya pada kitab-kitab hadsi yang
patut dijadikan rujukan –seperti al-Muwaththa’, sahîh al-Bukharî dan sahîh
Muslim. Dalam menghadapi hadis yang terkesan bertentangan, al-Dahlawî juga
memberikan pemikirannya dengan melakukan penelitian kualitas sanad; matan; dan
kesesuaian hukum dengan al-Qur’an.
[1] Buku ini telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Argumen Puncak Allah: Kearifan
dan Dimensi Batin Syariat”.
[2] Menurut Baljon, Pemikiran al-Dahlawî lahir ditengah Kerajaan Moghul sedang
dalam cerai-berai. Ditambah lagi arus pemikiran Barat yang begitu deras. Melalui
karyanya tersebut (Hujjah Allah al-Bâligha), al-Dahlawî berupaya mamasukkan
gagasan yang lahir dari Barat dengan menunjukkan pemikiran Islam yang rasional.
Lihat: J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an
Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),
h 4
[3] Dalam buku versi bahasa Indonesia menyebut lahir pada 04 Syawwal 1214 H
[4] E. Van Donzel.
ed, The Encyclopaedia Of Islâm, (Leiden: E. J. Brill, 1997), Vol 2, h. 254.
[5] Dalam buku versi bahasa Indonesia, di ceritakan guru-gurunya yang banyak
memberikan pengaruh bagi al-Dahlawî adalah Abû Thâhir al-Kurdi al-Madanî (w.
1733), Wafd Allah al-Makka dan Taj al-Dîn al-Qalâ’i al-Hanafî (w. 1734).
[6] Sayyid Sabiq (editor) dalam: Syah Waliyullah al-Dahlawî, Hujjah
Allâh al-Bâligha, (Beirut: Dâr al-Jîl, 2005), h. 12-16. Lihat pula dalam
buku versi bahasa Indonesia, h. 686.
[7] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 223-224
[8] Abdul Majid
Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2011), h. 198. Lihat juga: Munawir, “Tipologi Pembagian
Hadis: Risalah dan Ghairu Risalah (Sebuah Rekonstruksi Pemikiran Hadis Al-Dahlawî)”,
(Tesis S2 UIN Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 7
[9] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 224
[10] Abdul Majid
Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, h. 198
[11] Munawir,
“Tipologi Pembagian Hadis: Risalah dan Ghairu Risalah...”, h. 6
[12] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 231-232
[13] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 232
[14] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 233-234
[15]al-Dahlawî
memberikan contoh hadis Nabi: “Berhati-hatilah terhadap dua hal yang
menyebabkanmu dikutuk” dan “Mata adalah tali kekang perbuatan”. Hadis pertama
dijelaskan dengan membaca secara utuh konteks hadis tersebut. Bahwa kutukan itu
adalah bagi orang yang membuang air besar di bawah rindangnya pohon kurma.
[16] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 237-238
[17] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 238
[18] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 240
[19] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 240-241
[20] al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, h. 255-256
[21] Munawir,
“Tipologi Pembagian Hadis”, h. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar