Oleh: Ali Thaufan DS
Pemilihan umum anggota legislatif dan presiden tahun
2014 ini, dianggap banyak orang sebagai momentum menuju Indonesia lebih baik. Angan-angan
masyarakat agar hadirnya wakil rakyat dan pemimpin terbaik akan segera terwujud
dalam beberapa bulan kedepan. Ya, seluruh rakyat tentu berharap hal itu, tercapainya
cita-cita Indonesia sesuai amanat Pancasila.
Tulisan ini hadir dari pembacaan realitas politik
sejak tahun 2013 hingga saat ini. Banyak dinamika yang penulis dapati, terutama
melalui pembacaan media. Kisruh komisi pemilihan umum (KPU) dalam
penyelenggaraan pemilu; dugaan curang pemilu; dan saling “hantam” calon
pemimpin menjadi sorotan penulis. Tiga hal ini menjadi “primadona” dalam
beberapa pemberitaan dan topik perbincangan di media.
Pertama, yang menjadi sorotan penulis adalah kisruh di
KPU. KPU merupakan pihak yang – bisa
dibilang- paling bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilu. Sejauh ini, di
media, action KPU memang terlihat cukup masif dalam menyosialisasikan
pemilu. Berderet baliho, iklan di surat kabar dan televisi sebagai wujud “woro-woro”
pemilu yang dilakukan KPU. Tetapi, ada beberapa hal yang menjadi sorotan media
tentang “gagal”nya KPU. Persoalan seputar daftar pemilih tetap (DPT) yang entah
kapan clear-nya; banyak surat suara yang sobek; distribusi surat suara
yang salah daerah; terbukanya kotak suara sebelum pemungutan suara; logistik
KPU di daerah yang dirampok; dan masih banyak lagi kecacatan KPU lainnya.
(Media Indonesia 1/4/2014).
Bedasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu, selalu
terdapat kecurangan. Kecurangan dalam bentuk kecil atau besar, seperti: manipulasi
proses penghitungan suara; dugaan penyalahgunaan formulis C1; pencatatan rekap
suara di TPS dengan jumlah DPT yang berbeda; serta adanya praktik politik uang.
Temuan-temuan itu kerap menjadi “noda” pemuli yang demokratis. (Kompas.com).
Selain kisruh di KPU, hal kedua yang menjadi sorotan
penulis adalah soal adanya dugaan oknum curang dalam pemilu. Dalam beberapa
pemberitaan, penulis mencatat bahwa dugaan kecurangan ini selalu disuarakan
oleh partai oposisi pemerintah, dalam hal ini PDIP. Pada sebuah acara talk show
di televisi, Ketua Umum PDIP Megawati secara tegas menyampaikan keyakinannya
bahwa PDIP akan menang pemilu jika tidak ada kecurangan. Sementara, pengurus
DPP PDIP, Hasto Kristiyanto juga mengendus dugaan kecurangan yang akan
dilakukan oleh partai penguasa. Agaknya, pernyataan terlalu subjektif untuk
diterima. Tetapi, dalil-dalil pembenaran yang mereka sampaikan pun cukup logis.
Sebagai contoh, upaya KPU yang akan bekerjasama dengan
lembaga sandi negara (Lemsaneg) yang diduga kuat sebagai upaya melakukan
kecurangan oleh oknum tertentu. Sebagai lembaga negara, Lemsaneg bertugas
mengamankan informasi berklasifikasi rahasia. Garis kerjanya langsung dengan
Presiden. Karena, Presiden adalah ketua partai yang berkuasa saat ini, maka hal
ini yang menunculkan dugaan melakukan kecurangan. (Kompas.com).
Indikasi lain dari aroma kecurangan adalah, ada kerja “operasi
intelijen” yang digunakan oleh oknum untuk berbuat curang pada pemilu
mendatang. Selain itu adanya intimidasi untuk memilih calon tertentu juga
ditemukan dibeberapa daerah. Lalu, apa arti sebuah pilihan dalam tekanan. Tekanan
yang hanya dilakukan demi kepuasan nafsu kekuasan akan menghasilkan pemimpin edan.
Tentu saja ini akan mencederai proses pemilu yang demokratis dan lebih dari
itu, hal ini akan lebih parah dari era orde baru yang penuh tekanan. (Media
Indonesia 2/4/2014)
Hal ketiga dalam sorotan penulis di tulisan ini adalah
saling “hantam” para calon pemimpin Indonesia. Benar, jika dalam politik itu
ada hasutan, fitnah, jatuh-menjatuhkan dan saling “tembak”. Tetapi, hal ini
sangat disayangkan karena kesemua itu terjadi ditengah kondisi bangsa yang kronis,
butuh pemimpin yang maha sempurna –meski kesempurnaan hanya milik Tuhan. Politik
juga soal kebersamaan, gotong royong, bantu-membantu dan saling mendukung,
sepertinya hanya ada dalam buku-buku yang bertumpuk. Bala Sanggrama, sebuah
contoh bagaimana para tentara Raden Wijawa yang saling dukung ditenggah
Singgasari sedang genting oleh musuh, sepertinya tidak menjadi rujukan tindakan
para calon pemimpin saat ini. Penulis semakin dekat untuk membenarkan sebuah
ungkapan “pemimpin kita mikir perut sendiri ketimbang perut rakyatnya. Yang kaya
makin kaya. Yang miskin pun makin miskin”.
Jika saja pemilu 2014 ini akan diwarnai kisruh KPU
soal penyelenggaraan pemilu; adanya oknum yang akan bermain curang di pemilu; dan
saling menjatuhkan antar calon pemimpin, maka pemilu ini tak ubahnya menjadi
asa usang saja. Apa yang akan diharapkan lagi?
Diakhir tulisan ini, penulis akan menyuguhkan nasehat
seorang ulama besar, Emha Ainun Najib yang terus gigih menyadarkan seluruh
makhluk di Indonesia dari pseudo realitas ini. Bahwa saat ini rakyat telah
makan tai (kotoran). Karena dibuat senang oleh keadaan disekelilingnya,
rakyat tak lagi sadar jika yang ia makan itu adalah tai. Penulis mengartikan,
jika saat ini semua rakyat Indonesia mabuk dalam keadaan. Tidak sadar bahwa
yang dirasakan adalah sebuah kemunafikan keadaan. Kaitannya dengan pemilu
adalah: kemunafikan-kemunafikan bermunculan atas nama pemilu yang demokratis. Lobi-lobi
dan persengkongkolan penguasa melengkapi penderitaan atas kemunafikan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar