Selasa, 01 April 2014

Asa Usang Pemilu 2014

Oleh: Ali Thaufan DS

Pemilihan umum anggota legislatif dan presiden tahun 2014 ini, dianggap banyak orang sebagai momentum menuju Indonesia lebih baik. Angan-angan masyarakat agar hadirnya wakil rakyat dan pemimpin terbaik akan segera terwujud dalam beberapa bulan kedepan. Ya, seluruh rakyat tentu berharap hal itu, tercapainya cita-cita Indonesia sesuai amanat Pancasila.
Tulisan ini hadir dari pembacaan realitas politik sejak tahun 2013 hingga saat ini. Banyak dinamika yang penulis dapati, terutama melalui pembacaan media. Kisruh komisi pemilihan umum (KPU) dalam penyelenggaraan pemilu; dugaan curang pemilu; dan saling “hantam” calon pemimpin menjadi sorotan penulis. Tiga hal ini menjadi “primadona” dalam beberapa pemberitaan dan topik perbincangan di media.

Pertama, yang menjadi sorotan penulis adalah kisruh di KPU. KPU merupakan  pihak yang – bisa dibilang- paling bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilu. Sejauh ini, di media, action KPU memang terlihat cukup masif dalam menyosialisasikan pemilu. Berderet baliho, iklan di surat kabar dan televisi sebagai wujud “woro-woro” pemilu yang dilakukan KPU. Tetapi, ada beberapa hal yang menjadi sorotan media tentang “gagal”nya KPU. Persoalan seputar daftar pemilih tetap (DPT) yang entah kapan clear-nya; banyak surat suara yang sobek; distribusi surat suara yang salah daerah; terbukanya kotak suara sebelum pemungutan suara; logistik KPU di daerah yang dirampok; dan masih banyak lagi kecacatan KPU lainnya. (Media Indonesia 1/4/2014).

Bedasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu, selalu terdapat kecurangan. Kecurangan dalam bentuk kecil atau besar, seperti: manipulasi proses penghitungan suara; dugaan penyalahgunaan formulis C1; pencatatan rekap suara di TPS dengan jumlah DPT yang berbeda; serta adanya praktik politik uang. Temuan-temuan itu kerap menjadi “noda” pemuli yang demokratis. (Kompas.com).

Selain kisruh di KPU, hal kedua yang menjadi sorotan penulis adalah soal adanya dugaan oknum curang dalam pemilu. Dalam beberapa pemberitaan, penulis mencatat bahwa dugaan kecurangan ini selalu disuarakan oleh partai oposisi pemerintah, dalam hal ini PDIP. Pada sebuah acara talk show di televisi, Ketua Umum PDIP Megawati secara tegas menyampaikan keyakinannya bahwa PDIP akan menang pemilu jika tidak ada kecurangan. Sementara, pengurus DPP PDIP, Hasto Kristiyanto juga mengendus dugaan kecurangan yang akan dilakukan oleh partai penguasa. Agaknya, pernyataan terlalu subjektif untuk diterima. Tetapi, dalil-dalil pembenaran yang mereka sampaikan pun cukup logis.

Sebagai contoh, upaya KPU yang akan bekerjasama dengan lembaga sandi negara (Lemsaneg) yang diduga kuat sebagai upaya melakukan kecurangan oleh oknum tertentu. Sebagai lembaga negara, Lemsaneg bertugas mengamankan informasi berklasifikasi rahasia. Garis kerjanya langsung dengan Presiden. Karena, Presiden adalah ketua partai yang berkuasa saat ini, maka hal ini yang menunculkan dugaan melakukan kecurangan. (Kompas.com).

Indikasi lain dari aroma kecurangan adalah, ada kerja “operasi intelijen” yang digunakan oleh oknum untuk berbuat curang pada pemilu mendatang. Selain itu adanya intimidasi untuk memilih calon tertentu juga ditemukan dibeberapa daerah. Lalu, apa arti sebuah pilihan dalam tekanan. Tekanan yang hanya dilakukan demi kepuasan nafsu kekuasan akan menghasilkan pemimpin edan. Tentu saja ini akan mencederai proses pemilu yang demokratis dan lebih dari itu, hal ini akan lebih parah dari era orde baru yang penuh tekanan. (Media Indonesia 2/4/2014)

Hal ketiga dalam sorotan penulis di tulisan ini adalah saling “hantam” para calon pemimpin Indonesia. Benar, jika dalam politik itu ada hasutan, fitnah, jatuh-menjatuhkan dan saling “tembak”. Tetapi, hal ini sangat disayangkan karena kesemua itu terjadi ditengah kondisi bangsa yang kronis, butuh pemimpin yang maha sempurna –meski kesempurnaan hanya milik Tuhan. Politik juga soal kebersamaan, gotong royong, bantu-membantu dan saling mendukung, sepertinya hanya ada dalam buku-buku yang bertumpuk. Bala Sanggrama, sebuah contoh bagaimana para tentara Raden Wijawa yang saling dukung ditenggah Singgasari sedang genting oleh musuh, sepertinya tidak menjadi rujukan tindakan para calon pemimpin saat ini. Penulis semakin dekat untuk membenarkan sebuah ungkapan “pemimpin kita mikir perut sendiri ketimbang perut rakyatnya. Yang kaya makin kaya. Yang miskin pun makin miskin”.

Jika saja pemilu 2014 ini akan diwarnai kisruh KPU soal penyelenggaraan pemilu; adanya oknum yang akan bermain curang di pemilu; dan saling menjatuhkan antar calon pemimpin, maka pemilu ini tak ubahnya menjadi asa usang saja. Apa yang akan diharapkan lagi?


Diakhir tulisan ini, penulis akan menyuguhkan nasehat seorang ulama besar, Emha Ainun Najib yang terus gigih menyadarkan seluruh makhluk di Indonesia dari pseudo realitas ini. Bahwa saat ini rakyat telah makan tai (kotoran). Karena dibuat senang oleh keadaan disekelilingnya, rakyat tak lagi sadar jika yang ia makan itu adalah tai. Penulis mengartikan, jika saat ini semua rakyat Indonesia mabuk dalam keadaan. Tidak sadar bahwa yang dirasakan adalah sebuah kemunafikan keadaan. Kaitannya dengan pemilu adalah: kemunafikan-kemunafikan bermunculan atas nama pemilu yang demokratis. Lobi-lobi dan persengkongkolan penguasa melengkapi penderitaan atas kemunafikan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar