Selasa, 06 Mei 2014

Basa-Basi Koalisi

Oleh: Ali Thuafan DS

“Apa betul koalisi itu demi kepentingan rakyat? Aku ndak percaya tuh. Kita belajar dari pengalaman saja”. Ungkapan ini muncul dari diskusi antara penulis dengan beberapa rekan saat mencermati peta koalisi yang ramai diperbincangkan. Wajar saja salah seorang peserta diskusi mengatakan demikia. Hal ini ditenggarai oleh kekecewaan melihat koalisi buta tak berarah.

Sibuk-sibuk menggalang koalisi dilakukan partai politik menjelang pemilu presiden Juli 2014 mendatang. Berita terkait koalisi senter diberitakan bersamaan hasil hitung cepat pemilihan anggota legislatif. Seluruh partai politik pasang ancang-ancang harus dengan siapa ia berkoalisi. Kepada partai mana ia akan merapat. Petinggi partai “mondar-mandir” melakukan penjajakan partai lainnya. Para pengamat berhitung dan menganalisa partai-partai yang akan berkoalisi. Demikian juga konsultan politik, mereka memberikan gambaran detail kepada kliennya –partai pengguna jasa.

Penulis mencermati bahwa koalisi dilakukan karena: pertama, koalisi guna memenuhi batas ambang pencalonan presiden sebesar 20 persen. Karena partai politik –menurut hitung cepat- tidak ada yang melebihi batas tersebut, maka mereka menjalin koalisi. Kedua, koalisi juga bertujuan memperkuat posisi atau jumlah kursi di dewan (DPR). Sehingga segala keputusan yang diambil, didasarkan jumlah suara terbanyak. Ketiga, koalisi dibangun guna mendukung logistik yang akan dikeluarkan persiapan dan pada saat pemilu. Ongkos politik yang besar, membuat partai politik atau katakanlah capres membutuhkan “amunisi” yang super besar. Tidak mungkin satu partai mampu menanggung beban ongkos. Karenanya, koalisi banyak partai disinyalir dapat meringankan beban tersebut. Dan, penting diperhatikan dalam koalisi ini, bahwa tidak ada yang “gratis” dalam koalisi. Artinya, ada hukum timbal balik dalam koalisi tersebut.

Harus disadari bahwa koalisi dalam pemerintahan menegaskan adanya oposisi pemerintah. Jelas, ini mencederai prinsip permusyawaratan yang termaktub dalam Pancasila. Selama masih ada oposisi dalam pemerintahan, maka tidak akan pernah ada kata “sepakat”. Oleh sebab itu, koalisi tidak akan memberi jaminan berjalannya pemerintahan yang sehat. Selalu saja ada pihak-pihak yang mengusik setiap keputusan. Memang, adanya oposisi dapat dimaknai sebagai “kritik oposisi” yang membangun. Tetapi pada kenyataannya, pihak koalisi merasa “gengsi” mendapat kritik konstruktif dari oposisi. Alih-alih mendengarkan, partai koalisi justru menunjukkan kekuatan semata dengan jumlah kursi dan kabinet.

Citra istilah koalisi oleh sebagian pengamat dan praktisi politik tidak lah baik. Saat ini muncul stigma negatif tentang koalisi. Koalisi identik dengan saling bantu membantu memenangkan calon yang diusung bersama. Kemudian pihak yang membantu meminta pembagian jatah kursi di kabinet pemerintah. Jelas, ini mengabaikan prinsip pemilihan pemimpin yang didasarkan pada kapabilitas. Dari sudut pandang agama, Islam misalnya, sangat melarang hal ini. Ulama Islam, Ibn Taimiyah menyinggung orang yang meminta jatah jabatan kepemimpinan tertentu. Menurutnya, hal ini bukanlah sesuatu yang diajarkan Nabi. Ia mengutip beberapa hadis Nabi, “Bahwa ada satu kaum yang datang kepada beliau, maka mereka menuntut kepada Nabi suatu jabatan pimpinan; lantas Nabi berkata: ‘bahwa kami tidak akan menyerahkan jabatan pimpinan ini kepada siapa yang menuntutnya’”.

Pemilihan calon orang-orang yang akan menduduki kabinet harus didasarkan kecakapan. Tidak dibenarkan pengangkatan karena alasan-alasan seperti: kerabat, hubungan pertemanan, pertalian kedaerahan, dan karena penyuapan. Hal ini yang secara nyata dapat dilihat sebagai produk koalisi. Oleh sebab itu, Jokowi capres dari PDIP enggan menggunakan istilah koalisi. Ia lebih nyaman menggunakan istilah kerjasama. Meski pada praktiknya belum dapat diuji apakah berbeda dengan koalisi.

Dibagian akhir tulisan singkat ini, penulis akan menyampaikan kritik atas partai politik yang berkoalisi sekaligus kritik model partai politik yang bersifat “figur-sentral”. Partai politik kerap menjual kata “atas nama kepentingan rakyat” dalam membangun koalisi. Sebetulnya hal ini merupakan sesuatu yang bodoh dan sama halnya membuka aib koalisi. Tidak ada kaitannya koalisi yang dilandasi “atas nama kepentingan rakyat” dengan kepentingan rakyat itu sendiri. Penulis juga melihat ada banyak kekecewaan dari koalisi antarpartai. Sebagai contoh pemerintahan SBY-Budiono dikabinet bersatu jilid II sekarang. Tidak semua partai koalisi menuju kata sepakat dalam pengambilan keputusan. Pada akhirnya, rakyat menjadi korban janji manis koalisi.  Dus, koalisi hanya basa-basi partai politik


Selanjutnya, penulis mencermati bahwa setiap partai politik yang akan berkoalisi didahului dengan penyamaan visi dan misi partai. Apakah terdapat kesamaan antar partai? Hal ini yang menjadi bagian dari kesepakatan berkoalisi. Umumnya partai berdalih bahwa partai “saya” berkoalisi dengan partai “dia” karena kesamaan visi dan misi. Jika demikian, maka sesungguhnya, antarpartai satu dengan yang lain bisa dibilang memiliki kesamaan. Jika tidak, kemungkinan besar terkait soal ideologi partai, islamis atau nasionalis. Maka tesis yang muncul adalah, sesungguhnya di Indonesia tidak perlu banyak partai politik karena masing-masing partai memiliki kesamaan. Tetapi keberadaan partai saat ini sangat bersifat “figur-sentral”. Sehingga masing-masing figur lebih menonjol dan menjadi identitas partai. Ini sekaligus menggeser ideologi partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar