Oleh: Ali Thuafan DS
“Apa betul koalisi itu demi kepentingan rakyat? Aku ndak
percaya tuh. Kita belajar dari pengalaman saja”. Ungkapan ini muncul dari
diskusi antara penulis dengan beberapa rekan saat mencermati peta koalisi yang
ramai diperbincangkan. Wajar saja salah seorang peserta diskusi mengatakan
demikia. Hal ini ditenggarai oleh kekecewaan melihat koalisi buta tak berarah.
Sibuk-sibuk menggalang koalisi dilakukan partai politik menjelang pemilu
presiden Juli 2014 mendatang. Berita terkait koalisi senter diberitakan
bersamaan hasil hitung cepat pemilihan anggota legislatif. Seluruh partai
politik pasang ancang-ancang harus dengan siapa ia berkoalisi. Kepada partai
mana ia akan merapat. Petinggi partai “mondar-mandir” melakukan penjajakan
partai lainnya. Para pengamat berhitung dan menganalisa partai-partai yang akan
berkoalisi. Demikian juga konsultan politik, mereka memberikan gambaran detail
kepada kliennya –partai pengguna jasa.
Penulis mencermati bahwa koalisi dilakukan karena: pertama, koalisi
guna memenuhi batas ambang pencalonan presiden sebesar 20 persen. Karena partai
politik –menurut hitung cepat- tidak ada yang melebihi batas tersebut, maka mereka
menjalin koalisi. Kedua, koalisi juga bertujuan memperkuat posisi atau jumlah
kursi di dewan (DPR). Sehingga segala keputusan yang diambil, didasarkan jumlah
suara terbanyak. Ketiga, koalisi dibangun guna mendukung logistik yang akan
dikeluarkan persiapan dan pada saat pemilu. Ongkos politik yang besar, membuat
partai politik atau katakanlah capres membutuhkan “amunisi” yang super besar. Tidak
mungkin satu partai mampu menanggung beban ongkos. Karenanya, koalisi banyak
partai disinyalir dapat meringankan beban tersebut. Dan, penting diperhatikan dalam
koalisi ini, bahwa tidak ada yang “gratis” dalam koalisi. Artinya, ada hukum
timbal balik dalam koalisi tersebut.
Harus disadari bahwa koalisi dalam pemerintahan menegaskan adanya
oposisi pemerintah. Jelas, ini mencederai prinsip permusyawaratan yang
termaktub dalam Pancasila. Selama masih ada oposisi dalam pemerintahan, maka tidak
akan pernah ada kata “sepakat”. Oleh sebab itu, koalisi tidak akan memberi jaminan
berjalannya pemerintahan yang sehat. Selalu saja ada pihak-pihak yang mengusik
setiap keputusan. Memang, adanya oposisi dapat dimaknai sebagai “kritik oposisi”
yang membangun. Tetapi pada kenyataannya, pihak koalisi merasa “gengsi”
mendapat kritik konstruktif dari oposisi. Alih-alih mendengarkan, partai
koalisi justru menunjukkan kekuatan semata dengan jumlah kursi dan kabinet.
Citra istilah koalisi oleh sebagian pengamat dan praktisi politik
tidak lah baik. Saat ini muncul stigma negatif tentang koalisi. Koalisi identik
dengan saling bantu membantu memenangkan calon yang diusung bersama. Kemudian pihak
yang membantu meminta pembagian jatah kursi di kabinet pemerintah. Jelas, ini
mengabaikan prinsip pemilihan pemimpin yang didasarkan pada kapabilitas. Dari sudut
pandang agama, Islam misalnya, sangat melarang hal ini. Ulama Islam, Ibn Taimiyah menyinggung
orang yang meminta jatah jabatan kepemimpinan tertentu. Menurutnya, hal ini
bukanlah sesuatu yang diajarkan Nabi. Ia mengutip beberapa hadis Nabi, “Bahwa
ada satu kaum yang datang kepada beliau, maka mereka menuntut kepada Nabi suatu
jabatan pimpinan; lantas Nabi berkata: ‘bahwa kami tidak akan menyerahkan
jabatan pimpinan ini kepada siapa yang menuntutnya’”.
Pemilihan
calon orang-orang yang akan menduduki kabinet harus didasarkan kecakapan. Tidak
dibenarkan pengangkatan karena alasan-alasan seperti: kerabat, hubungan
pertemanan, pertalian kedaerahan, dan karena penyuapan. Hal ini yang secara
nyata dapat dilihat sebagai produk koalisi. Oleh sebab
itu, Jokowi capres dari PDIP enggan menggunakan istilah koalisi. Ia lebih nyaman
menggunakan istilah kerjasama. Meski pada praktiknya belum dapat diuji apakah
berbeda dengan koalisi.
Dibagian akhir tulisan singkat ini, penulis akan menyampaikan
kritik atas partai politik yang berkoalisi sekaligus kritik model partai politik
yang bersifat “figur-sentral”. Partai politik kerap menjual kata “atas nama kepentingan
rakyat” dalam membangun koalisi. Sebetulnya hal ini merupakan sesuatu yang
bodoh dan sama halnya membuka aib koalisi. Tidak ada kaitannya koalisi yang
dilandasi “atas nama kepentingan rakyat” dengan kepentingan rakyat itu sendiri.
Penulis juga melihat ada banyak kekecewaan dari koalisi antarpartai. Sebagai contoh
pemerintahan SBY-Budiono dikabinet bersatu jilid II sekarang. Tidak semua
partai koalisi menuju kata sepakat dalam pengambilan keputusan. Pada akhirnya,
rakyat menjadi korban janji manis koalisi. Dus, koalisi hanya basa-basi partai politik
Selanjutnya, penulis mencermati bahwa setiap partai politik yang akan
berkoalisi didahului dengan penyamaan visi dan misi partai. Apakah terdapat
kesamaan antar partai? Hal ini yang menjadi bagian dari kesepakatan berkoalisi.
Umumnya partai berdalih bahwa partai “saya” berkoalisi dengan partai “dia”
karena kesamaan visi dan misi. Jika demikian, maka sesungguhnya, antarpartai satu
dengan yang lain bisa dibilang memiliki kesamaan. Jika tidak, kemungkinan besar
terkait soal ideologi partai, islamis atau nasionalis. Maka tesis yang muncul
adalah, sesungguhnya di Indonesia tidak perlu banyak partai politik karena
masing-masing partai memiliki kesamaan. Tetapi keberadaan partai saat ini
sangat bersifat “figur-sentral”. Sehingga masing-masing figur lebih menonjol
dan menjadi identitas partai. Ini sekaligus menggeser ideologi partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar