Selasa, 30 Juli 2013

Jusuf Kalla VS Ical



Oleh Ali Topan DS

Pasca penetapan Aburizal Bakrie (selanjutnya: Ical) sebagai calon Presiden yang di usung Partai Golkar pada Rapimnas 2012 lalu, muncul spekulasi yang beragam. Sebagian pengamat politik meramal Partai Golkar bisa terpecah karena penetapan Ical sebagai Capres dinilai tendensius. Hal ini diduga Rapimnas yang sengaja dimajukan dan terkesan tergesa-gesa. Spekulasi selanjutnya, bahwa Partai Golkar bisa semakin solid karena telah mencuri “start” dengan menentukan capres lebih awal.

Perencanaan tidak selalu sesuai dengan kenyataan lapangan. Penetapan Ical sebagai Capres Golkar mendapat banyak tantangan, baik dari internal maupun eksternal partai. Tantangan yang harus dihadapi Ical dari internal partai adalah masih ada keinginan dari mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla yang ingin maju sebagai capres. Tentu saja hal ini akan dapat memecah suara internal kader Golkar mengingat basis pendukung JK di Golkar terbilang masih banyak. Terlebih, pasca adanya ultimatum dari hasil Rapimnas, bahwa jika ada kader Golkar yang nyapres dari partai lain, maka ia akan dipecat. Pernyataan tersebut membuktikan adanya kekhawatiran akan perpecahan partai.

Dalam beberapa hasil survei elektabilitas capres, JK dan Ical selalu bersaing. Survei Pusat Data Bersatu (PDP) yang dirilis pada 18 Juli menepatkan Ical di atas JK, Ical urutan tiga dan JK di urutan empat. Selanjutnya pada 24 Juli, Survei Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) melakukan survei dengan melibatkan 2450 responden. Hasilnya, JK bertengger diurutan tiga, di atas Ical yang berada diurutan empat. Sedangkan urutan pertama hasil survei masih menjadi milik Jokowi.

Para politisi Golkar langsung menanggapi hasil survei tersebut, menurut Akbar Tanjung, saat Rapimnas Oktober nanti akan ada evaluasi untuk terus meningkatkan elektabilitas Ical. Ia menegaskan tidak ada pencapresan ulang. Sekjend Golkar, Idrus Marham tidak terlalu memikirkan hasil survei. Menurutnya, elektabilitas Ical sebetulnya terus naik, meski perlahan. Ical sendiri tidak banyak komentar menanggapi elektabilitasnya yang berada di bawah JK. Ical akn terus mengintruksikan kadernya untuk bekerja keras.

Perjalanan perjuangan Ical menuju RI 1 terbilang cukup masif. Deklarasinya sebagai capres juga terbilang lebih awal dari partai lain yang mengusung capres. Sebut saja Partai Demokrat yang disibukkan dengan urusan konvensi; PDIP yang “galau” dengan calon yang akan diusung; PKB yang setengah hati mengusung Raja dangdut Rhoma Irama, serta partai lainnya. Penetapannya sebagai capres lebih awal harus menjadi starting point untuk mendulang elektabilitasnya. Posisi Ical boleh dikatakan menepati posisi strategis, ia dicalonkan dari partai besar yang memikili tradisi kemenangan dalam pemilu, selain itu, ia ditopang dengan media yang ia miliki. Kedua merupakan alat politik yang cukup besar untuk mencapai kemenangan.

Ical juga tidak boleh tinggal diam jika terjadi kemelut internal partai. Seperti isu pencalonan JK yang menggunakan kendaraan parpol selain Golkar. Ia harus tetap menguatkan barisan tataran elit Golkar. Sekali ia melakukan kesalahan, akan fatal akibatnya. Sejauh ini, partai Golkar memiliki tradisi kader yang tangguh. Jika ada ketidakpuasan di dalam partai, ia tak segan keluar partai dan mendirikan partai sendiri yang siap menandingi mantan partainya. Jika hal tersebut luput dari pantauan Ical, maka bisa jadi hal itulah bomerang bagi Ical.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar