Oleh
Ali Topan DS
Pada
bulan Ramadhan, masyarakat sering dipertontonkan dengan aksi sweeping tempat-tempat hiburan malam yang
dilakukan ormas Islam, Front Pembela Islam (FPI). Aksi sweeping tersebut cukup beralasan bagi FPI yakni amar ma’ruf nahi mungkar (menolak
hal-hal yang tidak terpuji). Sweeping
FPI seringkali menimbulkan kerusakan dan berujung bentrok dengan pengelola
tempat hiburan tertentu.
Beberapa
saat kemarin, Kamis (18/7) FPI terlibat bentrok dengan warga masyarakat. Sebagian
sumber menyebutkan bahwa FPI tidak melakukan sweeping. Tetapi hanya konvoi simpatik di bulan Ramadhan. Namun, tiba-tiba
ada warga yang menyerang massa FPI saat konvoi. Karena serangan tersebut, massa
FPI kalut dan menabrak pengendara motor hingga tewas. Hal ini kemudian membuat amuk
massa sekitar. Warga kemudian mengepung massa FPI disebuah masjid. Hingga aparat
turun untuk meredakan bentrok tersebut.
Kemarahan
warga terhadap FPI barangkali punya alasan kuat. Ormas Islam tersebut telah
melakukan sweeping yang kerap kali meresahkan
mayarakat Muslim. Aksi kekerasan yang dilakukan FPI dianggap telah mencoreng
wajah umat Islam. Atas ulah FPI, Islam tidak jarang disebut agama kekerasan dan
preman. Ketua PBNU, Said Agil mengatakan bahwa tindakan sweeping tidak dibenarkan dalam Islam dan kehidupan di negara
hukum. Ia mendorong pemerintah agar menindak tegas ulah ormas tersebut.
Menteri
Dalam Negeri, Gamawan Fauzi berjanji akan menindak tegas jika FPI terus membuat
aksi-aksi kekerasan. Ia akan mengajukan tindakan FPI ke Mahkamah Agung untuk
dipertimbangkan keberadaannya sebagai sebuah organisasi. Presiden SBY pun tak
ketinggalan, ia menyinggung bahwa atas ulah FPI tersebut, FPI telah kehilangan
pesan-pesan Ramadhan.
Pada
saat kritik menghujani FPI, FPI seakan tidak terima dan menyerang balik para
kritikusnya. Menurut FPI, aksi sweeping
yang mereka lakukan lebaih dikarenakan kekecewaan terhadap aparat kepolisian.
FPI melihat lemahnya aparat untuk menindak penyelenggara hiburan malam di bulan
puasa. Bahkan FPI menyerang balik penyataan SBY. Bahwa sebaiknya SBY tidak ikut
campur urusan FPI, karena lebih baik ia mengurus kadernya yang tersandra kasus
korupsi.
Lepas
dari polemik tentang siapa yang salah dan benar, penulis menganalisa secara
obyektif beberapa kejadian sebelum terjadi bentrok di atas. Pertama, UU ormas
beberapa waktu yang lalu sempat menimbulkan polemik. Sebagaian besar menolak
disahkannya UU tersebut. Meski pada akhirnya UU tersebut telah diketuk palu
oleh DPR. Kini UU hanya menunggu teken dari Presiden. UU yang dianggap akan
membatasi gerak ormas tersebut mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Muhammadiyah
dengan tegas menyatakan menolak UU ormas karena didalamnya ada upaya menuju
pemerintah yang otoriter memperlakukan ormas. Maka, dengan adanya kekerasan
yang dilakukan ormas, pemerintah dapat melanggengkan tanda tangan Presiden
berkaitan dengan UU tersebut.
Kedua,
jika dikaitkan peristiwa bentrok FPI dengan deklarasi Wiranto-Hari Tanoe sebagai
capres dan cawapres sepertinya tidak terlalu lama. Selama ini muncul dugaan
bahwa FPI ada di “ketiak” jendral (purn) TNI tersebut. Ditinjai dari kacamata
politk, bisa jadi peristiwa bentrok FPI tersebut adalah bagian pelemahan pamor
Wiranto yang saat ini sedang genjar kampanye.
Terlepas
dari egoisitas ideologi; upaya menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar; dan siapa yang punya kepentingan atas siapa, aksi
kekerasan tidaklah dibenarkan. Masih banyak cara pencegahan kegiatan hiburan
malam dengan cara yang lebih santun tanpa melibatkan bentrok. Sebagai negara
hukum, tentu saja Indonesia sudah mengatur aturan mainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar