Rabu, 08 Mei 2013

Figur Daerah VS Figur “Suci” Partai



Oleh: Ali Topan DS

Fakta dari berbagai lembaga survei memang menunjukkan bahwa wajah-wajah lama tetap menghiasi bursa pemilihan calon presiden di 2014 nanti. Nama-nama seperti Prabowo Subiato, Wiranto, Megawati, Abu Rizal Bakrie, Yusuf Kalla kerap berkompetisi dalam survei kandidat capres mendatang. Nama-nama tersebut sepertinya telah menjadi figur partai dan wajah partai. Bahkan figur tunggal partai kerap kali dijadikan “orang suci” di partainya.

Terkait nama-nama lama yang masih nonggol di bursa capres tersebut, manajer Riset Pol-Tracking Institute, Arya Budi, menjelaskan bahwa masyarakat mulai bosan dengan kemunculan nama-nama lama tersebut. Masyarakat kini berharap muncul figur daerah yang tampil pada kontestasi pilpres 2014. Beberapa survei kemudian menawarkan figur-figur alternatif dari daerah untuk meramaikan bursa capres.

Kemunculan figur potensial dari daerah ternyata mendapat sambutan hangat dan antusiasme tersendiri dihati masyarakat. Keberhasilan tokoh daerah saat menjabat mendorong masyarakatnya untuk mengusung tokoh tersebut sebagai capres. Nama-nama seperti Jokowi (mantan Wali Kota Solo), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Fadel Muhammad (mantan Gubernur Gorontalo), serta Isran Noor (bupati Kutai Timur) dianggap memiliki potensi sebagai capres 2014. Bahkan secara mengejutkan, figur petensial dari daerah ini sering kali mendulang suara terbanyak dalam beberapa survei. Sebut saja Jokowi. Ia secara mengejutkan mengalahkan Megawati, Ketua Umumnya di PDIP dan juga Prabowo yang gencar mempromosikan saat nyalon di pilgub DKI

Integritas dan keberpihakan pemimpin daerah pada masyarakat yang dirasakan langsung oleh rakyatnya menjadi poin positif tersendiri. Sehingga masyarakat daerah pun tidak salah jika berharap agar pemimpin daerahnya kelak juga memimpin negara. Pada posisi seperti ini, pemimpin didaerah harus benar-benar menunjukkan kinerja yang maksimal.

Akan tetapi, pemimpin daerah yang menjadi figur tersebut harus berhadapan dengan partai politik. Sistem hirarki yang dibangun partai tampaknya terlalu kuat untuk ditembus figur kader partai yang memimpin didaerah. Kader parpol pemimpin didaerah sering kali dipandang sebelah mata. Pengabdian terhadap partai masih menjadi pertimbangan utama ketimbang pengabdiannya terhadap masyarakat dan daerah yang ia pimpin. Elit parpol sering berdalih, bahwa pengalaman kader daerah masih di bawah rata-rata.

Dalam mengusung capres, parpol jarang sekali melibatkan saran dan masukan rakyat. Seharusnya parpol melihat tingkat kepercayaan publik terhadapnya. Bahwa tidak semua masyarakat menilai kerja-kerja positif yang ditunjukkan kader parpol di Dewan Perwakilan. Parpol perlu membuka diri, untuk kemudian memunculkan figur daerah yang direferensikan publik sebagai capres.
 
Pengkultusan terhadap tokoh tunggal partai perlu dikaji lebih dalam oleh seluruh kader partai. Figur tunggal yang diusung partai harus memberikan terlebih dahulu bukti real pengabdiannya kepada masyarakat. Apa arti dari pengkultusan figur tunggal di partai jika ia tidak berarti apa-apa bagi masyarakat. Skandal yang melilit figur tunggal partai bisa jadi bomerang bagi pencalonannya. Sudah saatnya partai mempertimbangankan aspirasi masyarakat melalui referensi calon pemimpin ideal yang lahir dari daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar