Oleh:
Ali Topan DS
“Pak,
kalau anak bapak mendapat prestasi di sekolah, bapak senang nggak?” tanya saya pada seorang bapak.
“Tentu senang dong dek”. Jawab bapak.
“Seandainya bapak mendapat penghargaan dari tempat kerja bapak, kira-kira
keluarga bapak senang tidak?”, lanjut tanya saya. “Tentu saja istri dan
anak-anak bapak bangga”. Jawab bapak. Percakapan saya dengan seorang bapak di
atas sepertinya sederhana, biasa saja, nothing special. Ya, itu mungkin. Tetapi
jika percakapan tersebut dikaitkan dengan gelar Presiden yang baru-baru ini ia
terima, tentu saja akan menjadi cerita yang panjang.
Seorang
anak yang bangga ketika mendengar ayahnya mendapat penghargaan saya ibaratkan
kebanggaan rakyat saat mendengar bahwa pemimpin negaranya mendapat penghargaan dan
diakui di mata internasional. Tapi, apa benar demikian? Jawabnya tentu pembaca
sendiri yang merasakan. Apakah penghargaan yang diterima oleh orang nomor satu
di Indonesia ini telah benar-benar memberi pengaruh bagi kehidupan rakyatnya.
Pada
senin 22 April 2013 lalu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima gelar Honoris Doctoral (Doctor of Letters)
dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Bertil Anderson, Rektor
NTU menyampaikan bahwa gelar yang diberikan kepada Presiden Indonesia ini
adalah karena keberhasilan SBY dalam berbagai bidang, seperti masalah perdamaian, demokrasi, Islam moderat,
dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). SBY juga dinilai berperan
aktif dalam menjaga kelestarian lingkungkan serta mendukung perlindungan hutan.
Sebelum
gelar ini, pada 23 Maret 2012, SBY juga pernah menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas
Tshinghua Beijing. Presiden Universitas Tshinghua, Chen Jining, mengatakan
bahwa gelar yang diperuntukkan kepada SBY karena ia telah banyak menciptakan
hal-hal luar biasa bagi kebaikan masyarakat. Selain itu, SBY juga dinilai
memiliki peran penting bagi perekonomian di Indonesia. Pada 19 Desember 2012,
SBY juga dianugrahi gelar Doctor Honoris
Causa oleh Universiti Utara Malaysia. Gelar yang disandangkan untuk SBY
tersebut karena ia dianggap sebagai pemimpin perdamaian. Gelar ini sekaligus
mencatatkan namanya sebagai orang Indonesia yang pertama kali mendapat gelar
kehormatan dari negeri Jiran tersebut.
“Ya.
Cukup membanggakan”, barangkali itulah kalimat yang patut kita ucapkan. Sebagai
pemimpin negara ini, SBY banyak mendapat gelar dari negeri-negeri tetangga. Ia
mendapat pengakuan dari dunia internasional. Tetapi, apakah gelar tersebut
berkenan hati rakyat dan rakyat turut pula mengakui gelar tersebut. Tho, sebanyak apapun gelar SBY, jika
rakyat banyak yang “terzholimi” dari ketidakmampuannya menjadi “payung rakyat”,
gelar tersebut tidak akan berarti apa-apa.
Gelar
sebagai pemelihara perdamaian yang dialamatkan kepada SBY sepertinya salah
alamat, perlu diujian ulang seberapa besar peran SBY dalam menjaga perdamaian.
Terutama perdamaian di Indonesia sendiri. Pasalnya, dua pekan berselang dari
penganugrahan gelar Honoris Doctoral
(Doctor of Letters) Nanyang Technological University (NTU), timbul konflik
kekerasan di Tasikmalaya. Dua tempat peribadatan dan kurang lebih 21 rumah
anggota Jamaat Ahmadiyah Indonesia diserang dan dirusak oleh orang tidak
bertanggung jawab. Apapun yang melatarbelakangi pengerusakan tempat tinggal
warga Ahmadiyah, tindakan tersebut tentu mencoreng penghargaan yang diterima
SBY.
Selain
kekerasan terhadap Jamaat Ahmadiyah di Tasikmalaya, pelanggaran HAM juga
terjadi di Tangerang. Penyekapan 34 buruh pabrik kuali di wilayah Tangerang
Banten bahkan diduga dijadikan praktek Human
Trafficking. Sebagai buruh, penghasilan atau
upah mereka sangat jauh dari yang diharapkan. Bahkan beberapa bulan mereka
tidak digaji. Selain disekap, para buruh tersebut juga mendapat intimidasi dari
penjaga pabrik. Peristiwa ini adalah sebagian kecil dari deretan kekerasan dan
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Peristiwa seperti penyegelan tempat
ibadat Ahmadiyah di Bekasi; Gereja Yasmin di Bogor; dan kasus Syiah di Sampang
Madura adalah tindak kekerasan yang semestinya tidak terjadi.
Jelas,
deretan peristiwa kekerasan serta pelanggaran HAM menjadi cacatan untuk
menyematkan gelar kepada SBY. Ketidakmampuan SBY dalam menyelesaikan beberapa
kasus kekerasan akan menimbulkan tanda tanya besar. Gelar sebagai doktor
honoris causa dibidang perdamaian, Islam moderat yang terlanjur dialamatkan
kepadanya tidak akan ada artinya. Gelar yang ia terima tidak sertamerta
dibarengi dengan aksi nyata dalam menciptakan suasana damai khususnya di
Indonesia. Apalah arti gelar dari negeri tetangga jika anak negeri saja tak
mengakui gelar SBY. Sungguh paradoksal gelar SBY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar