Kamis, 09 Mei 2013

Paradoksal Penghargaan Presiden



Oleh: Ali Topan DS

“Pak, kalau anak bapak mendapat prestasi di sekolah, bapak senang nggak?” tanya saya pada seorang bapak. “Tentu senang dong dek”. Jawab bapak. “Seandainya bapak mendapat penghargaan dari tempat kerja bapak, kira-kira keluarga bapak senang tidak?”, lanjut tanya saya. “Tentu saja istri dan anak-anak bapak bangga”. Jawab bapak. Percakapan saya dengan seorang bapak di atas sepertinya sederhana, biasa saja, nothing special. Ya, itu mungkin. Tetapi jika percakapan tersebut dikaitkan dengan gelar Presiden yang baru-baru ini ia terima, tentu saja akan menjadi cerita yang panjang.

Seorang anak yang bangga ketika mendengar ayahnya mendapat penghargaan saya ibaratkan kebanggaan rakyat saat mendengar bahwa pemimpin negaranya mendapat penghargaan dan diakui di mata internasional. Tapi, apa benar demikian? Jawabnya tentu pembaca sendiri yang merasakan. Apakah penghargaan yang diterima oleh orang nomor satu di Indonesia ini telah benar-benar memberi pengaruh bagi kehidupan rakyatnya.

Pada senin 22 April 2013 lalu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima gelar Honoris Doctoral (Doctor of Letters) dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Bertil Anderson, Rektor NTU menyampaikan bahwa gelar yang diberikan kepada Presiden Indonesia ini adalah karena keberhasilan SBY dalam berbagai bidang, seperti  masalah perdamaian, demokrasi, Islam moderat, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). SBY juga dinilai berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungkan serta mendukung perlindungan hutan.

Sebelum gelar ini, pada 23 Maret 2012, SBY juga pernah menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tshinghua Beijing. Presiden Universitas Tshinghua, Chen Jining, mengatakan bahwa gelar yang diperuntukkan kepada SBY karena ia telah banyak menciptakan hal-hal luar biasa bagi kebaikan masyarakat. Selain itu, SBY juga dinilai memiliki peran penting bagi perekonomian di Indonesia. Pada 19 Desember 2012, SBY juga dianugrahi gelar Doctor Honoris Causa oleh Universiti Utara Malaysia. Gelar yang disandangkan untuk SBY tersebut karena ia dianggap sebagai pemimpin perdamaian. Gelar ini sekaligus mencatatkan namanya sebagai orang Indonesia yang pertama kali mendapat gelar kehormatan dari negeri Jiran tersebut.

“Ya. Cukup membanggakan”, barangkali itulah kalimat yang patut kita ucapkan. Sebagai pemimpin negara ini, SBY banyak mendapat gelar dari negeri-negeri tetangga. Ia mendapat pengakuan dari dunia internasional. Tetapi, apakah gelar tersebut berkenan hati rakyat dan rakyat turut pula mengakui gelar tersebut. Tho, sebanyak apapun gelar SBY, jika rakyat banyak yang “terzholimi” dari ketidakmampuannya menjadi “payung rakyat”, gelar tersebut tidak akan berarti apa-apa.

Gelar sebagai pemelihara perdamaian yang dialamatkan kepada SBY sepertinya salah alamat, perlu diujian ulang seberapa besar peran SBY dalam menjaga perdamaian. Terutama perdamaian di Indonesia sendiri. Pasalnya, dua pekan berselang dari penganugrahan gelar Honoris Doctoral (Doctor of Letters) Nanyang Technological University (NTU), timbul konflik kekerasan di Tasikmalaya. Dua tempat peribadatan dan kurang lebih 21 rumah anggota Jamaat Ahmadiyah Indonesia diserang dan dirusak oleh orang tidak bertanggung jawab. Apapun yang melatarbelakangi pengerusakan tempat tinggal warga Ahmadiyah, tindakan tersebut tentu mencoreng penghargaan yang diterima SBY.

Selain kekerasan terhadap Jamaat Ahmadiyah di Tasikmalaya, pelanggaran HAM juga terjadi di Tangerang. Penyekapan 34 buruh pabrik kuali di wilayah Tangerang Banten bahkan diduga dijadikan praktek Human Trafficking. Sebagai buruh, penghasilan atau upah mereka sangat jauh dari yang diharapkan. Bahkan beberapa bulan mereka tidak digaji. Selain disekap, para buruh tersebut juga mendapat intimidasi dari penjaga pabrik. Peristiwa ini adalah sebagian kecil dari deretan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Peristiwa seperti penyegelan tempat ibadat Ahmadiyah di Bekasi; Gereja Yasmin di Bogor; dan kasus Syiah di Sampang Madura adalah tindak kekerasan yang semestinya tidak terjadi.

Jelas, deretan peristiwa kekerasan serta pelanggaran HAM menjadi cacatan untuk menyematkan gelar kepada SBY. Ketidakmampuan SBY dalam menyelesaikan beberapa kasus kekerasan akan menimbulkan tanda tanya besar. Gelar sebagai doktor honoris causa dibidang perdamaian, Islam moderat yang terlanjur dialamatkan kepadanya tidak akan ada artinya. Gelar yang ia terima tidak sertamerta dibarengi dengan aksi nyata dalam menciptakan suasana damai khususnya di Indonesia. Apalah arti gelar dari negeri tetangga jika anak negeri saja tak mengakui gelar SBY. Sungguh paradoksal gelar SBY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar