Oleh: Ali Topan DS
“Iseh penakan jamanku tho”. Ya, mungkin anda pernah melihat stiker
bergambar Presiden Suharto dan terdapat tulisan tersebut. Tulisan tersebut
sepertinya menjadi “cambuk” bagi para aktivis reformasi 1998. Kanapa?, karena
pasca reformasi rakyat semakin jauh dari harapan untuk mendapatkan
kesejahteraan, keamanan, ketertiban dan kedisiplinan. Tentu saja ini juga bukan
salah reformasi itu sendiri.
Stiker bergambar pak Harto
itu juga sepertinya sindiran terhadap pemerintah yang semakin tak tahu arah
reformasi itu sendiri. Angka kemiskinan era Pak Harto lebih sedikit
dibandingkan sekarang. Demikian juga dalam hal tindak kejahatan seks terhadap
perempuan; harga palawija; dan jumlah orang bodoh, tenyata era Pak Harto
memiliki kelebihan dibanding sekarang. Artinya, pda zaman Pak Harto rakyat
lebih adem ayem merasa nyaman. Itulah
sebabnya sebagian masyarakat rindu seperti eranya Pak Harto.
Pada saat bersamaan, aktivis
sipil menghindari kepemimpinan model militer Suharto. Bahkan lebih ekstrem
lagi, menolak pemimpin militer. Tentu saja masing-masing punya alasan kuat
terhadap plus minus nya pemimpin
militer. Pakar ilmu politik Universitas Indonesia, Budianta, menilai masyarakat
Indonesia saat ini kangen dengan eranya Suharto. Masyarakat melihat Suharto
dengan latar belakang seorang militer dianggap telah berhasil melakukan
pembangunan bangsa. Tetapi, banyak rakyat yang dikelabui oleh kebobrokan
pemimpin militer tersebut. Apa arti dari akselerasi pembangunan era Pak Harto,
jika kemudian rakyat lah yang harus menanggung beban hutang pembangunan
tersebut, demikian menurut Budianto.
Dilihat dari beberapa
survei, calon presiden berlatar belakang militer cukup yang laris manis, meski
juga ada calon sipil yang menjadi favorit. Banyak orang berharap dengan
pemimpin tegas seperti militer, Indonesia akan lebih baik lagi. Meski militer
juga satu-satunya pilihan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh PBNU.
sebagaimana diketahui, menurut PBNU pemimpin ideal untuk 2014 masih dari
kalangan militer. Tetapi KH. Sa’id Agil Siroj belum melihat militer yang
memiliki kompetensi untuk menjadi presiden.
Sebuah survei yang dilakukan
oleh Lembaga Klimatologi Politik menepatkan capres dari kalangan militer masih
menjadi pilihan masyarakat. Survei yang dilakukan di 33 Provinsi dengan
melibatkan 1.225 responden menepatkan Prabowo Subianto dengan perolehan 19,8%
suara, Wiranto 15,4%, Abu Rizal Bakri 14,4%, Megawati 13,3% dan Ani Yudhoyono
dengan 4,8%. Demikian hal nya dengan Lembaga Survei Nasional (LSN), yang
menempatkan Prabowo Subianto dan Wiranto sebagai capres yang diunggulkan.
Siapa pun dan latar belakang
apapun yang menjadi presiden bukan lah persoalan penting. Apapun jargon yang
diusung juga bukan hal yang penting. Tetapi mampukah ia mempertanggungjawabkan
janji-janji saat ia kampaye; menasionalisasi aset negara yang digondol asing; mengesampingkan urusan
partai demi negara serta banyak lagi hal yang harus menjadi bebannya. Rakyat
benar-benar membutuhkan pemimpin yang berpihak kepadanya. Jika saja ada
pemimpin seperti Pak Harto atau dengan kata lain seorang militer, dan itu
menjadi pilihan terbaik, kanapa tidak. Atau jika ada pemimpin sipil yang mampu
menjadi solusi juga tidak jadi masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar