Senin, 05 November 2012

Poligami: Antara Kebolehan dan Cemburu dimadu


Beberapa hari kemarin saya (selanjutnya penulis) melakukan studi lapangan tentang kependudukan di beberapa kecamatan daerah Kabupaten Bandung. Hasilnya, data kependudukan mencatat bahwa hampir di setiap kecamatan di kabupaten Bandung, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.

Melihat hasil data kependudukan ini, penulis mengingat-ingat beberapa tahun silam, saat itu penulis pernah berdiskusi tentang masalah poligami. Cukup mengagetkan, salah seorang teman dengan penuh percaya diri menyatakan kebolehan poligami. Selain menyatakan dalil al-Qur’an yang membolehkan dengan syarat, ia berargumen bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Maka sah saja jika laki-laki menikahi perempuan dua, tiga atau bahkan lebih. Penulis menganggap itu sebuah hal yang “konyol”. Sebuah argument yang “loyo” alias lemah dan tidak punya dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun al-Qur’an menawarkan poligami, tetapi al-Qur’an juga menantang betapa beratnya berbuat adil bagi yang memoligami.

Sebelum penulis menuliskan cacatan ringan ini, penulis sempat berdiskusi dengan beberapa ibu-ibu. Tepatnya ibu-ibu di kota kembang, Bandung. “Ibu, ibu rela tidak jika suami ibu menikah lagi dengan perempuan lain?”. Demikian tanya penulis, cukup sederhana memang. Tetapi jawabnya benar-benar luar biasa. “Ibu binasakan akang kalo mau nikah lagi mah”. Begitu sahut salah seorang ibu. Jawaban tersebut menjadi bukti bahwa perempuan yang dipoligami cukup sakit hati. Tak terbayangkan dalam benak penulis, betapa maha sakitnya hati perempuan yang dengan penuh cinta kasih pada sang suami, lalu si suami menikahi perempuan lain. Segunung harta pun rasanya tak cukup untuk membayarnya. Penulis juga menyusur, mencari tahu pendapat salah seorang perempuan tentang apa yang mengakibatkan poligami itu terjadi. “Kira-kira apa ya bu, yang membuat laki-laki itu berpoligami?”, Tanya penulis. “Itu mah dasar otak laki aja yang mata keranjang. Si laki mah nggak tau sakit hatinya perempuan kalo dimadu”. Dengan sedikit mengangkat suara, demikian jawab si ibu. Itulah kisah penulis ketika berdialog dengan seorang ibu beberapa saat setelah penulis mendapati data kependudukan.

Tidak hanya pada perempuan yang bersuami, penulis juga mengirim beberapa sms kepada sebagian teman-teman perempuan penulis. Isinya adalah meminta pendapat mereka. Jika berkeluarga kelak, apakah mereka membolehkan suaminya berpoligami. Dari 10 sms yang penulis kirim, 10 sms itu juga menyatakan tidak setuju jika dipoligami. Bahkan ada diantaranya yang menolak keras poligami. “Aku benar-benar akan sakit hati jika suamiku kelak berpologami. Aku mungkin akan marah sampai tujuh turunan”, begitu jawabnya.

Alasan penulis menulis catatan ini hanya sekedar meruntuhkan argument orang yang berpendapat bahwa poligami atau memadu istri itu boleh karena jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Bagaimanapun juga, bukan menjadi alasan jika jumlah perempuan lebih banyak, kemudian laki-laki dengan semena-mena berpoligami. Laki-laki juga harus mempertimbangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan sejati yang didapat dari sang suami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar