Senin, 05 November 2012

Bye-bye Tawuran

oleh Ali Topan DS
Apakah dengan tawuran, kemudian siswa dikatakan gaul dan keren?. Apakah dengan tawuran, lantas seorang siswa dianggap “gagah”?. Pertanyaan ini selalu penulis renungkan saat membaca, mendengar dan melihat berita tentang tawuran.

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan dua korban tewas akibat tawuran antar siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Tawuran antar pelajar SMA memang kerap terjadi. Tidak hanya di Ibu Kota, Jakarta, tawuran juga terjadi di beberapa daerah. Di Jakarta sendiri, sejak tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2011 telah tercatat 70 kali tawuran pelajar tingkat SMA. Dalam setahun terakhir sudah 13 orang korban tewas akibat tawuran tersebut.

Berbagai motif melatarbelakangi terjadinya tawuran pelajar. Mulai dari dendam kakak kelas (senior) sebelumnya; mengukur kekuatan diri dan gagah-gagahan; serta persoalan strata sosial siswa antara satu sekolah dengan sekolah lainnya yang kerap dijadikan bahan ejekan. Karena motif tersebut, maka pelajar tak segan menunjukkan keberingasan dengan prilaku yang tidak bermoral, tawuran.

Sederet kasus tawuran pelajar ini membuat buruk citra pendidikan di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, sangat menyayangkan kejadian buruk ini. Ia berharap bahwa kasus tawuran pelajar siswa SMA ini tidak terulang kembali dan menjadi kasus terakhir. Pada saat bersamaan, beberapa pihak saling menyalahkan atas terjadinya tawuran ini. Anggota DPR RI Komisi X mendesak agar kepala sekolah dicopot dari jabatannya apabila sekolahnya terlibat kasus tawuran. Menurutnya, kasus tawuran sudah mengakar sejak lama dan sampai saat ini belum terselesaikan, kepala sekolah seakan tidak tahu. Lebih lanjut merekaanggota DPR Komisi X- juga menyalahkan aparat polisi yang terkesan membiarkan kejadian-kejadian tawuran. Demikian juga menurut Dwi Rio Sambodo, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, ia menilai negara seakan absen dari kasus tawuran pelajar.

Perlu diketahui bahwa usia siswa tingkat SMA termasuk kategori usia muda (remaja), dimana seorang mencari jati diri. Mengutip lirik dalam lagu Rhoma Irama, “darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah”, agaknya benar adanya. Pelajar satu dengan yang lain saling menunjukkan kegagahannya saat tawuran. Mereka berkompetisi untuk menunjukkan siapa yang menjadi jagoan. Namun sayangnya kompetisi tersebut bukan dalam hal cita-cita dan prestasi, tetapi adu otot dan jotos. Tentu saja masyarakat berharap agar pelajar tidak lagi tawuran, tetapi berkompetisi demi prestasi.

Melihat fenomena tawuran pelajar, juga bukan saatnya bagi kita untuk saling menyalahkan satu sama lain. Bagaimanapun juga pendidikan moral siswa bukan tugas guru saja, yang secara umum mentransformasikan pendidikan sebatas di sekolah. Semua masyarakat Indonesia terlebih orang tua harus membuka mata, tidak membiarkan prilaku amoral seperti tawuran tersebut terjadi kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar