Rabu, 28 November 2012
Jokowi: Hiburan Baru Warga Jakarta
Pada tanggal 15 Oktober 2012 lalu, pasangan gubernur dan wakil gubernur Jakarta terpilih, Joko Widodo dan Basuki resmi dilantik. Pasangan yang terkenal dengan kemeja kotak-kotak ini, menjadi harapan baru bagi warga Jakarta untuk mampu menyelesaikan permasalahan Jakarta yang maharumit. Keduanya, baik Jokowi dan Ahok dianggap punya rapot bagus saat masih menjadi kepala daerah di Solo dan Belitung.
Pasca pelantikan, Jokowi langsung mulai “action” dengan melakukan sidak dibeberapa kantor pemerintahan ditingkat desa dan kecamatan. Tak pelak, kunjungan Jokowi tersebut membuat kaget beberapa pegawai terkait. Sidak tersebut dilakukan Jokowi guna memantau pelayanan public yang diberikan oleh pegawai. Ia menemukan banyak hal yang dirasa perlu pembenahan. Selain itu, Jokowi juga menyambangi komplek rusunawa di kawasan Jakarta Utara. Menurutnya, rumah susun sederhada ini perlu pembenahan, dari mulai pengecatan, air dan lain sebagainya.
Beberapa pekan terakhir, warga Jakarta dihantui banjir karena musim hujan. Hujan deras yang terjadi kerap kali meluapkan sungai-sungai di Jakarta. Banjir pun terjadi dimana-mana. Melihat hal ini, Jokowi langsung terjun ke lokasi musibah banjir. Kedatangannya disamput dengan penuh antusias warga korban banjir. Meski kehadiran Jokowi tidak akan membuat musibah banjir itu hilang, tetapi kehadirannya cukup menghibur warga yang dirundung sedih akibat banjir. Tidak sedikit warga yang meminta foto, tanda tangan atau bahkan memeluk dan mencium Jokowi.
Gaya turun langsung kepada warganya, atau yang sering dibilang blusukan, membuat warga semakin mencintai sang pemimpin, Jokowi. Ia tidak gensi untuk bertemu warga yang bermacam-macam rupa di Jakarta. Ia mau mendengarkan dengan telinganya sendiri apa yang diinginkan warga. Karekter inilah yang harus diakui, bahwa Jokowi semakin disanyangi warganya.
Tentu saja kita masih ingat saat ratusan sopir angkutan umum mogok kerja dan melakukan demo di depan kantor gubernur. Ditengah kesibukan Jokowi yang sedang memimpin rapat dengan kepala desa/lurah dan Kecamatan, ia sempatkan diri menemui para demonstran. Cukup mengagetkan apa yang dilakukan demonstran saat Jokowi berdiri dan berbicara dengan mereka. “Hidup pak Jokowi, hidup pak Jokowi,” demikian teriak mereka. Aksi demo seakan menjadi aksi remukan/dialog, bukan adu kekuatan otot.
Warga Jakarta menjadi saksi bahwa Jokowi menjadi bagian dari pemimpin yang menghibur. Pemimpin yang disegani, bukan ditakuti. Setiap kali Jokowi hadir ditengah warganya, ia ibarat bintang atau artis idola. Ia menghibur warganya dalam kepenatan dan hiruk pikuk Jakarta. Dalam konsep filosofi pemimpin Jawa, Jokowi memiliki sifat Brata Candra, yang berarti Rembulan. Ia memiliki sifat enak dipandang, seperti gambaran kehidupan yang romantis. Aplikasi dalam kepemimpinan adalah, mendekati warganya dengan penuh kasih sayang, perhatian.
Membaca Komaruddin Hidayat: Pemikiran Komaruddin Hidayat Tentang Hakikat Beragama dalam Buku Agama Punya Seribu Nyawa
Komaruddin Hidayat, pria yang akrab dengan sapaan Mas Kom ini bagi mahasiswa UIN Jakarta tentu tidak asing lagi. Ia adalah rector Universitas. Begitu juga bagi masyarakat, karena ia sering menghiasi layar kaca. Komaruddin termasuk salah seorang yang selalu menyuarakan pentingnya menghargai agama orang lain. Hal ini sering ia sampaikan dalam beberapa diskusi yang penulis ikuti. Demikian juga dalam beberapa buku, termasuk buku Agama Punya Seribu Nyawa.
Dalam prolog buku tersebut, Komaruddin membeberkan tentang kemajuan teknologi saat ini. Sehingga sebagian orang sudah merasa tidak perlu agama, karena banyak konflik bermunculan atas nama agama. Namun pada saat bersamaan, orang juga merasa perlu beragama, karena ia sumber ketenangan hidup. Orang merasa perlu beragama karena didalamnya terdapat kebenaran hakiki. Pada titik ini, pemeluk agama disibukkan dengan klaim kebenaran agama tertentu.
Pada bab pertama buku tersebut, Komaruddin menuliskan 14 judul tentang hal-hal yang berkaitan dengan hakikat beragama. Pada judul pertama, Mengapa Kita Beragama?, Komaruddin menyoroti bahwa kepemelukan agama kerap kali dipengaruhi oleh lingkungan. Sampai kemudian orang mampu belajar dengan sendiri, mengenal agamannya sendiri, sehingga ia beragama secara “sadar”. Lebih lanjut, Komaruddin memaparkan bahwa hal paling penting dalam beragama adalah doa. Menurutnya, hal yang mendorong orang berdoa adalah rasa takut kepada kemahabesaran alam semesta. Sehingga seseorang perlu memohon pertolongan dari yang maha segalanya. Selain itu, keyakinan seseorang terhadap adanya Tuhan juga mendorong orang untuk selalu berdoa.
Komaruddin juga menegaskan bahwa Tuhan benar-benar dekat dengan hambanya. Sehingga tak perlu sungkan-sungkan untuk berdoa menghampiri Tuhan. Ada banyak ritual dimana seseorang dapat menyampaikan keluh kesahnya pada Tuhan, yakni solat –dalam Islam. Kita mengenal solat fardu, atau jika merasa kurang, ada beberapa solat sunnah lainnya. Moment solat inilah yang kerap dijadikan tempat utama bagi seorang Muslim untuk menyampaikan curhatnya pada Sang Pencipta. Segala harapan ia panjatkan. Permohonan rezeki, jodoh dan kemudahan dalam pekerjaan diantaranya.
Dalam judul Beragama dengan Cemburu, Komaruddin memotret berbagai konflik keagamaan. Penulis melihat “kekecewaan” Komaruddin terhadap perbedaan paham keagamaan yang kerap menimbulkan kebencian dan perpecahan. Seharusnya perbedaan itu tidak harus berujung dengan hunusan pedang. Jika saja perbedaan harus berakhir dengan jatuhnya korban, maka tidak mengagetkan jika di Indonesia akan banyak korban berjatuhan. Hal ini lantaran masyarakat Indonesia yang plural dan berbeda-beda.
Tanpa bermaksud mereduksi pemikiran, penulis membaca ide Komaruddin dalam buku Agama Punya Seribu Nyawa terlebih pada bab hakikat beragama adalah mengajak orang untuk mencintai agamanya tanpa menafikan agama lainnya. Sehingga orang akan terkesima dengan agama tersebut. Komaruddin juga memberikan contoh beragama dengan santun.
Selasa, 06 November 2012
KPK, Pahlawan Melawan Korupsi
Oleh Ali Topan DS
“Dalam konteks masa kini, pahlawan di mata masyarakat antara lain adalah pejuang anti korupsi, karena korupsi adalah salah satu masalah utama kita saat ini.” (Solahuddin Wahid, Harian Umum Pelita)
Benar memang, jika kita dengar kata Pahlawan, selalu terbesit dalam pikiran, bahwa mereka –Pahlawan- adalah orang-orang yang telah berjuang merebut RI dari tangan penjajah. Maka tidak mengherankan jika sampai saat ini, banyak orang tertentu yang menyandang gelar pahlawan adalah berasal dari kalangan Jendral dan Politisi yang terlibat kontak saat perjuangan menuju kemerdekaan 1945.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan didefinisikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Untuk mendapat gelar sebagai pahlawan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Jika pada masa penjajahan, orang yang memiliki gagasan dan berdedikasi untuk melepaskan Indonesia dari jerat penjajah, maka orang tersebut layak mendapat gelar pahlawan. Karena penjajahan merupakan masalah besar bagi Indonesia. Tetapi saat ini, Indonesia telah lepas dan merdeka dari penjajah. Akan tetapi, terdapat masalah besar lainnya yang melilit negara ini, yakni korupsi.
Lembaga khusus yang menangani korupsi telah dibentuk; aktivis dan LSM yang menyuarakan bunuh koruptor pun tidak sedikit jumlahnya; bahkan presiden RI telah berikrar akan menjadi garda terdepan dalam melawan korupsi. Namun, korupsi masih saja berkeliaran disetiap lini dan aspek kehidupan. Korupsi telah masuk dalam sistem kehidupan. Korupsi menjelma menjadi Dajjal yang muncul lebih awal dari yang diprediksi. Ia menjadi hantu Negara ini.
Bagi penulis, persoalan korupsi sama halnya dengan persoalan penjajahan pada era menuju kemerdekaan. Keduanya harus dihanguskan dari muka bumi Indonesia. Dahulu, negara kita telah dikuras kekayaannya oleh penjajah, rakyat dipaksa kerja melayani penjajah. Saat ini, korupsi telah membuat martabat Negara Indonesia merosot di mata dunia, kesejahteraan warga terabaikan. Maka, tidak berlebihan apa yang dikatakan Solahuddin Wahid, bahwa pejuang saat ini adalah mereka yang melawan korupsi.
Sepantasnya, mereka dan siapa saja yang turut andil dalam perlawanan melawan korupsi mendapatkan gelar pahlawan. Bukan pahlawan kemerdekaan, tetapi pahlawan dalam mengisi kemerdekaan dengan melawan korupsi. Karena merdeka dan mengisi kemerdekaan adalah dua hal penting.
Senin, 05 November 2012
Poligami: Antara Kebolehan dan Cemburu dimadu
Beberapa hari kemarin saya (selanjutnya penulis) melakukan studi lapangan tentang kependudukan di beberapa kecamatan daerah Kabupaten Bandung. Hasilnya, data kependudukan mencatat bahwa hampir di setiap kecamatan di kabupaten Bandung, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Melihat hasil data kependudukan ini, penulis mengingat-ingat beberapa tahun silam, saat itu penulis pernah berdiskusi tentang masalah poligami. Cukup mengagetkan, salah seorang teman dengan penuh percaya diri menyatakan kebolehan poligami. Selain menyatakan dalil al-Qur’an yang membolehkan dengan syarat, ia berargumen bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Maka sah saja jika laki-laki menikahi perempuan dua, tiga atau bahkan lebih. Penulis menganggap itu sebuah hal yang “konyol”. Sebuah argument yang “loyo” alias lemah dan tidak punya dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun al-Qur’an menawarkan poligami, tetapi al-Qur’an juga menantang betapa beratnya berbuat adil bagi yang memoligami.
Sebelum penulis menuliskan cacatan ringan ini, penulis sempat berdiskusi dengan beberapa ibu-ibu. Tepatnya ibu-ibu di kota kembang, Bandung. “Ibu, ibu rela tidak jika suami ibu menikah lagi dengan perempuan lain?”. Demikian tanya penulis, cukup sederhana memang. Tetapi jawabnya benar-benar luar biasa. “Ibu binasakan akang kalo mau nikah lagi mah”. Begitu sahut salah seorang ibu. Jawaban tersebut menjadi bukti bahwa perempuan yang dipoligami cukup sakit hati. Tak terbayangkan dalam benak penulis, betapa maha sakitnya hati perempuan yang dengan penuh cinta kasih pada sang suami, lalu si suami menikahi perempuan lain. Segunung harta pun rasanya tak cukup untuk membayarnya. Penulis juga menyusur, mencari tahu pendapat salah seorang perempuan tentang apa yang mengakibatkan poligami itu terjadi. “Kira-kira apa ya bu, yang membuat laki-laki itu berpoligami?”, Tanya penulis. “Itu mah dasar otak laki aja yang mata keranjang. Si laki mah nggak tau sakit hatinya perempuan kalo dimadu”. Dengan sedikit mengangkat suara, demikian jawab si ibu. Itulah kisah penulis ketika berdialog dengan seorang ibu beberapa saat setelah penulis mendapati data kependudukan.
Tidak hanya pada perempuan yang bersuami, penulis juga mengirim beberapa sms kepada sebagian teman-teman perempuan penulis. Isinya adalah meminta pendapat mereka. Jika berkeluarga kelak, apakah mereka membolehkan suaminya berpoligami. Dari 10 sms yang penulis kirim, 10 sms itu juga menyatakan tidak setuju jika dipoligami. Bahkan ada diantaranya yang menolak keras poligami. “Aku benar-benar akan sakit hati jika suamiku kelak berpologami. Aku mungkin akan marah sampai tujuh turunan”, begitu jawabnya.
Alasan penulis menulis catatan ini hanya sekedar meruntuhkan argument orang yang berpendapat bahwa poligami atau memadu istri itu boleh karena jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Bagaimanapun juga, bukan menjadi alasan jika jumlah perempuan lebih banyak, kemudian laki-laki dengan semena-mena berpoligami. Laki-laki juga harus mempertimbangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan sejati yang didapat dari sang suami.
Potret Buram Perolahragahan Indonesia
Oleh Ali Topan DS
Tanggal 9 september ditetapkan pemerintah sebagai hari olahraga nasional. Sejarah mencatat bahwa penetapan tanggal diatas sebagai hari olahraga nasional adalah ketika pada tanggal 9-12 september tahun 1948, Indonesia menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON). Karena pembukan PON waktu itu dimulai tanggal 9, maka pemerintah pun menetapkannya sebagai hari olahraga nasional. Kala itu PON dibuka langsung oleh presiden sukarno. Sekitar 600 atlet mengikuti gelaran olahraga multi cabang tersebut.
Trend positif perolahragahan Indonesia mulai tampak. Berawal ketika Lilies Handayani, Vitriyana Saiman dan Kusuma Wardani yang mempersembahkan medali perak pada gelaran olahraga terakbar olimpiade Seoul 1988 di Korea. Kesuksesan beberapa atlet bulu tangkis, seperti Susi Susanti dan Alan Budikusuma dalam menyabet medali emas olimpiade Barcelona 1992 juga menjadi bukti nyata. Beberapa atlet setelah Susi juga tetap menjaga tradisi emas olimpiade. Sebut saja Rikcy Subagya dan Rexi Mainaki, pasangan ganda putra; Toni Gunawan dan Candra Wijawa serta punggal putra Taufik Hidayat. Pada pesta oleh raga tingkat asean, Indonesia sempat disegani sebagai tim yang selalu dijagokan.
Saat ini, prestasi di atas tidak kita saksikan lagi. Dalam banyak ajang pesta olahraga, Indonesia masih tertinggal jauh dari lawan-lawannya, terlebih negara-negara Asia. Prestasi berbagai cabang olahraga Indonesia kian menurun. Diajang olimpiade misalnya, tim bulutangkis Indonesia tidak mampu melanjutkan tradisi medali emas. Bahkan pada olimpiade terakhir, 2012, tim bulutangkis tampil memalukan dengan didiskualifikasinya pasangan ganda putri, Meiliana Jauhari dan Greysia Poli karena sengaja bermain mengalah. Pada turnamen sepak bola, hal seperti ini pernah terjadi. Indonesia memainkan sepak bola gajah pada ajang piala tiger 1998 saat melawan kesebelasan Thailand.
Pengelolahan dan persiapan atlet saat menghadapi ajang turnamen juga dirasa kurang. Sebut saja saat tim atau atlet Indonesia ketika menghadapi olimpiade Inggris 2012. Persiapan kontingen Indonesia sangat mepet, ditambah lagi persoalan pencairan dana yang lambat. Hal ini diakui Tono Suratman, ketua KONI. Tidak hanya itu, mungkin kita masih ingat dengan persiapan Indonesia sebagai tuan rumah pesta olahraga Sea Games November 2011. Beberapa hari menjelang gelaran tersebut, arena pertandingan belum selesai total. Sarana dan fasilitas umum masih menemui kendala teknis. Media Kompas mencatat ada 11 cabang olahraga yang terancam penayangan hasil pertandingan tidak secara online, karena penerapan swiss timing masih belum maksimal. Kedatangan Wapres Budiono saat meninjau lokasi pertandingan disambut dengan debu-debu pembangunan gedung yang belum selesai.
Baru-baru ini, kita dihadapkan dengan hal yang sama. Menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON), ternyata pihak penyelenggara masih keteteran dengan belum rampungnya beberapa pembangunan venue seperti gelenggang menembak dan lapangan futsal. Meski pihak Kemenegpora telah menegaskan bahwa PON tidak akan diundur, tetapi kekurangan dalam penyelenggaraan harus kita akui adanya. Dugaan dana PON yang dikorupsi oleh pejabat daerah membuat masalah kiat pelik menjelang gelaran PON kali. Selain itu, kisruh dan dualism pengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) juga menambah rapot merah perolahragahan negeri ini.
Berangkat dari peringatan hari olahraga ini, tentu masyarakat berharap agar perolahragahan Indonesia kembali menemukan prestasi. Masyarakat berharap agar kelak Merah-Putih terus berkibar dikancah turnamen olahraga internasional.
Tanggal 9 september ditetapkan pemerintah sebagai hari olahraga nasional. Sejarah mencatat bahwa penetapan tanggal diatas sebagai hari olahraga nasional adalah ketika pada tanggal 9-12 september tahun 1948, Indonesia menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON). Karena pembukan PON waktu itu dimulai tanggal 9, maka pemerintah pun menetapkannya sebagai hari olahraga nasional. Kala itu PON dibuka langsung oleh presiden sukarno. Sekitar 600 atlet mengikuti gelaran olahraga multi cabang tersebut.
Trend positif perolahragahan Indonesia mulai tampak. Berawal ketika Lilies Handayani, Vitriyana Saiman dan Kusuma Wardani yang mempersembahkan medali perak pada gelaran olahraga terakbar olimpiade Seoul 1988 di Korea. Kesuksesan beberapa atlet bulu tangkis, seperti Susi Susanti dan Alan Budikusuma dalam menyabet medali emas olimpiade Barcelona 1992 juga menjadi bukti nyata. Beberapa atlet setelah Susi juga tetap menjaga tradisi emas olimpiade. Sebut saja Rikcy Subagya dan Rexi Mainaki, pasangan ganda putra; Toni Gunawan dan Candra Wijawa serta punggal putra Taufik Hidayat. Pada pesta oleh raga tingkat asean, Indonesia sempat disegani sebagai tim yang selalu dijagokan.
Saat ini, prestasi di atas tidak kita saksikan lagi. Dalam banyak ajang pesta olahraga, Indonesia masih tertinggal jauh dari lawan-lawannya, terlebih negara-negara Asia. Prestasi berbagai cabang olahraga Indonesia kian menurun. Diajang olimpiade misalnya, tim bulutangkis Indonesia tidak mampu melanjutkan tradisi medali emas. Bahkan pada olimpiade terakhir, 2012, tim bulutangkis tampil memalukan dengan didiskualifikasinya pasangan ganda putri, Meiliana Jauhari dan Greysia Poli karena sengaja bermain mengalah. Pada turnamen sepak bola, hal seperti ini pernah terjadi. Indonesia memainkan sepak bola gajah pada ajang piala tiger 1998 saat melawan kesebelasan Thailand.
Pengelolahan dan persiapan atlet saat menghadapi ajang turnamen juga dirasa kurang. Sebut saja saat tim atau atlet Indonesia ketika menghadapi olimpiade Inggris 2012. Persiapan kontingen Indonesia sangat mepet, ditambah lagi persoalan pencairan dana yang lambat. Hal ini diakui Tono Suratman, ketua KONI. Tidak hanya itu, mungkin kita masih ingat dengan persiapan Indonesia sebagai tuan rumah pesta olahraga Sea Games November 2011. Beberapa hari menjelang gelaran tersebut, arena pertandingan belum selesai total. Sarana dan fasilitas umum masih menemui kendala teknis. Media Kompas mencatat ada 11 cabang olahraga yang terancam penayangan hasil pertandingan tidak secara online, karena penerapan swiss timing masih belum maksimal. Kedatangan Wapres Budiono saat meninjau lokasi pertandingan disambut dengan debu-debu pembangunan gedung yang belum selesai.
Baru-baru ini, kita dihadapkan dengan hal yang sama. Menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON), ternyata pihak penyelenggara masih keteteran dengan belum rampungnya beberapa pembangunan venue seperti gelenggang menembak dan lapangan futsal. Meski pihak Kemenegpora telah menegaskan bahwa PON tidak akan diundur, tetapi kekurangan dalam penyelenggaraan harus kita akui adanya. Dugaan dana PON yang dikorupsi oleh pejabat daerah membuat masalah kiat pelik menjelang gelaran PON kali. Selain itu, kisruh dan dualism pengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) juga menambah rapot merah perolahragahan negeri ini.
Berangkat dari peringatan hari olahraga ini, tentu masyarakat berharap agar perolahragahan Indonesia kembali menemukan prestasi. Masyarakat berharap agar kelak Merah-Putih terus berkibar dikancah turnamen olahraga internasional.
Bye-bye Tawuran
oleh Ali Topan DS
Apakah dengan tawuran, kemudian siswa dikatakan gaul dan keren?. Apakah dengan tawuran, lantas seorang siswa dianggap “gagah”?. Pertanyaan ini selalu penulis renungkan saat membaca, mendengar dan melihat berita tentang tawuran.
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan dua korban tewas akibat tawuran antar siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Tawuran antar pelajar SMA memang kerap terjadi. Tidak hanya di Ibu Kota, Jakarta, tawuran juga terjadi di beberapa daerah. Di Jakarta sendiri, sejak tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2011 telah tercatat 70 kali tawuran pelajar tingkat SMA. Dalam setahun terakhir sudah 13 orang korban tewas akibat tawuran tersebut.
Berbagai motif melatarbelakangi terjadinya tawuran pelajar. Mulai dari dendam kakak kelas (senior) sebelumnya; mengukur kekuatan diri dan gagah-gagahan; serta persoalan strata sosial siswa antara satu sekolah dengan sekolah lainnya yang kerap dijadikan bahan ejekan. Karena motif tersebut, maka pelajar tak segan menunjukkan keberingasan dengan prilaku yang tidak bermoral, tawuran.
Sederet kasus tawuran pelajar ini membuat buruk citra pendidikan di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, sangat menyayangkan kejadian buruk ini. Ia berharap bahwa kasus tawuran pelajar siswa SMA ini tidak terulang kembali dan menjadi kasus terakhir. Pada saat bersamaan, beberapa pihak saling menyalahkan atas terjadinya tawuran ini. Anggota DPR RI Komisi X mendesak agar kepala sekolah dicopot dari jabatannya apabila sekolahnya terlibat kasus tawuran. Menurutnya, kasus tawuran sudah mengakar sejak lama dan sampai saat ini belum terselesaikan, kepala sekolah seakan tidak tahu. Lebih lanjut mereka –anggota DPR Komisi X- juga menyalahkan aparat polisi yang terkesan membiarkan kejadian-kejadian tawuran. Demikian juga menurut Dwi Rio Sambodo, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, ia menilai negara seakan absen dari kasus tawuran pelajar.
Perlu diketahui bahwa usia siswa tingkat SMA termasuk kategori usia muda (remaja), dimana seorang mencari jati diri. Mengutip lirik dalam lagu Rhoma Irama, “darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah”, agaknya benar adanya. Pelajar satu dengan yang lain saling menunjukkan kegagahannya saat tawuran. Mereka berkompetisi untuk menunjukkan siapa yang menjadi jagoan. Namun sayangnya kompetisi tersebut bukan dalam hal cita-cita dan prestasi, tetapi adu otot dan jotos. Tentu saja masyarakat berharap agar pelajar tidak lagi tawuran, tetapi berkompetisi demi prestasi.
Melihat fenomena tawuran pelajar, juga bukan saatnya bagi kita untuk saling menyalahkan satu sama lain. Bagaimanapun juga pendidikan moral siswa bukan tugas guru saja, yang secara umum mentransformasikan pendidikan sebatas di sekolah. Semua masyarakat Indonesia terlebih orang tua harus membuka mata, tidak membiarkan prilaku amoral seperti tawuran tersebut terjadi kembali.
Apakah dengan tawuran, kemudian siswa dikatakan gaul dan keren?. Apakah dengan tawuran, lantas seorang siswa dianggap “gagah”?. Pertanyaan ini selalu penulis renungkan saat membaca, mendengar dan melihat berita tentang tawuran.
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan dua korban tewas akibat tawuran antar siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Tawuran antar pelajar SMA memang kerap terjadi. Tidak hanya di Ibu Kota, Jakarta, tawuran juga terjadi di beberapa daerah. Di Jakarta sendiri, sejak tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2011 telah tercatat 70 kali tawuran pelajar tingkat SMA. Dalam setahun terakhir sudah 13 orang korban tewas akibat tawuran tersebut.
Berbagai motif melatarbelakangi terjadinya tawuran pelajar. Mulai dari dendam kakak kelas (senior) sebelumnya; mengukur kekuatan diri dan gagah-gagahan; serta persoalan strata sosial siswa antara satu sekolah dengan sekolah lainnya yang kerap dijadikan bahan ejekan. Karena motif tersebut, maka pelajar tak segan menunjukkan keberingasan dengan prilaku yang tidak bermoral, tawuran.
Sederet kasus tawuran pelajar ini membuat buruk citra pendidikan di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, sangat menyayangkan kejadian buruk ini. Ia berharap bahwa kasus tawuran pelajar siswa SMA ini tidak terulang kembali dan menjadi kasus terakhir. Pada saat bersamaan, beberapa pihak saling menyalahkan atas terjadinya tawuran ini. Anggota DPR RI Komisi X mendesak agar kepala sekolah dicopot dari jabatannya apabila sekolahnya terlibat kasus tawuran. Menurutnya, kasus tawuran sudah mengakar sejak lama dan sampai saat ini belum terselesaikan, kepala sekolah seakan tidak tahu. Lebih lanjut mereka –anggota DPR Komisi X- juga menyalahkan aparat polisi yang terkesan membiarkan kejadian-kejadian tawuran. Demikian juga menurut Dwi Rio Sambodo, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, ia menilai negara seakan absen dari kasus tawuran pelajar.
Perlu diketahui bahwa usia siswa tingkat SMA termasuk kategori usia muda (remaja), dimana seorang mencari jati diri. Mengutip lirik dalam lagu Rhoma Irama, “darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah”, agaknya benar adanya. Pelajar satu dengan yang lain saling menunjukkan kegagahannya saat tawuran. Mereka berkompetisi untuk menunjukkan siapa yang menjadi jagoan. Namun sayangnya kompetisi tersebut bukan dalam hal cita-cita dan prestasi, tetapi adu otot dan jotos. Tentu saja masyarakat berharap agar pelajar tidak lagi tawuran, tetapi berkompetisi demi prestasi.
Melihat fenomena tawuran pelajar, juga bukan saatnya bagi kita untuk saling menyalahkan satu sama lain. Bagaimanapun juga pendidikan moral siswa bukan tugas guru saja, yang secara umum mentransformasikan pendidikan sebatas di sekolah. Semua masyarakat Indonesia terlebih orang tua harus membuka mata, tidak membiarkan prilaku amoral seperti tawuran tersebut terjadi kembali.
Langganan:
Postingan (Atom)