Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi
Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Calon presiden Joko Widodo dalam beberapa kali kesempatan menyebut
bahwa calon wakil presiden yang akan mendampinginya di pemilihan presiden 2019
ada beberapa nama. Nama-nama mereka sudah ada di kantong Jokowi. Setelah
menyebut sepuluh bakal cawapres, kini nama cawapres mengerucut menjadi lima.
Daftar nama-nama bakal cawapres Jokowi diisi beberapa tokoh Islam.
Berbagai media menyebut Muhaimin Iskandar (Ketua Umum Partai Kebangkitan
Bangsa), Mahfud MD (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi), dan Tuan Guru Bajang
(TGB) Zainul Majdi (Gubernur Nusa Tenggara Barat). Untuk nama terakhir, sempat
menjadi kontroversi karena sebelumnya TGB sempat direkomendasikan Persaudaraan
Alumni 212 menjadi capres. Namun, masuknya TGB dalam bursa cawapres Jokowi
muncul setelah ia menyatakan mendukung Jokowi melanjutkan kepemimpinannya dua
periode.
Pada pilpres 2019, peta pencapresan masih didominasi dua poros, poros
Jokowi dan Prabowo. Meski demikian, kemungkinan adanya poros baru masih sangat
memungkinkan. Jika capres hanya ada dua, Jokowi dan Prabowo, maka pencapresan
ini akan mengulang pilpres 2014 lalu.
Menilik peta dukungan Jokowi, kini ia lebih diunggulkan karena sudah
mendapat dukungan dari berbagai parpol sehingga pencalonannya sudah memenuhi
syarat presidential threshold (ambang batas pencapresan). Sebagai kader
PDI-Perjuangan, Jokowi sudah mendapat dukungan dari Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Kelima parpol tersebut memiliki
kursi di DPR RI. Sedangkan kelima parpol lain, Partai Gerindra, Partai
Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Amanat Nasional (PAN) belum menentukan capres yang akan diusung.
Selain itu, Jokowi juga mendapat dukungan partai yang belum ada di
parlemen seperti Partai Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kedua
parpol ini telah menyatakan sikap mendukung Jokowi di pilpres 2019. Di atas
kertas, Jokowi mendapat dukungan yang lebih dari cukup. Ia juga lebih
diunggulkan karena merupakan "petahana".
Kekuatan-Kelemahan
Ketiga tokoh Islam yang masuk dalam bursa cawapres Jokowi memiliki
kekuatan dan keunggulan juga kelemahan masing-masing. Muhaimin Iskandar (Cak
Imin) memiliki dukungan dari partainya yang selama ini intens mengkampanyekan
Cak Imin sebagai cawapres. Dukungan penuh dari partai cukup menjadi modal bagi
Cak Imin.
Meski mendapat dukungan PKB, Cak Imin ternyata memiliki kelemahan di
internal elit ormas Nahdatul Ulama (NU) yang menjadi lumbung suara PKB. Hal ini
diakibatkan konflik antaranya dirinya dengan Abdurahman Wahid (Gus Dur), atau
sering disebut konflik perebutan PKB. Akibat konflik itu, hubungan Cak Imin
dengan keluarga Gus Dur dan simpatisannya masih terpelihara. Kondisi ini tidak
menguntungkan bagi Cak Imin. Betapapun, Gus Dur adalah mantan Ketua Umum PBNU
dan PKB yang memiliki jaringan sangat kuat ke pemilih akar rumput warga NU.
Mahfud MD juga mempunyai kekuatan tersendiri. Sebagai mantan hakim MK,
Mahfud bukan orang biasa dalam kancah politik Indonesia pascareformasi. Ia juga
pernah menjadi Menteri Pertahanan era Presiden Gus Dur. Setelah purna jabatan
sebagai hakim MK, Mahfud lebih dikenal sebagai cendekiawan muslim Indonesia.
Sebagai tokoh muslim, Mahfud relatif dapat diterima oleh ormas-ormas Islam
seperti Muhammadiyah dan NU.
Namun, syarat pencapresan melalui parpol bisa menjadi kendala
tersendiri bagi Mahfud. Sebagai orang non parpol, kondisi ini praktis
menyulitkan Mahfud. Beberapa parpol (semisal PSI dan Nasdem) memang mewacanakan
mendukungnya. Namun, dukungan itu bisa menyandra Mahfud sendiri.
Tokoh Islam lain, TGB jugu memiliki kekuatan dan daya tawar menjadi
cawapres Jokowi. Pengalaman menjadi Gubernur adalah modal utama, memahami
persoalan tata kelola pemerintahan khususnya daerah. Akan tetapi, TGB harus
siap berhadapan pada resistensi Partai Demokrat karena ia merupakan kader
Demokrat. Sementara di sisi lain, Demokrat sedang mengusulkan Agus Harimurti
Yudhoyono sebagai capres/cawapres. TGB juga mendapat resistensi dari kelompok
Persaudaraan Alumni 212 karena sebelumnya sudah diusulkan menjadi capres,
sebelum menyatakan dukungan pada Jokowi.
Antisipasi Politik Identitas
Calon pendamping Jokowi bisa berasal dari berbagai kalangan, mulai dari
pimpinan parpol, profesional, militer dan tokoh agama (Islam). Akan tetapi,
pilihan memilih tokoh agama menjadi penting karena konteks politik Indonesia
saat ini diwarnai dengan politik identitas.
Sebuah hal yang lazim dan selalu muncul saat momentum politik (Pemilu
dan Pilkada) adalah isu SARA, terutama agama. Isu politik identitas ini semakin
masif karena menjelang Pemilu 2019, Indonesia menggelar Pilkada serentak 2017
dan 2018. Politik identitas seolah menemukan momentumnya di tahun politik.
Berpasangan dengan tokoh Islam dapat menguatkan posisi Jokowi yang
selama ini sering diserang lawan politiknya dengan isu komunis dan
kriminalisasi ulama. Selain itu, tokoh Islam yang diambil merupakan tokoh yang
relatif diterima tidak hanya pemilih muslim, tapi juga non muslim.
Kuatnya politik identitas di Indonesia tidak terhindarkan. Hal ini
cukup memengaruhi kolaborasi pasangan capres-cawapres yang
"nasionalis-Islam" atau sebaliknya dalam setiap Pemilu. Pada Pemilu
2004 misalnya, terdapat kolaborasi antara militer yang nasionalis dengan tokoh
Islam: pasangan Wiranto-Shalahuddin Wahid dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Terpenting, bagi paslon adalah menjaga "tergelincirnya lidah"
dari perkataan dan pernyataan yang menyakiti umat beragama. Kasus Ahok adalah
bukti bahwa keselamatan seseorang adalah dari menjaga lisan (perkataan). Sekuat
apapun paslon capres-cawapres akan terjungkal apabila tidak bisa menjaga
lisannya, terutama dari perkataan terkait keyakinan (agama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar