Senin, 09 Juli 2018

Pencapresan Yusril 2019: Ambisi dan Utopi


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Setelah resmi ditetapkan sebagai peserta Pemilihan Umum 2019, Partai Bulan Bintang (PBB) percaya diri mengusung ketua umumnya, Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden. Hal ini menjadi hasil keputusan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) parpol berlambang bulan sabit dan bintang tersebut. Oleh karenanya, PBB akan intens menjalin komunikasi dengan parpol lain untuk membentuk koalisi.

Pencalonan Yusril sebagai capres maupun cawapres bukan hal yang mengagetkan. Pasalnya, dalam tradisi politik Indonesia, pencapresan diikuti oleh ketua umum parpol. Menjelang Pemilu 2019, beberapa ketum parpol dicalonkan oleh partainya baik sebagai capres maupun cawapres. Sebut saya Muhaimin Iskandar (Ketum PKB), Zulkifli Hasan (Ketum PAN), dan Romahurmuzy (Ketum PPP).

Rencana pencalonan Yusril untuk pilpres 2019 merupakan kali kedua baginya. Menjelang Pemilu 1999, Yusril juga dikabarkan akan mencalonkan diri. Semua persyaratan telah ia penuhi. Namun, pencalonannya kala itu, menurut pengakuannya digagalkan oleh Amin Rais (yang saat itu menjadi Ketua MPR sekaligus Ketum PAN). Yusril menganggap Amin Rais melakukan "dusta" dalam pemilihan presiden melalui sidang MPR. Menurutnya, seharusnya saat itu hanya dirinya yang menjadi capres tunggal karena Abdurahman Wahid dan Megawati terlambat mendaftarkan diri.

Pada Pilpres 2014 silam, Yusril juga sempat diusung oleh PBB. Namanya sempat diajukan untuk berpasangan dengan Jokowi. Jelang Pemilu 2014 lalu bahkan sempat terbentuk "Forum Rakyat Laskar Jokowi-Yusril untuk Indonesia" untuk mendukung duet Jokowi-Yusril. Namun, pencalonan baik sebagai capres atau cawapres kandas. Dan lebih menyedihkan lagi, PBB tidak lolos ambang batas parlemen (DPR RI). Artinya PBB tidak mampu menempatkan kadernya di DPR RI.

Menghadapi Pilpres 2019, Yusril merasa percaya diri. Ia menyatakan kesiapannya jika berpasangan (sebagai cawapres) dengan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Bahkan ia yang selama ini kerap mengkritik kebijakan pemerintah juga bersedia berpasangan dengan Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, Yusril memberi syarat bahwa Jokowi harus jadi cawapresnya.

Sebagai Ketum PBB, Yusril mengasosiasikan PBB sebagai kelanjutan dari Partai Masyumi, parpol yang pernah berjaya di era Orde Lama sebelum akhirnya dibubarkan pemerintah. Bagi PBB, visi dan misinya adalah mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara. Dengan mengusung visi dan misi tersebut, Yusril berharap partainya meraih banyak suara dan lolos parliamentary threshold (lolos ambang batas) yang disyaratkan Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebesar 4 (empat) persen.

Menguatnya politik identitas (politik atas nama agama) menjadi peluang tersendiri bagi PBB. Pasca dibekukannya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah karena bertentangan dengan asas Pancasila, mantan anggota HTI diberi kesempatan untuk bergabung dengan PBB. Hal ini tidak mengagetkan karena selama HTI berhadapan dengan persoalan hukum menyangkut statusnya, Yusril aktif memberi bantuan hukum. Bergabungnya mantan anggota HTI menjadi modal Yusril untuk melangkah pada pencapresan.

Meskipun Yusril membuka partainya bagi mantan anggota HTI, bukan berarti tanpa alang melintang. Yusril harus berebut mantan anggota HTI dengan parpol Islam lain (terutama PKS dan PAN). Selain itu, ajakan Yusril kepada mantan anggota HTI juga mendapat resistensi dari sebagian kelompok Islam lain.

Pencalonan Yusril untuk 2019 bukan hal mudah. Pasalnya, pada periode 2014-2019 PBB tidak memiliki kursi di DPR RI. Praktis, Yusril tak punya daya tawar dalam membangun koalisi pencapresan karena syarat pencapresan adalah capres diusung parpol atau gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI dan atau 25 persen suara berdasarkan Pemilu 2014. Dengan aturan ini, peluang Yusril terlalu berat dan sulit.

Munculnya gagasan untuk berkoalisi dengan Gerindra, PKS dan PAN ternyata juga memunculkan problem sendiri bagi Yusril. Wacana PAN yang memunculkan empat orangbkadernya termasuk Amin Rais sebagai capres atau cawapres, membuat Yusril tidak nyaman jika bergabung dengan koalisi tersebut. Hal ini disebabkan luka lama Yusril akibat perilaku Amin yang dianggap Yusril merugikan dirinya.

Jika ingin melakukan perhitungan politik secara rasional, seharusnya Yusril berfokus memperjuangkan PBB untuk lolos DPR RI. Tentu saja cara ini dilakukan dengan meraih sebanyak-banyaknya suara pemilih. Meraih suara pemilih tidak selalu dengan mencalonkan ketum parpol sebagai capres atau cawapres. Ini terbukti dalam Pemilu 2014 lalu, PDI-Perjuangan meraih suara terbanyak tanpa mencapreskan Megawati (ketumnya). Sosok figur ternyata berpengaruh besar bagi elektabilitas parpol. Mampukah Yusril melakukan hal tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar