Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
(Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Musyawarah Kerja Nasional
(Mukernas) II Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar Juli 2017
menghasilkan rekomendasi mencalonkan kembali Presiden Joko Widodo pada
pemilihan presiden 2019. Keputusan dukungan kepada Jokowi terbilang lebih cepat
daripada parpol lainnya. Dukungan PPP lebih awal diklaim merupakan hasil
ijtihad ulama-ulama parpol berlambang Ka'bah tersebut.
Menjelang pilpres 2019, peta
politik pencalonan masih diwarnai dua poros: Jokowi dan Prabowo. Poros ini
membuat gairah pilpres sama seperti 2014 lalu. Wacana membentuk poros selain
kedua di atas masih terus dilakukan parpol-parpol.
Pencapresan PPP Pasca Reformasi
Dalam sejarah PPP, Ketum PPP,
Hamzah Haz pernah menduduki jabatan wakil presiden. Ini terjadi pada periode
2001-2004. Pada Pemilu 1999, terpilih Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai
presiden dan Megawati sebagai wakil presiden. Namun pada 2001, Gus Dur dilengserkan
oleh Sidang Istimewa MPR RI. Sidang MPR kemudian mengangkat Megawati sebagai
presiden dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Pemilihan Hamzah Haz saat itu
adalah buah pertimbangan untuk meredam kelompok nahdiyin (warga Nahdatul Ulama)
yang matah dan tidak bisa menerima pelengseran Gus Dur oleh MPR.
Menjelang Pemilu 2004, PPP
mencalonkan Hamzah Haz sebagai capres berpasangan dengan purnawirawan tentara,
Agum Gumelar. Pencalonan Hamzah sebagai Ketum PPP menghadapi tantangan konflik
internal. Kubu internal PPP yang dimotori Zainuddin MZ memisahkan diri dari PPP
dan membentuk PPP Reformasi yang pada Pemilu 2004 menjadi Partai Bintang
Reformasi (PBR). Akibat konflik ini, Hamzah Haz tidak mampu bersaing di pilpres
dan tidak lolos pada putaran kedua (Putaran kedua diikuti pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi).
Pada 2009, PPP praktis tidak
mencalonkan kader sebagai capres maupun cawapres. Saat itu, sempat terjadi
silang pendapat di internal PPP. Sebagian ingin mendukung Susilo Bambang
Yudhoyono-Budiono, sebagian yang lain ingin mendukung pasangan
Megawati-Prabowo. Bahkan, juga ada yang mendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto.
Pada 2014 lalu, internal PPP
sempat mewacanakan beberapa tokoh Islam untuk diusung sebagai capres. Nama-nama
yang muncul antara lain: Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP saat itu), Jusuf Kalla
(Tokoh Senior Golkar), Din Syamsuddin (Mantan Ketum PP Muhammadiyah). Pada
akhirnya, calon yang diusulkan PPP gagal maju sebagai capres-cawapres. Dukungan
PPP akhirnya diberikan kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Dukungan pencapresan 2014
ternyata menimbulkan konflik internal. Sebagian menolak kebijakan Ketum
Suryadharma Ali yang mendukung Prabowo. Sekjend PPP yang saat itu dijabat
Romahurmuzy memilih mendukung Jokowi. Akibatnya, PPP didera konflik internal
yang cukup panjang hingga terjadi dualisme kepengurusan.
Tantangan
Upaya PPP mendorong pencalonan
Rommy sebagai cawapres terus dilakukan. Berbagai spanduk dan baliho Gus Rommy
pun bertebaran di berbagai daerah. Juga iklan di media elektronik. Akan tetapi,
pencalonan Gus Rommy bukan hal mudah. Merujuk hasil survei nasional lembaga
survei Charta Politika pada Mei 2018, elektabilitas, Gus Rommy sebagai cawapres
masih jauh tertinggal dibanding cawapres (tokoh Islam) lain seperti Mahfud MD,
Muhaimin Iskandar (Ketum PKB) dan Zulkifli Hasan (Ketum PAN).
Tantangan terberat pencalonan
Gus Rommy justru muncul dari internal PPP. Kisruh dualisme partai tersebut
menyisahkan luka bagi beberapa faksi internal. Sejak konflik dualisme, terdapat
tiga faksi di PPP: faksi Djan Faridz, faksi PPP khittah dan faksi Rommy
sendiri. Adanya faksi tersebut tentu membuat sulit pencalonan Gus Rommy.
Selain pertentangan faksi, efek
konflik internal PPP membuat beberapa kader berpindah parpol. Sebagai contoh,
Ahmad Yani, politisi PPP yang pernah mencalonkan diri sebagai kandidat Ketum
telah menyatakan bergabung ke Partai Bulan Bintang (PBB). Ia bahkan mengklaim
membawa gerbong massa PPP untuk memilih partai besutan Yusril Ihza Mahendra.
Politisi PPP lain yang berpindah parpol adalah Dimyati Natakusumah. Kecewa
dengan konflik panjang, ia memutuskan untuk hengkang dari PPP.
Munculnya politik identitas di
tahun politik (sejak Pilkada 2017 dan diprediksi hingga Pemilu 2019) sebetulnya
menjadi momentum PPP dan Gus Rommy untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Identitas PPP sebagai parpol Islam mempunyai nilai tambah dan daya tawar bagi
pemilih muslim terlebih yang berlatar belakang pendidikan agama (terutama
pesantren tradisional). PPP yang sudah cukup dikenal lama sebagai parpol Islam
(sejak era Orde Baru) memiliki tempat tersendiri bagi sebagian pemilih muslim.
Inilah modal Gus Rommy dalam mendukung pencalonannya serta bagi PPP untuk
mendongkrak suara di Pemilu 2019 nanti.
Namun begitu, PPP harus merumuskan
konsep siyasah Islam yang komprehensif dalam konteks politik Indonesia agar
mampu "dijual" di pasar politik bebas saat ini. Selama ini, seperti
pernah diungkap Kuntowijoyo, konsep politik Islam "sangat manis"
dalam tataran teori. Tetapi pada prakteknya banyak terdapat "gap".
Itulah sebabnya, menurut Kuntowijoyo, pertanyaan yang memberatkan yang kerap
diajukan adalah how to do it? (Kuntowijoyo, 2018:xix).
Peluang
Di tengah tantangan pencalonan,
Gus Rommy memiliki peluang, memiliki basis pemilih dari kalangan warga Nahdatul
Ulama (NU). Ia yang merupakan keturunan KH. Wahab Chasbullah salah satu pendiri
NU. Di kalangan warga NU, garis keturunan kyai sangat terpandang, termasuk bagi
mereka yang terjun ke politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar