Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti
Parameter Politik Indonesia)
Menjelang pendaftaran calon Presiden
untuk Pemilihan Umum 2019 pada Agustus 2018, beberapa partai politik
menyodorkan nama yang akan diusung. Partai Kebangkitam Bangsa (PKB) mencalonkan
Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar untuk maju di Pilpres. Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) bahkan mengajukan sembilan nama kader.
Selain PKB dan PKS, Partai Amanat
Nasional (PAN) juga memunculkan empat nama kadernya sebagai capres. Mereka
adalah Zulkifli Hasan (Ketum), Hatta Rajasa (Mantan Ketum), Amin Rais (Mantan
Ketum), serta Sutrisno Bachir (Mantan Ketum). Bagaimana peluang keempatnya?
Munculnya empat nama tersebut bagi
sebagian orang cukup mengagetkan. Pasalnya, menjelang pilpres 2019, PAN sering
mengemukakan bahwa Ketum Zulkifli adalah calon presiden yang akan diusung. Bahkan,
banyak beredar spanduk bertuliskan "Zulkifli Calon Presiden".
Dalam narasi pencapresan di Indonesia,
keempat nama tersebut sudah tidak asing lagi. Pada pilpres 2004, Amin Rais
sempat mencalonkan diri sebagai capres. Menjelang pilpres 2009, Ketum PAN saat
itu, Sutrisno Bachir juga sempat dikabarkan akan mencalonkan sebagai capres. Ia
bahkan sempat meminta dukungan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kemudian pada
pilpres 2014 lalu, Hatta Rajasa maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo
Subianto. Dari pengalaman tersebut, wajar jika Zulkifli juga didorong maju
sebagai capres atau cawapres PAN di 2019.
Pemilu 2019 nanti memang berbeda dari
Pemilu-Pemilu sebelumnya. Pada 2019, pemilihan legislatif akan dilaksanakan
serentak dengan pemilihan presiden. Dengan model demikian, parpol yang tidak
mencapreskan kadernya diperkirakan sulit meraup suara. Sementara itu di sisi
lain angka parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang tinggi yakni 4%
(empat persen), menjadi momok parpol. Jika tidak sampai batas itu, otomatis
tidak duduk di DPR RI. Padahal, tujuan Pemilu adalah menempatkan kader parpol
di parlemen, terutama di pusat (DPR RI).
Pencapresan empat kader PAN ini bisa
dilihat dari upaya PAN untuk mendapatkan coattail effect atau yang sering
disebut "efek jas kera". PAN tentu berharap dengan munculnya capres
tersebut dapat meningkatkan elektabilitasnya. Teori efek jas kera terbukti
dirasakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pencapresan Joko
Widodo turut berdampak pada tingginya elektabilitas partai.
Pencapresan keempat kader sekaligus
tokoh PAN tersebut sebetulnya memiliki peluang yang cukup besar. Dari sisi
massa pemilih, PAN merupakan parpol yang basis pemilihnya mayoritas warga
Muhammadiyah. Tentu ini menjadi modal pencalonan dan pembentukan koalisi dengan
parpol lain. Namun di sisi lain, persoalan yang dapat penulis identifikasi
adalah tidak semua warga Muhammadiyah pemilih PAN.
Tantangan bagi capres PAN adalah tentang
elektabilitasnya yang tidak diungulkan dalam berbagai survei. Dari berbagai survei,
dari empat capres PAN hanya Zulkifli yang sering muncul. Meski elektabilitasnya
masih jauh bila dibanding capres lain seperti Jokowi, Prabowo dan Agus
Harimurti Yudhoyono. Elektabilitas Zulkifli juga rendah jika ia menjadi
cawapres, masih di bawah Muhaimin Iskandar (PKB) dan Anies Baswedan (Gubernur
DKI Jakarta).
Selain elektibilitas rendah, yang juga
menjadi tantangan PAN adalah resistensi terhadap capresnya terutama Amin Rais.
Seperti diketahui, Amin kerap melancarkan kritik pedas terhadap Jokowi. Amin
bahkan mendoakan agar Jokowi tidak terpilih lagi dan menyebut Allah akan malu
jika tidak mengabulkan doa umat Islam yang ingin ganti presiden. Beberapa
pernyataan kontroversial Amin berujung pada ketidakpercayaan beberapa aktivis
1998. Mereka bahkan ingin meninjau kembali gelar Amin sebagai "Bapak
Reformasi" Indonesia.
Nama Amin yang muncul sebagai capres
usulan PAN langsung mendapat reaksi dari sesama politisi. Yusril Ihza Mahendra
misalnya mengingatkan Amin agar tidak "plin-plan" dalam berbicara.
Lain halnya dengan Mardani Ali Sera. Menurut politisi PKS itu, sebaiknya
memberikan kesempatan pada generasi yang lebih muda.
Capres lain, Hatta Rajasa dan Sutrisno
Bachir juga cukup berat untuk disandingkan dengan calon-calon lain. Namanya
tidak sepopuler beberapa tahun silam. Hatta misalnya, sejak tidak terpilih
Ketum PAN sudah jarang muncul dimuka publik sebagai politisi dan tokoh parpol.
Demikian halnya dengan Sutrisno Bachir.
Akhirnya, jika merujuk hasil survei
elektabilitas capres/cawapres, tidak ada pilihan lain bagi PAN untuk bekerja
ekstra keras meningkatkan elektabilitas kader dan tokohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar