Oleh: Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter
Politik Indonesia)
Awal Juni 2018, politisi senior Partai
Amanat Nasional (PAN) Amien Rais dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo
Subianto menjalani ibadah umrah ke Tanah Suci. Kedua tokoh oposisi ini juga
memanfaatkan kesempatan ke Makkah untuk bertemu tokoh Front Pembela Islam,
Rizieq Shihab. Ketiganya membahas situasi politik dan menjajaki kemungkinan
koalisi di pemilihan presiden 2019 nanti. Pertemuan ketiga tokoh ini mengundang
tanda tanya, "Kenapa tidak dihadiri tokoh Partai Keadilan Sejahtera
(PKS)?".
Syarat pencapresan 2019 dengan
menggunakan ambang batas parlemen hasil Pemilu 2014 memaksa parpol untuk
berkoalisi sesama parpol dalam mengusung capres. Hal ini yang terus dirajut
parpol-parpol jelang pendaftaran Capres-Cawapres pada bilang Agustus 2018.
Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra tengah menggalang dukungan partai
lain, terutama memastikan dukungan dari PAN dan PKS.
Upaya menjalin koalisi untuk pilpres sudah
dilakukan Gerindra. Hal ini terlihat dalam beberapa provinsi yang menggelar
Pilkada serentak 2018, Gerindra berkoalisi dengan PAN dan PKS. Ketiganya tampak
solid. Dalam banyak kesempatan tokoh ketiga parpol tersebut lantang menyuarakan
"2019 Ganti Presiden".
Akan tetapi, soliditas ketiganya diuji
dengan pasangan cawapres yang akan dipinang Prabowo. Hal yang juga sama dialami
Jokowi, meski didukung banyak parpol, namun soliditas dukungan diuji jika
Jokowi mengambil salah satu dari kader parpol yang sudah mendukungnya.
Sejak "kemesraan" Gerindra dan
PKS terbangun, terutama sebagai oposan pemerintah, dapat diprediksi bahwa
Prabowo akan menggandeng kader PKS sebagai cawapresnya. Terlebih, dalam Pilkada
Jakarta 2017 lalu, PKS telah merelakan kader mereka tidak menjadi pasangan
calon, karena Sandiaga Uno (Gerindra) diduetkan dengan Anies Baswedan (non
parpol). Oleh sebab itu, PKS telah memilih sembilan kader terbaik mereka untuk
diajukan sebagai cawapres Prabowo.
Setelah PKS memunculkan sembilan
capres/cawapres dengan harapan dipinang Prabowo, bukannya peluang besar yang
didapatkan PKS, melainkan konflik internal dan persaingan dengan parpol yang
akan bergabung dengan Gerindra, yaitu PAN.
Sembilan nama capres/cawapres PKS saling
bersaing selain mendapat dukungan dari internal PKS, juga merebut hati
masyarakat, meningkatkan elektibilitas. Namun disayangkan, internal PKS
berkonflik. Hal ini seperti ditandai adanya upaya menjegal langkah Anis Matta
sebagai capres PKS sebagaimana dikemukakan Fahri Hamzah. Menurut Fahri, elit
PKS tidak menghendaki Anis muncul sebagai capres. Bahkan, loyalis Anis
dibeberapa daerah diberhentikan dari kepengurusan tingkat daerah.
Selain konflik internal, elektabilitas
kader-kader yang diajukan PKS, berdasarkan beberapa hasil survei juga masih
rendah. Hal ini yang mungkin membuat Gerindra (Prabowo) mulai melirik calon
lain sebagai pasangannya. Nama-nama yang muncul adalah Zulkifli Hasan, Ketua
Umum PAN yang juga Ketua MPR RI. Hal ini terlihat dari hubungan intens
Gerindra-PAN, meski PAN belum menentukan sikap resmi. Nama lain yang juga
muncul adalah Anies Baswedan.
Wacana koalisi Gerindra-PAN dalam
pencapresan (mengusung Prabowo-Zulkifli Hasan) kian menguat karena secara
syarat, keduanya memenuhi ambang batas parlemen. Selain itu, ibadah umrah yang
dilakukan oleh Amin Rais dan Prabowo juga dapat dibaca sebagai intensitas
hubungan keduanya serta peluang koalisi pencapresan.
Kemesraan Gerindra-PAN segera direspon
PKS. Bagi PKS, kursi cawapres menjadi "harga mati" bagi parpol yang
dipimpin Sohibul Iman tersebut. PKS bisa berpindah dukungan jika tidak mendapat
tiket cawapres. Bahkan PKS masih memungkinkan berkoalisi dengan Partai Demokrat
dan PKB yang hingga saat ini belum menentukan dukungan.
Politisi Partai Demokrat Syarifuddin
Hasan mengakui bahwa partainya terus menjalin komunikasi dan berupaya membangun
koalisi, termasuk dengan PKS. Demokrat tetap menawarkan kadernya, Agus
Harimurti sebagai capresnya. Bagi Demokrat, sosok Agus dapat menarik pemilih
usia muda.
Sebagai parpol berbasis massa pemilih
muslim (umat Islam), PKS dan PAN tampak sulit berada dalam satu koalisi. Hal
ini dapat dimaklumi, PAN yang secara kultur berbasis pemilih dari organisasi
masyarakat (Ormas) Islam Muhammadiyah memiliki cerita kurang baik. Pada tahun
2005 lalu, Pengurus Pusat Muhammadiyah menerbitkan surat himbauan agar menjadi
aset Muhammadiyah dari penetrasi kader PKS yang mencoba menguasai. Kondisi ini
menyiratkan pesan bahwa PAN dan PKS memiliki hubungan yang kurang baik.
Meski manuver politik pencapresan sangat
beragam, namun perlu dipahami bahwa sifat koalisi yang menjadi kultur politik
Indonesia sangat dinamis. Kepentingan politik berada di atas segalanya. Apapun
bisa terjadi di menit akhir jelang pendaftar capres-cawapres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar