Rabu, 29 November 2017

Fanatisme dan Anti-Kritik: Legacy Pilpres dan Pilkada

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Ada sekian banyak orang memberi kritik baik kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), tetapi pemberi kritik harus berhadapan dengan “nyinyiran” dan cibiran orang-orang yang terlampau fanatik terhadap orang nomor satu di RI dan Jakarta itu. Kondisi ini menunjukkan demokrasi kita tidak sehat.

Pemilihan presiden 2014 dan Pilkada Jakarta 2017 lalu ternyata menyisahkan bermacam luka hati disebagian kalangan. Para pendukung pasangan calon yang kalah masih belum bisa, menggunakan istilah kekinian “move on”, atau dalam pelafalan diucapkan “mup on”. Meski demikian, ada pula orang yang sudah bisa melupakan kekalahan paslon yang didukung. Untuk mendapatkan informasi move on atau tidaknya, kita bisa melihat di beranda media sosial rekan dan teman yang terlibat total di kampanye Pilpres dan Pilkada Jakarta lalu.

Dalam konteks kehidupan beragama, pemikir Muslim Abu Ala al-Maududi mengulas secara mendalam sikap fanatisme selalu berujung pertikaian. Fanatisme kesukuan yang terjadi di padang pasir Arab era kesultanan (kekhalifahan dulu), menurut Maududi menjadi biang kemunduran Islam. Akibat pertikaian yang disebabkan fanatisme itu, wilayah kekuasaan Islam mulai terpecah-pecah (Maududi, 96:42).

Apa sebab fanatisme ini? Ahmad Shidqi menjelaskan fanatisme muncul akibat hilangnya rasa confident dan rasionalitas dalam diri seseorang. Biasanya, fanatisme itu tumbuh dan berkembang akibat problem ekonomi yang melanda seseorang serta kekalahan bersaing dengan modernitas dan globalisasi. Lahirnya globalisasi memberi konsekuensi adanya jurang disparitas ekonomi yang besar. Globalisasi telah menciptakan orang kaya dengan kekayaan “selangit” dan pada saat yang sama menciptakan orang miskin dengan kemiskinan “hingga dasar laut”.

Dalam kondisi ini, beberapa pemeluk agama, adat dan kebudayaan menghadapi dilema. Di tengah dilema ini, muncul anggapan bahwa modernitas atau bahkan globalisasi adalah ancaman. Pada titik ini lahirlah fanatisme (Shidqi: 44). Mereka anti terhadap kritik akibat dogma “psudo” yang merasuki otaknya. Fanatisme ini juga kerap muncul akibat menguatnya “politik identitas”. Model ini telah membuat pemilih bersikap irasional karena basis pemilihan lebih didasarkan atas kesamaan, suku, budaya dan agama, dan menafikan kapasitas actor politik.

Sumanto Al-Qurtubi dalam kolom Opini di sebuah media berita online menulis bahwa pengalaman Pilkada serentak 2015 dan 2017 telah secara nyata memunculkan fanatisme di lapisan masyarakat, baik masyarakat religius maupun sekular. Menurut Qurtubi fanatisme ini muncul akibat orang lebih senang belajar instan, tidak mendalam. Informasi yang diterima ditelan mentah-mentah tanpa ada proses apa yang disebut dalam istilah Islam sebagai tabayun. Mereka yang sudah memperoleh informasi melalui cara-cara instan menganggap informasinya paling benar dan menjadi legitimasi melakukan tindakan. Cara pikir mereka “mengeras” dan tidak membuka ruang berdebat (diskusi), sehingga menjadi anti kritik.


Jika fanatisme dan sikap anti kritik ini terus dipelihara, menjangkiti pejabat dan para pendukungnya, maka bahaya perpecahan sangat mungkin terjadi. Dalam dua tahun mendatang 2018 dan 2019 Indonesia kembali menghadapi momentum pemilihan kepala daerah dan Pemilu serentak Pilpres dan Pileg. Bahaya fanatisme akibat momentum politik sebelumnya (Pilkada 2015 dan 2017) terus membayangi ke depan. Setiap pihak sebaiknya terbuka terhadap ruang dialog dan tidak terjebak  jurang fanatisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar