Minggu, 12 November 2017

Dilema Pekerja Indonesia

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Kemajuan teknologi secara nyata telah menciptakan berbagai inovasi untuk kemudahan dalam hidup. Beberapa pelayanan publik yang sebelumnya ditangani oleh “tangan-tangan” manusia kini beralih dengan sebuah sistem digital, menggunakan perangkat komputer. Cepat dan mudah dalam pemberian pelayanan menjadi impian para pengguna jasa. Namun, dibalik semua itu ada banyak tangan-tangan pekerja yang mulai dianggurkan (dirumahkan). Inilah tantangan pekerja zaman “now” dan yang akan datang.

Belum lama ini, pada 6 November 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis kondisi terbaru dunia ketenagakerjaan. Hingga Agustus 2017, jumlah usia kerja di Indonesia mencapai 192,08 juta orang. Dari jumlah itu, untuk angkatan kerja terdapat sebanyak 128,06 juta orang, dan angka bukan kerja sebanyak 64,02 juta orang. Dari jumlah 128,06 juta angkatan kerja, terdapat sebanyak 121,02 juta orang yang bekerja dan 7,04 juta orang yang menganggur. BPS mengklasifikasikan jumlah pekerja dengan tiga jenis kerja, yaitu: 87,20 juta orang menjadi pekerja penuh; 24,68 juta menjadi pekerja paruh penuh; dan 9,14 juta orang menjadi pekerja setenggah menganggur.

Sementara itu untuk usia kerja yang berada di kelompok bukan angkatan kerja yang berjumlah 64,02 juta orang, berdasarkan hasil survei BPS menunjukkan 39,92 juta orang mengurus rumah tangga; 16,49 juta bersekolah; dan 7,61 melakukan kegiatan lain-lain. Perlu dicatat, bahwa jumlah angkatan kerja hingga bulan Agustus 2017 menunjukkan tren penurunan dibanding bulan Februari 2017. BPS mencatat angkatan kerja per Februari sebanyak 131,55 juta orang. Hal ini menunjukkan adanya pemutusan hubungan kerja atau faktor lain sehingga terjadi penurunan angkatan kerja.

Hingga Agustus 2017, dari sebanyak 121,02 juta orang yang bekerja, pekerja di sektor pertanian masih mendominasi dengan jumlah 35,93 juta orang. Selanjutnya, sektor lain yang cukup menyedot pekerja adalah perdagangan sebanyak 28,17 juta orang, disusul sektor jasa sebanyak 20,48 juta orang, sektor industri sebanyak 17,01 juta orang, sektor konstruksi sebanyak 8,14 juta orang, sektor transportasi sebanyak 5,76 orang, sektor keuangan sebanyak 3,75 juta orang, sektor pertambangan sebanyak 1,39 juta orang, dan sektor listrik, gas air sebanyak 0,39 juta orang.

Dari jumlah penduduk bekerja yang menjadi 121 juta orang, status pekerjaan yang paling dominan adalah buruh/karyawan sebanyak 39,71 juta orang. Sedangkan jika dilihat dari latar balakang pendidikan, pekerja di Indonesia masih didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD atau setingkatnya) ke bawah, yaitu sebanyak 50,98 juta orang pekerja. Sementara lulusan perguruan tinggi (sarjana) hanya 11,32 juta orang.

Potret kondisi pekerja Indonesia menunjukkan dua masalah utama, yaitu: jumlah pekerja bisa terus menurun, artinya akan banyak pekerja yang dirumahkan, dan tantangan pekerja yang terus bermunculan. Seperti disinggung di atas, bahwa transformasi pelayanan publik berbasis digitalisasi pada satu sisi memberi kemudahan dan efektivitas pelayanan, namun di sisi lain harus mengorbankan tangan-tangan manusia yang selama ini mengerjakannya. Pilihan pelayanan berbasis digitalisasi akan menjadi pilihan utama perusahan karena selain efektivitas juga dapat menekan cost pengeluaran. Perkembangan teknologi ini nantinya, bukan tidak mungkin akan menciptakan mesin-mesin pekerja dan menggantikan tangan manusia.

Tantangan lain dari pekerja Indonesia adalah masifnya tenaga asing dari luar. Merujuk data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang dinukil Kompas, ada sebanyak 74,183 tenaga kerja luar negeri di Indonesia. Jumlah tersebut didominasi pekerja yang berasal dari Tiongkok.

Pekerja Indonesia tampak mengalami dilema. Pada satu sisi, negara (Pemerintah) menjanjikan penyediaan lapangan kerja. Namun disisi lain, inovasi teknologi ternyata menginginkan pemangkasan jumlah pekerja. Ini terutama terjadi di sektor swasta. Menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, rasanya bukan solusi mengatasi tantangan pekerja era digital.


Negara harus menempatkan kembali pekerja sebagai manusia yang bernilai, bukan sekedar manusia bertenaga yang dipaksa memproduksi barang bukan untuk kebutuhan tapi komoditas. Oleh sebab itu, pekerja harus mendapat pembekalan diri (peningkatan kapasitas) sehingga ia dalam keadaan siap menyongsong digitalisasi. Kondisi ini sekaligus menjadi permenungan bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi) untuk merumuskan kembali pendidikan vokasi untuk menghadapi arus deras digitalisasi.

1 komentar:

  1. Perumusan pendidikan vokasi mutlak dilakukan karena inilah tantangan lembaga pendidikan di era modernisasi saat ini,,,

    BalasHapus