Oleh: Ali Thaufan Dwi
Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)
Kemajuan teknologi secara
nyata telah menciptakan berbagai inovasi untuk kemudahan dalam hidup. Beberapa pelayanan
publik yang sebelumnya ditangani oleh “tangan-tangan” manusia kini beralih
dengan sebuah sistem digital, menggunakan perangkat komputer. Cepat dan mudah
dalam pemberian pelayanan menjadi impian para pengguna jasa. Namun, dibalik
semua itu ada banyak tangan-tangan pekerja yang mulai dianggurkan (dirumahkan).
Inilah tantangan pekerja zaman “now” dan yang akan datang.
Belum lama ini, pada 6
November 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis kondisi terbaru
dunia ketenagakerjaan. Hingga Agustus 2017, jumlah usia kerja di Indonesia
mencapai 192,08 juta orang. Dari jumlah itu, untuk angkatan kerja terdapat
sebanyak 128,06 juta orang, dan angka bukan kerja sebanyak 64,02 juta orang. Dari
jumlah 128,06 juta angkatan kerja, terdapat sebanyak 121,02 juta orang yang
bekerja dan 7,04 juta orang yang menganggur. BPS mengklasifikasikan jumlah
pekerja dengan tiga jenis kerja, yaitu: 87,20 juta orang menjadi pekerja penuh;
24,68 juta menjadi pekerja paruh penuh; dan 9,14 juta orang menjadi pekerja
setenggah menganggur.
Sementara itu untuk usia
kerja yang berada di kelompok bukan angkatan kerja yang berjumlah 64,02 juta
orang, berdasarkan hasil survei BPS menunjukkan 39,92 juta orang mengurus rumah
tangga; 16,49 juta bersekolah; dan 7,61 melakukan kegiatan lain-lain. Perlu dicatat,
bahwa jumlah angkatan kerja hingga bulan Agustus 2017 menunjukkan tren
penurunan dibanding bulan Februari 2017. BPS mencatat angkatan kerja per
Februari sebanyak 131,55 juta orang. Hal ini menunjukkan adanya pemutusan
hubungan kerja atau faktor lain sehingga terjadi penurunan angkatan kerja.
Hingga Agustus 2017, dari
sebanyak 121,02 juta orang yang bekerja, pekerja di sektor pertanian masih
mendominasi dengan jumlah 35,93 juta orang. Selanjutnya, sektor lain yang cukup
menyedot pekerja adalah perdagangan sebanyak 28,17 juta orang, disusul sektor
jasa sebanyak 20,48 juta orang, sektor industri sebanyak 17,01 juta orang,
sektor konstruksi sebanyak 8,14 juta orang, sektor transportasi sebanyak 5,76
orang, sektor keuangan sebanyak 3,75 juta orang, sektor pertambangan sebanyak
1,39 juta orang, dan sektor listrik, gas air sebanyak 0,39 juta orang.
Dari jumlah penduduk bekerja
yang menjadi 121 juta orang, status pekerjaan yang paling dominan adalah buruh/karyawan
sebanyak 39,71 juta orang. Sedangkan jika dilihat dari latar balakang
pendidikan, pekerja di Indonesia masih didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD
atau setingkatnya) ke bawah, yaitu sebanyak 50,98 juta orang pekerja. Sementara
lulusan perguruan tinggi (sarjana) hanya 11,32 juta orang.
Potret kondisi pekerja
Indonesia menunjukkan dua masalah utama, yaitu: jumlah pekerja bisa terus
menurun, artinya akan banyak pekerja yang dirumahkan, dan tantangan pekerja
yang terus bermunculan. Seperti disinggung di atas, bahwa transformasi
pelayanan publik berbasis digitalisasi pada satu sisi memberi kemudahan dan
efektivitas pelayanan, namun di sisi lain harus mengorbankan tangan-tangan
manusia yang selama ini mengerjakannya. Pilihan pelayanan berbasis digitalisasi
akan menjadi pilihan utama perusahan karena selain efektivitas juga dapat
menekan cost pengeluaran. Perkembangan
teknologi ini nantinya, bukan tidak mungkin akan menciptakan mesin-mesin
pekerja dan menggantikan tangan manusia.
Tantangan lain dari pekerja
Indonesia adalah masifnya tenaga asing dari luar. Merujuk data Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang dinukil Kompas, ada
sebanyak 74,183 tenaga kerja luar negeri di Indonesia. Jumlah tersebut
didominasi pekerja yang berasal dari Tiongkok.
Pekerja Indonesia tampak
mengalami dilema. Pada satu sisi, negara (Pemerintah) menjanjikan penyediaan
lapangan kerja. Namun disisi lain, inovasi teknologi ternyata menginginkan
pemangkasan jumlah pekerja. Ini terutama terjadi di sektor swasta. Menciptakan lapangan
kerja sebanyak-banyaknya, rasanya bukan solusi mengatasi tantangan pekerja era
digital.
Negara harus menempatkan
kembali pekerja sebagai manusia yang bernilai, bukan sekedar manusia bertenaga
yang dipaksa memproduksi barang bukan untuk kebutuhan tapi komoditas. Oleh sebab
itu, pekerja harus mendapat pembekalan diri (peningkatan kapasitas) sehingga ia
dalam keadaan siap menyongsong digitalisasi. Kondisi ini sekaligus menjadi
permenungan bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah menengah atas hingga perguruan
tinggi) untuk merumuskan kembali pendidikan vokasi untuk menghadapi arus deras
digitalisasi.
Perumusan pendidikan vokasi mutlak dilakukan karena inilah tantangan lembaga pendidikan di era modernisasi saat ini,,,
BalasHapus