Kamis, 09 November 2017

Wisata: Antara Eksploitasi Keindahan Alam dan Seksual

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Keindahan alam Indonesia tidak berlebihan rasanya jika disebut dengan “surga kecil dunia”. Keindahan ini pula yang mendorong minat pemerintah untuk membuka tempat-tempat pariwisata baru guna mendongkrak ekonomi lokal dan menjadi sumber devisa negara. Kampanye pesona Indonesia dilakukan secara masif untuk menarik perhatian wisatawan baik lokal maupun wisatawan mancanegara (wisman). Dibukannya tempat pariwisata memberi efek domino bagi terbukanya usaha-usaha kecil menengah dan pemberdayaan masyarakat untuk memproduksi kekhasan daerah baik makanan atau pernak-pernik buah tangan lainnya.

Meski jumlah wisman Indonesia masih kalah dengan beberapa negara tetangga, tetapi wisman yang berkunjung ke Indonesia menunjukan tren kenaikan. Statistik Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Indonesia menunjukkan adanya kenaikan. Pada bulan Januari 2015 jumlah wisman ke Indonesia sebanyak 798.983, lalu meningkat pada Desember 2015 sebanyak 986.519. Kemudian pada Januari 2016 jumlah wisman sebanyak 814.303, meningkat pada Desember 2016 menjadi 1.113.328. Selanjutnya pada Januari 2017 sebanyak 1.032.930 wisman dan meningkat pada Agustus 2017 sebanyak 1.404.664 (Kemenpar.go.id).

Kendala utama pariwisata Indonesia adalah infrastruktur menuju tempat pariwisata yang belum memadai. Hal ini yang menyebabkan ongkos menuju destinasi menjadi tinggi (mahal) sehingga wisman lokal pun enggan berkunjung. Kondisi ini juga tidak menguntungkan bagi penyedia jasa travel pariwisata karena selain memakan waktu perjalanan yang cukup lama, juga mempertahuhkan keselamatan.

Sisi positif pariwisata sebagai sumber devisi negara teryata menyimpan sisi negatif. Hasil penelitian ECPAT, sebuah organisasi yang menaruh perhatian pada pengembangan pariwisata menemukan adanya tempat-tempat pariwisata yang bukan saja tidak ramah anak, tapi juga membahayakan. Beberapa tempat pariwisata diduga menjadi tempat eksploitasi seksual anak. Kondisi ini tentu sangat merugikan karena adanya tempat pariwisata diikuti dengan mengorbankan masa depan anak (Kompas 10/11/2017).

ECPAT menemukan lima modus eksploitasi seksual anak di tempat pariwisata, yaitu: protitusi anak; prostitusi online; pedofilia; wisata seks; dan kopi pangku. Protitusi anak hampir tersedia di tempat pariwisata seperti bar, kelap malam, tempat karaoke dan hotel. Ironisnya, penyedia tempat hiburan ini memang menyediakan perempuan usia anak-anak untuk memuaskan pengunjung. ECPAT juga menemukan motif kedatangan para turis, bahwa mereka tidak hanya ingin menikmati alam indah wisata Indonesia, tetapi juga mencari pemuas nafsu seksnya.

Sementara itu, wisata seks menurut ECPAT kerap terjadi di daerah wisata pegunungan. Daerah wisata seks menawarkan wisata kawin beberapa bulan bagi pengunjungnya (kawin kontrak). Dapat dibayangkan, ada berapa banyak anak yang tak memiliki orang tua yang lahir dari aktivitas wisata seks atau kawin kontrak ini?

Modus lain dari ekploitasi seks di tempat pariwisata adalah kopi pangku. Wisata model ini menyediakan kafe-kafe dan para pengunjungnya (pria) disediakan anak-anak gadis perempuan untuk dipangku selama menikmati minuman.

Inilah potret buram dunia pariwisata. Membuka tempat pariwisata berpotensi dan mengandung konsekuensi munculnya tempat-tempat prostitusi. Masyarakat sekitar daerah pariwisata patut berhati-hati dengan fenomena prostitusi di tempat wisata ini. Menjadi kewajiban bagi orang tua untuk menjaga anak-anaknya dari bahaya eksploitasi seksual anak. Peran aparat hukum dan tokoh masyarakat sangat penting untuk menjaga generasi muda penerus bangsa (anak-anak).


Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meredam praktik eksploitasi seksual anak di daerah kawasan wisata adalah membuka program pendidikan pariwisata di sekolah-sekolah tingkat atas. Dengan cara ini, anak-anak dapat memanfaatkan tempat wisata di daerah tersebut dengan bekal ilmu dan pengetahuan, bukan menggadaikan masa depan (melacur).

2 komentar:

  1. Mungkin ini dampak dari kebobrokan pendidikan moral kita, melihat keuntungan didepan tanpa memikirkan dampak besar dikemudian

    BalasHapus