Oleh: Ali Thaufan Dwi
Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)
Partai politik Indonesia sebagai
salah satu pilar penting demokrasi harus berbenah diri. Pasalnya, sebagai
lembaga politik, parpol sepertinya mempunyai jarak dengan masyarakat. Hal ini
tercermin dari hasil survei nasional lembaga Poltraking Indonesia periode
survei 8-15 November 2017 yang di dalamnya terdapat preferensi pemilih terhadap
parpol. Dari 2.400 responden sebanyak 53,9% menyebut tidak ada satu pun parpol
yang dekat dengan responden; 17,6% responden menyebut ada parpol yang dekat;
dan 28,5% responden tidak menjawab. Kondisi tersebut di atas sangat jauh dari
idealitas parpol. Padahal, salah satu fungsi parpol adalah pendidikan politik
masyarakat yang artinya: parpol dekat dengan rakyat.
Temuan survei di atas juga
sekaligus menguatkan tesis Thomas Mayer (2012: 42) yang menyebut bahwa parpol
akan selalu bertopeng manis untuk merebut hati rakyat, tapi disaat bersamaan
parpol selalu menghindar dari tanggung jawab kepada rakyat. Keberadaan parpol
memang kerap hadir pada saat momentum elektoral seperti Pilkada dan Pemilu.
Hasil temuan survei di atas
sekaligus meruntuhkan slogan-slogan parpol yang menjual kata “Rakyat”. Seperti diketahui,
banyak slogan parpol yang bertemakan rakyat, antara lain: Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) mengusung slogan “PKB Membela Rakyat”; Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) mengusung slogan “Berkhidmat untuk Rakyat”; Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) mengusung slogan “Bergerak Bersama Rakyat”; Partai Golongan Karya
mengusung slogan “Golkar Sahabat Rakyat”.
Meskipun parpol dianggap
memiliki jurang “gap” dengan rakyat, tetapi parpol masih mendapat kepercayaan
dari rakyat. Hasil survei Poltracking kali ini menyebut bahwa sebanyak 38,1% masih
percaya kepada parpol; 29,2% tidak percaya; dan 32,7% tidak menjawab. Hasil tersebut
menunjukkan ada ruang trust publik
terhadap parpol. Ruang inilah yang tidak boleh disia-siakan parpol.
Ruang kepercayaan publik
terhadap parpol harus terus ditingkatkan. Pasalnya kepercayaan publik terbilang
berbeda tipis dengan mereka yang tidak percaya, berbeda 7%. Beratnya meningkatkan
kepercayaan publik terhadap parpol diakibatkan ulah parpol itu sendiri. Sebagai
contoh, konflik internal parpol yang mengemuka di ruang publik dan adanya elit
parpol yang terlibat kasus korupsi membuat kian beratnya parpol merebut hati
rakyat.
Kepercayaan publik terhadap
parpol harus dibayar pula dengan program parpol yang sejalan dengan keinginan
rakyat. Program kerja parpol dan keberpihakannya terhadap rakyat menjadi
indikator utama elektabilitas parpol ketimbang ketokohan “figur” parpol atau
ikatan ideologi (agama) parpol. Survei Poltracking menyebutkan bahwa faktor
ketokohan dan figur partai tidak begitu memengaruhi elektabilitas. Demikian juga
dengan parpol agama, parpol berdasarkan ideologi.
Perilaku pemilih tidak
selalu mengedepankan asas kesamaan ideologi antara pemilih dengan parpol. Dalam
konteks politik Indonesia, parpol berideologi agama (katakanlah parpol Islam)
belum mampu memikat pemilih. Padahal mayoritas pemilih di Indonesia beragama
Islam. Hal ini terbukti berdasarkan Pemilu dari tahun ke tahun bahwa parpol
Islam di Indonesia tak mampu bersaing di papan atas. Demikian halnya dengan
hasil survei terbaru ini, parpol Islam tak mampu bersaing di tiga besar. Tiga parpol
dengan tingkat elektabilitas tertinggi adalah PDI-Perjuangan dengan 23,4%,
partai Gerindra 13,6%, dan partai Golkar dengan 10,9%. Parpol Islam PKB
bertengger di urutan keempat dengan 5,1%.
Menjelang Pilkada 2018 dan
Pemilu 2019, parpol harus segera berbenah dan mencari strategi merebut hati
rakyat. Parpol harus kembali kepada asas dasar pendirian parpol: sebagai pilar
demokrasi dan dalam rangka menyejahterakan rakyat. Namun perebutan hati rakyat
juga harus dilakukan dengan cara-cara beretika, bukan secara membabi-buta
menyebar kampanye hitam antarparpol. Ini bukan contoh baik dalam berdemokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar