Minggu, 26 November 2017

Merebut Hati Rakyat

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Partai politik Indonesia sebagai salah satu pilar penting demokrasi harus berbenah diri. Pasalnya, sebagai lembaga politik, parpol sepertinya mempunyai jarak dengan masyarakat. Hal ini tercermin dari hasil survei nasional lembaga Poltraking Indonesia periode survei 8-15 November 2017 yang di dalamnya terdapat preferensi pemilih terhadap parpol. Dari 2.400 responden sebanyak 53,9% menyebut tidak ada satu pun parpol yang dekat dengan responden; 17,6% responden menyebut ada parpol yang dekat; dan 28,5% responden tidak menjawab. Kondisi tersebut di atas sangat jauh dari idealitas parpol. Padahal, salah satu fungsi parpol adalah pendidikan politik masyarakat yang artinya: parpol dekat dengan rakyat.

Temuan survei di atas juga sekaligus menguatkan tesis Thomas Mayer (2012: 42) yang menyebut bahwa parpol akan selalu bertopeng manis untuk merebut hati rakyat, tapi disaat bersamaan parpol selalu menghindar dari tanggung jawab kepada rakyat. Keberadaan parpol memang kerap hadir pada saat momentum elektoral seperti Pilkada dan Pemilu.

Hasil temuan survei di atas sekaligus meruntuhkan slogan-slogan parpol yang menjual kata “Rakyat”. Seperti diketahui, banyak slogan parpol yang bertemakan rakyat, antara lain: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusung slogan “PKB Membela Rakyat”; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusung slogan “Berkhidmat untuk Rakyat”; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusung slogan “Bergerak Bersama Rakyat”; Partai Golongan Karya mengusung slogan “Golkar Sahabat Rakyat”.

Meskipun parpol dianggap memiliki jurang “gap” dengan rakyat, tetapi parpol masih mendapat kepercayaan dari rakyat. Hasil survei Poltracking kali ini menyebut bahwa sebanyak 38,1% masih percaya kepada parpol; 29,2% tidak percaya; dan 32,7% tidak menjawab. Hasil tersebut menunjukkan ada ruang trust publik terhadap parpol. Ruang inilah yang tidak boleh disia-siakan parpol.
Ruang kepercayaan publik terhadap parpol harus terus ditingkatkan. Pasalnya kepercayaan publik terbilang berbeda tipis dengan mereka yang tidak percaya, berbeda 7%. Beratnya meningkatkan kepercayaan publik terhadap parpol diakibatkan ulah parpol itu sendiri. Sebagai contoh, konflik internal parpol yang mengemuka di ruang publik dan adanya elit parpol yang terlibat kasus korupsi membuat kian beratnya parpol merebut hati rakyat.

Kepercayaan publik terhadap parpol harus dibayar pula dengan program parpol yang sejalan dengan keinginan rakyat. Program kerja parpol dan keberpihakannya terhadap rakyat menjadi indikator utama elektabilitas parpol ketimbang ketokohan “figur” parpol atau ikatan ideologi (agama) parpol. Survei Poltracking menyebutkan bahwa faktor ketokohan dan figur partai tidak begitu memengaruhi elektabilitas. Demikian juga dengan parpol agama, parpol berdasarkan ideologi.

Perilaku pemilih tidak selalu mengedepankan asas kesamaan ideologi antara pemilih dengan parpol. Dalam konteks politik Indonesia, parpol berideologi agama (katakanlah parpol Islam) belum mampu memikat pemilih. Padahal mayoritas pemilih di Indonesia beragama Islam. Hal ini terbukti berdasarkan Pemilu dari tahun ke tahun bahwa parpol Islam di Indonesia tak mampu bersaing di papan atas. Demikian halnya dengan hasil survei terbaru ini, parpol Islam tak mampu bersaing di tiga besar. Tiga parpol dengan tingkat elektabilitas tertinggi adalah PDI-Perjuangan dengan 23,4%, partai Gerindra 13,6%, dan partai Golkar dengan 10,9%. Parpol Islam PKB bertengger di urutan keempat dengan 5,1%.


Menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, parpol harus segera berbenah dan mencari strategi merebut hati rakyat. Parpol harus kembali kepada asas dasar pendirian parpol: sebagai pilar demokrasi dan dalam rangka menyejahterakan rakyat. Namun perebutan hati rakyat juga harus dilakukan dengan cara-cara beretika, bukan secara membabi-buta menyebar kampanye hitam antarparpol. Ini bukan contoh baik dalam berdemokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar