Minggu, 19 Februari 2017

Menyudahi Pilkada dengan Persatuan



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Rabu, 15 Februari 2017 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia dan beberapa daerah. Hari itu dilangsungkan Pilkada serentak gelombang II tahun 2017. Sebelumnya, telah dilakukan Pilkada serentak pada 2015. Pilkada serentak 2017 dihelat di 101 daerah, terdiri dari 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota. Dari jumlah tersebut, terdapat 310 pasangan calon dan terdapat 9 daerah dengan calon tunggal. Total anggaran yang dibutuhkan dalam pesta demokrasi ini sebesar Rp. 4,452 triliun. 

Bangsa Indonesia patut berbangga, dalam perhelatan pesta demokrasi itu berjalan dengan lancar, tertip dan aman. Meski terdapat beberapa persoalan, tetapi secara umum tidak ada kendala berarti. Kinerja penyelenggara Pemilu patut diaspresiasi. Total penyelenggara yang terlibat sebanyak 823.099 petugas penyelenggara dari tingkat kecamatan, kelurahan hingga TPS. Demikian halnya dengan Polri yang telah mengamankan Pilkada sejak mulai tahapan hingga pemungutan dan penghitungan suara. Total personil yang mengamankan hari H pencoblosan sebanyak 113.554 personil Polisi, dan 12.854 TNI (Majalah Tempo 19 Februari 2017).

Tidak berselang lama dari hari pemungutan suara, KPU telah menetapkan hasil real count beberapa daerah. Tentunya, beberapa daerah sudah mengetahui siapa pemenang Pilkada. Bagi kepada daerah yang terpilih, keterpilihan mereka ini menjadi semangat baru bagi pemerintah daerah untuk melanjutkan pembangunan yang telah direncanakan. Kepala daerah baru harus mampu menjawab tudingan masyarakat bahwa kepala daerah kerap melakukan korupsi. Dikutip dari situs resmi Kompas.com, pada tahun 2016 saja, terdapat 10 (sepuluh) kepala daerah tersangkut kasus korupsi (20/2/2017). Tingginya angka korupsi yang dilakukan kepala daerah dapat berdampak pada tingginya golput, atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada.

Menjelang tahapan Pilkada 2017 dimulai, publik dipertontonkan dengan beredarnya berita-berita hoax, berita palsu. Berita itu didesain khusus untuk menjatuhkan orang-orang tertentu yang akan berkontestasi dalam Pilkada. Peredaran berita palsu bahkan semakin masif saat memasuki masa kampanye. Masyarakat disuguhkan berita yang tidak dapat dikonfirmasi sumber dan kebenarannya. Cenderung bohong. 

Peredaran berita palsu ini secara langsung mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Masyarakat dengan mudah menjadi “masyarakat pembenci”, dan menebar kebencian. Media sosial yang mulanya menjadi alat komunikasi pengguna, seketika saja menjelma menjadi alat menyebar propaganda. Tidak jarang diantara pengguna medsos akhirnya mengakhiri pertemanan di dunia maya itu karena terlalu berlebihan merespon berita yang “berseliweran”, tidak mampu dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Masyarakat merasakan ada yang hilang pada saat Pilkada lalu, yaitu: persatuan. Di berbagai daerah yang meggelar Pilkada, masyarakat terbelah karena harus menentukan pilihan politik, memilih salah satu pasangan calon. Hal itu yang mau tidak mau juga membelah persatuan mereka. Dalam sebuah komunitas bernama “rukun tetangga” sekalipun, perbedaan pilihan selalu ada. Tidak jarang, perbedaan pilihan ini lah yang memisahkan “sementara” persatuan mereka.

Kini, Pilkada telah selesai. Yang tersisa mungkin kedongkolan sebagaian pendukung fanatis paslon. Ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh jika tidak puas dengan hasil Pilkada, yaitu melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Bagi daerah Pilkada yang secara clear tidak ada gugatan sengketa MK, maka konsolidasi politik lokal mendesak dilakukan. “Pekerjaan Rumah” yang menuntut segera dilakukan adalah menyatukan kekuatan politik pasca Pilkada. Yang menang tidak boleh jumawa, dan yang kalah tidak boleh putus asa. Jika niat para paslon adalah bertekat membangun daerah, maka jabatan kepala daerah bukan satu-satunya cara. Paslon yang kalah tetap dapat berpartisipasi membangun daerah dengan pengawasan ketat terhadap jalannya pembangunan. Itulah mengapa pentingnya persatuan pasca Pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar