Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pasca Sarjana UIN
Jakarta)
Dunia pendidikan Indonesia masih mendapat
ujian berat. Berbagai ketidakberesan dengan mudah ditemui, mulai dari kasus
dana pendidikan yang dikorupsi, jual beli jabatan kepala sekolah, sarana
pendidikan dibeberapa daerah yang tertinggal, serta masih banyaknya kekerasan
yang terjadi baik di sekolah maupun perguruan tinggi.
Pekan terakhir Januari (2017) menjadi pekan
duka bagi dunia pendidikan, terutama perguruan tinggi. Tiga mahasiswa
Universitas Islam Indonesia (UII) meregang nyawa setelah mengikuti latihan
Pendidikan Dasar Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) di Gunung Lawu, Tawangmangu.
Salah satu korban tewas Ilham Nurfadmi Listia Adi yang sempat dirawat di Rumah
Sakit mengaku sempat dipukuli oleh seniornya saat Diksar. Meninggalnya Ilham
pun tidak lazim, ia mengalami banyak luka. Dua korban meninggal lainnya adalah Muhammad Fadhli dan Syaits
Asyam. Sungguh memprihatinkan.
Tidak sedikit yang mengutuk aksi Diksar yang
berujung jatuhnya korban jiwa ini. Publik dibuat marah sekaligus sedih atas
peristiwa ini. Rektor UII Harsoyo dan Wakil Rektor III Abdul Jamil akhirnya
mengundurkan diri atas kasus yang terjadi di kampusnya itu. (Media Indonesia 30/1/2017).
Kasus meninggalnya mahasiswa dalam proses
pendidikan di perguruan tinggi bukan kali ini terjadi. Awal Januari (2017) juga
terjadi peristiwa yang sama. Salah satu taruna tingkat satu, Sekolah Tinggi
Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Utara, Amirullah Aditiyas tewas setelah dianiaya
oleh seniornya. Sebelum tewas, Amir mendapat beberapa kali tinjuan. Di STIP
sendiri, pada 2014 lalu juga terjadi peristiwa yang sama, seorang taruna
bernama Dimas Dikita Handoko juga tewas di tangan seniornya setelah dianiaya
karena dianggap tidak respek pada seniornya.
Ketiga peristiwa di atas adalah bagian kecil
dari potret buram pendidikan di Indonesia. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
mencatat sejak tahun 2011 hingga 2016, terjadi 1.880 kasus kekerasan di dunia
pendidikan. Pada tahun 2011 tercatat 276 kasus tindak kekerasan; pada 2012
tercatat 552 kasus; pada 2013 tercatat 371 kasus; pada 2014 tercatat 461 kasus;
dan pada 2015 (per Juli) tercatat sudah 220 kasus kekerasan. Catatan ini bukan
sekadar angka-angka, tetapi sebuah keprihatinan bersama.
Dalam bahan paparan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 2016 lalu, jenis kekerasan dalam pendidikan sangat beragam, mulai
dari pelecehan, bully, penganiayaan,
perkelahian, perpeloncoan, pemerasan, pencabulan, pemerkosaan, hingga SARA. Semua
tindak kekerasan tersebut dapat berujung pada tindakan kriminal.
Ahmad Baedowi (2015:263), Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma dalam Potret Pendidikan
Kita menulis bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan noda pendidikan di
Indonesia. Meski atas dasar pendidikan, kekerasan tidaklah dibenarkan.
Kekerasan bukan jalan satu-satunya untuk merubah peserta didik menjadi baik.
Malah, yang terjadi justru sebaliknya.
Dalam Calak
Edu 4: Esai-Esai Pendidikan, Baedowi (2015:230) menekankan bahwa kekerasan
yang marak terjadi dalam dunia pendidikan seakan menjadi apa yang ia sebut
sebagai hidden curriculum (kurikulum
tersembunyi). Kekerasan memberi dampak yang sangat serius tidak hanya secara
fisik bagi objek yang mendapat perlakuan kekerasan, tetapi juga secara psikis.
Para korban kekerasan mengalami trauma dan
frustasi atas perlakuan yang diterimanya. Tidak jarang dari mereka enggan
kembali ke sekolah. Bahkan, salah satu korban kekerasan di Bekasi, Fifi Kusrini
memilih bunuh diri. Ini merupakan titik klimaks bahaya kekerasan dalam
pendidikan. Bagi Baedowi “kekerasan seharusnya bukan pilihan”.
Sadar akan banyaknya kasus kekerasan dalam
pendidikan sebetulnya telah menjadi perhatian pemerintah. Dalam Nawa Cita Presiden
Joko Widodo butir satu berbunyi, “Menghadirkan Kembali Negara Untuk Melindungi
Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman Pada Seluruh Warga Negara.” Butir
pertama Nawa Cita ini juga berlaku bagi warga yang menempuh pendidikan, yakni “Memberikan
Rasa Aman”.
Sebagai implementasi dari Nawa Cita, Menteri
Pendidikan telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen), yaitu Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan
Pendidikan. Dalam Permen tersebut, pemerintah menerapkan format baru mencegah
kekerasan, yakni dengan cara penanggulangan, pemberian sanksi, dan pencegahan.
Permen tersebut juga mengajak seluruh lapisan
masyarakat untuk terlibat dalam mencegah terjadinya kekerasan dalam pendidikan.
Pada pasal 7 disebutkan bahwa “Pencegahan tindak kekerasan di lingkungan satuan
pendidikan dilakukan oleh peserta didik, orangtua/wali peserta didik, pendidik,
tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite sekolah, masyarakat, pemerintah
kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah sesuai dengan
kewenangannya”.
Kemendikbud juga membuktikan aksi nyata dalam
mengurangi terjadinya kekerasan dengan membuka layanan on line pengaduan atau pelaporan. Hal ini bisa dilihat dalam situs
resmi: sekolahaman.kemdikbud.go.id
dan layanan pesan singkat di nomor 0811-976-929. Situs
ini mendata setiap pelaporan yang masuk ke kementerian.
Peristiwa terakhir, meninggalnya
mahasiswa UII menjadi pelajaran berharga bagi insan pendidikan. Setiap kegiatan
siswa dan mahasiswa seharusnya dapat dilakukan lebih edukatif, dan tidak dengan
cara kekerasan. Untuk keamanan ke depan perlu diatur ketentuan bahwa kegiatan
siswa dan mahasiswa harus didampingi oleh guru atau dosen demi menjamin
keamanan kegiatan. Sekolah dan kampus harus menjadi tempat yang damai dan aman
bagi siswa dan mahasiswanya.
Kekerasan dalam pendidikan harus segera
disudahi. Kita tidak menginginkan mendengar korban baik siswa maupun mahasiswa
berjatuhan akibat adanya kekerasan di lembaga pendidikan. Masih adanya
kekerasan dalam pendidikan menunjukkan adanya sistem pendidikan yang tidak
tepat. Ke depan, Pemerintah perlu merumuskan sistem pendidikan yang dapat
meminimalisir terjadinya kekerasan. Tanggung jawab untuk meniadakan kekerasan dalam
pendidikan bukan saja ditangan pemerintah, tetapi melibatkan banyak pihak, guru
dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar