Selasa, 14 Maret 2017

Menjaga Independensi KPU-Bawaslu



Menjaga Independensi KPU-Bawaslu[1]

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2012-2017 akan mengakhiri masa jabatannya pada 12 April 2017 nanti. Pemerintah melalui Panitia Tim Seleksi (Timsel) telah menyeleksi dan menetapkan sebanyak 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu dari sekian banyak nama yang mencalonkan diri. Nama-nama tersebut sudah ditangan Presiden, dan sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dilakukan fit and proper test atau uji kelayakan. 

Keberadaan KPU diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 22e, dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. KPU bersifat nasional, tetap dan mandiri. Asas utama KPU dan Bawaslu seperti tertera dalam UU pasal 2 adalah: mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan efektivitas. 

Menjelang uji kelayakan anggota KPU-Bawaslu, muncul pendapat dari anggota Komisi II DPR untuk menunda dan bahkan menolak nama-nama hasil seleksi Timsel yang sudah dikirimkan Presiden ke DPR. Namun, ada pula anggota Komisi II DPR yang menginginkan untuk segera melakukan uji kelayakan dan memilih anggota KPU.

Salah satu yang menjadi “kegundahan” terhadap pemilihan KPU-Bawaslu adalah proses pemilihannya bersamaan dengan proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Untuk diketahui, RUU Penyelenggaraan Pemilu nantinya akan mengatur tiga UU sekaligus, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU Penyelenggaraa Pemilu (UU yang mengatur KPU-Bawaslu). Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu, jumlah anggota KPU dan Bawaslu masih seperti pada UU No. 15 tahun 2011, KPU Pusat 5 orang; KPU Provinsi 5 orang; dan KPU Kabupaten/Kota 5 orang (lihat pasal 6). Sedangkan untuk Bawaslu Pusat 5 orang; Bawaslu Provinsi 3 orang; Panwaslu Kabupaten/Kota 3 orang; dan Panwaslu Kecamatan 3 orang (pasal 72).

Di dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, terdapat beberapa fraksi yang mengusulkan penambahan jumlah anggota KPU-Bawaslu mendatang. Hal ini tercermin dari daftar inventasisasi masalah (DIM) fraksi-fraksi di DPR. Fraksi Partai Golkar misalnya mengusulkan penambahan jumlah KPU Pusat dari 7 orang menjadi 11 orang. Demikian juga Fraksi PKB yang mengusulkan penambahan dari 7 orang menjadi 9 orang untuk KPU Pusat. Penambahan ini cukup beralasan karena Pemilu 2019 nanti akan dilangsungkan serentak sehingga beban kerja KPU-Bawaslu amat berat. Terlebih lagi, ini adalah Pemilu serentak nasional pertama bagi Indonesia. Selain itu, Panwaslu Kabupaten/Kota yang saat ini bersifat ad hoc akan dipermanenkan menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota (pasal 80 RUU Penyelenggaraan Pemilu). 

Beberapa ketentuan di atas menjadi pertimbangan untuk menunda sementara pemilihan anggota KPU-Bawaslu di DPR, dan menunggu pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu selesai. Pasalnya, RUU ini nantinya akan menjadi payung hukum keberadaan KPU-Bawaslu, serta RUU inilah yang nantinya akan menjadi acuan KPU-Bawaslu dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.

Selain masalah bersamaannya waktu pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan KPU, terdapat alasan dan ide-ide lain untuk menunda pemilihan KPU-Bawaslu. Pendapat ini dikemukakan oleh anggota Komisi II seperti Yadri Susanto dan Arteria Dahlan. Menurut Yandri misalnya, calon KPU yang lolos seleksi saat ini belum memenuhi komposisi ideal untuk menghadapi Pemilu 2019 nanti. Yandri mencontohkan jika pada Pemilu 2019 nanti menggunakan sistem e-vooting dalam penghitungan suara, maka paling tidak ada anggota KPU yang memiliki keahlian bidang teknologi. Hal inilah yang membuatnya meminta Komisi II untuk mengembalikan nama-nama calon KPU-Bawaslu ke Presiden.

Jika dicermati lebih dalam, anggota KPU-Bawaslu harus mewakili berbagai latar belakangan keahlian dan profesi. Anggota KPU dan Bawaslu meski harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, juga harus memerhatikan kombinasi profesi (keahlian) seperti manajeman, teknologi dan sebagainya. 

Pendapat untuk mengembalikan nama-nama calon KPU-Bawaslu ke Presiden juga dikemukakan oleh Arteria Dahlan. Ia berpendapat bahwa Timsel KPU-Bawaslu yang dibentuk oleh Pemerintah banyak yang tidak memenuhi syarat. Hasil kerja Timsel dalam proses seleksi juga tidak pernah dilaporkan ke DPR. Hal inilah yang menurut Arteri tidak pantas dilakukan Timsel karena sesungguhnya DPR menginginkan laporan-laporan hasil seleksi.

Sejumlah anggota Komisi II DPR RI memang masih terbelah menyikapi rencana pemilihan KPU-Bawaslu. Sebagian berpendapat untuk menolak nama-nama hasil seleksi, tapi adapula yang ingin melanjutkan proses pemilihan dengan melakukan uji kelayakan. Politisi PDI-Perjuangan, Arief Wibowo dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa tidak ada alasan menunda-nunda proses pemilihan anggota KPU-Bawaslu. Pendapatnya dapat dimengerti karena tahapan Pemilu 2019 akan dimulai pertengahan tahun ini. KPU-Bawaslu terpilih nanti akan langsung melakukan tahapan-tahapan Pemilu. Jika menunda pemilihan KPU-Bawaslu akan berimplikasi pada tahapan pelaksanaan Pemilu. Ketua Komisi II Zainuddin Amali menegaskan bahwa pembahasan pemilihan anggota KPU-Bawaslu akan dilakukan setelah reses DPR (Koran Jakarta 13/3/2017).

Pegiat Pemilu seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak agar DPR tidak menunda atau bahkan menolak nama-nama calon anggota KPU-Bawaslu hasil seleksi Timsel. Demikian juga Ketua KPU saat ini, Juri Ardiantoro yang mengharapkan proses uji kelayakan calon anggota KPU-Bawaslu dapat segera dilaksanakan karena masa jabatan komisioner sebelumnya akan berakhir. 

Jaga Independensi

Pemilu sebagai hajatan demokrasi lima tahunan nanti diharapkan tidak hanya menjadi “pesta demokrasi” semata. Masyarakat Indonesia tentu berharap agar Pemilu dapat menghasilkan anggota Legislatif, Presiden serta Wakil Presiden yang dapat memenuhi cita-cita mereka. Pemilu juga diharapkan berlangsung secara adil, aman dan melahirkan pemimpin yang menyejahterakan.

Untuk terwujudnya Pemilu yang ideal, tentu harus dilaksanakan oleh penyelenggara yang ideal pula. Salah satu tuntutan utama bagi penyelenggara Pemilu (KPU-Bawalsu) adalah menjaga independesi (bersikap netral) sebagai penyelenggara. Tidak dipungkiri, pasca Pilkada serentak 2017, banyak masyarakat yang beranggapan adanya anggota KPU terlibat dalam kepentingan politik sehingga memihak pada salah satu pasangan calon tertentu. Hal ini yang tidak boleh dibiarkan terjadi pada gelaran Pemilu nanti.

Masyarakat juga tidak ingin ke depan mendengar adanya penyelenggara Pemilu yang diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga melanggar kode etik Pemilu. Pada Pilkada serentak 2017 lalu, DKPP mendapat pengaduan sebanyak 163 perkara. Dari jumlah tersebut memang tidak semua lolos untuk disidangkan karena diverifikasi oleh DKPP. Namun, jumlah yang cukup banyak tersebut menunjukkan bahwa ada banyak pelanggaran yang dilakukan oleh KPU-Bawaslu.

Situs resmi DKPP merilis bahwa total penyelenggara yang diadukan sebanyak 764 orang, dengan rincian: KPU Pusat sebanyak 10 orang; KPU Provinsi sebanyak 26 orang; KPU Kabupaten/Kota sebanyak 483 orang; PPK sebanyak 8 orang, PPS sebanyak 14 orang. Sedangkan dari pengawas Pemilu yang dilaporkan adalah: Bawaslu RI 7 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 26 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 183 orang dan Panwaslu Kecamatan sebanyak 7 orang. Banyaknya jumlah penyelenggara Pemilu yang diadukan menjadi evaluasi bagi penyelenggara Pemilu yang akan datang.

Komposisi KPU-Bawaslu mendatang juga harus memerhatikan 30 persen keterwakilan perempuan. Hal ini menjadi amanat UU penyelenggara Pemilu dan yang selalu menjadi tuntutan aktivis perempuan dan perempuan politik.


[1] Tulisan ini diterbitkan harian Koran Jakarta, Rabu 15 Maret 2017 dengan judul “Uji Kelayakan KPU-Bawaslu”. Lihat: http://www.koran-jakarta.com/uji-kelayakan-kpu-bawaslu/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar