Jumat, 03 Februari 2017

Menanti Solusi Komunitas Intelektual

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Forum Rektor Indonesia (FRI) bukan hanya menjadi ajang pertemuan para rektor se-Indonesia, tetapi ada cita-cita bersama untuk kemajuan bangsa. FRI lahir diawal dinamika era reformasi yaitu pada 7 November 1998, bertempat di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada waktu, kondisi Indonesia penuh ketidakpastian, jalan terjal menuju reformasi diharapkan dan tantangan dari elit sisa Orde Baru yang masih banyak memberi pengaruh.

Pada awal pendirian, FRI menyepakati lima hal penting: pertama, rektor dan mahasiswa sebagai penggerak moral dan intelektual akan terus mengawal reformasi. Kedua, mendesak ABRI untuk melindungi gerakan mahasiswa dalam menyukseskan reformasi. Ketiga, mendorong terlaksananya Pemilihan Umum yang Luber-Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). Keempat, mendorong independensi lembaga yudikatif terhadap eksekutif. Kelima, reformasi budaya melalui reformasi dibidang pendidikan.[1] FRI lahir dari konteks yang terjadi saat itu, mencari format ideal bagi Indonesia pasca reformasi.

Dalam beberapa konferensi sebelumnya, seperti konferensi FRI di Kampus USU Medan tahun 2015, para rektor menyoroti agenda besar pemerintah dibidang kemaritiman. Komitmen pemerintah yang mengajak masyarakat untuk “menengok laut” menjadi kajian penting FRI 2015, terlebih secara geografis posisi Indonesia sangat menguntungkan.

Secara historis, Indonesia telah memiliki akar yang kuat untuk mengembangkan industri kelautan. Nenek moyang kita adalah pelaut. Dari laut pula peradaban bangsa ini terbentuk. Dan hal ini banyak disinggung sejarawan seperti Thomas S. Rafles, Dennys Lombard dan sebagainya. FRI di Medan tahun 2015 tersebut menghasilkan naskah akademik tentang kemaritiman, “Menegakkan Negara Maritim Bermartabat”.

Selain soal kemaritiman, FRI 2015 juga menyingging peristiwa politik yang terjadi saat itu. Mereka menganggap pertikaian elit politik sangat menggelisahkan masyarakat. Maklum saja, konsolidasi politik pasca Pilpres 2014 belum terjalin dengan solid sehingga terjadi kegaduhan politik, kesenjangan Parlemen dengan Istana (Presiden). FRI pun mendesak agar para elit segera mengakhiri pertikaian tersebut.

Pada awal Februari 2017, FRI kembali menggelar konferensi dengan agenda Konvensi Kampus XIII dan Temu Tahunan XIX. Pada tahun 2017 ini, tantangan Indonesia semakin kompleks dan beragam. Fase transisi reformasi telah mengantarkan bangsa ini pada tantangan baru, globalisasi. Jika pada saat pendirian FRI dihadapkan dengan dinamika politik terutama dalam negeri, maka kini tantangan FRI lebih dari itu, bahkan lebih berat. Presiden Joko Widodo dalam pembukaan FRI 2017 menyampaikan bahwa perkembangan zaman semakin cepat, salah satunya dengan adanya toko-toko online, yang keberadaannya bisa menjadi ancaman pasar-pasar tradisional. Hal inilah yang menurut Presiden Jokowi membutuhkan pemikiran para rektor, mencarikan solusi terbaik.

Pada konferensi 2017 ini, FRI juga menyoroti beberapa hal yang berkembang di masyarakat. Terdapat lima hal yang menjadi isu penting dalam pertemuan FRI kali ini, yaitu: peran haluan negara dalam perencanaan pembangunan nasional; penguatan karekter dan nilai-nilai budaya bangsa; revitalisasi pembangunan kemaritiman dan sumber daya laut; implementasi kerjasama perguruan tinggi (PT)-industri-Pemerintah dan masyarakat; serta revitalisasi sistem ekonomi dan demokrasi Pancasila (Kompas 3/2/3027).

Berbagai persoalan di atas memang mendesak untuk penyelesaian. Arah perencanaan pembangunan harus diselaraskan dengan cita-cita bangsa, bukan semata program setiap pemimpin (Presiden) yang terpilih. Persoalan adanya gap antara perencanaan pembangunan pemerintah pusat dan daerah masih terus membayangi. Dalam banyak hal, terutama menyangkut pembangunan fisik, pemerintah pusat dan daerah sering belum mencapai kesepakatan. Sebagai contoh: silang pendapat Pemprov DKI Jakarta dengan Kementerian Perhubungan terkait pembangunan Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek.

Karakter dan nilai-nilai budaya bangsa saat ini juga menjadi sorotan dalam FRI 2017. Menghadapi Pilkada serentak 2017, masyarakat dihadapkan pada gejolak politik lokal dan nasional yang membingungkan. Berita-berita bohong (hoax) semakin mudah menyebar dan menyulut kemarahan berbagai pihak. Kita patut prihatin atas kondisi ini. Masyarakat harus bijak membaca berita dan memastikan kebenaran, dalam bahasa agama Islam disebut tabayun.

Kerjasama antara PT dan industri sangat penting guna memastikan ketersediaan lapangan kerja bagi lulusan PT. Para rektor harus meyakinkan jaminan ketersediaan lapangan kerja dan memotivasi mahasiswa karena salah satu “yang diidamkan” mahasiswa adalah mendapatkan pekerjaan yang layak. Ada satu hal yang menjadi fakta sosial, bahwa lulusan PT yang menganggur membuat sebagian orang mengurungkan niat meneruskan studi ke PT. Inilah yang harus menjadi perhatian serius para rektor.

Selain dari lima isu tersebut, tentu banyak persoalan yang dapat diperbincangkan para rektor merespon kondisi bangsa. Kasus kekerasan dalam dunia pendidikan yang terjadi pada Januari 2017 patut menjadi perhatian FRI. Ini persoalan yang menuntut solusi.

Sebagai pimpinan di PT, rektor punya peran penting menjaga dan mengembangkan pendidikan bangsa. Tanggung jawab itu bukan saja atas PT yang dipimpin. Tetapi rektor juga mempunyai tangung jawab sosial secara luas. Itulah sebabnya rektor amat sangat menentukan pendidikan bangsa ke depan. Oleh sebab itu, FRI yang merupakan komunitas intelektual sangat dibutuhkan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.


[1] Dokumen pribadi, “Laporan Kegiatan FRI Tahun 2015”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar