Forum Rektor Indonesia (FRI)
bukan hanya menjadi ajang pertemuan para rektor se-Indonesia, tetapi ada
cita-cita bersama untuk kemajuan bangsa. FRI lahir diawal dinamika era reformasi
yaitu pada 7 November 1998, bertempat di Kampus Institut Teknologi Bandung
(ITB). Pada waktu, kondisi Indonesia penuh ketidakpastian, jalan terjal menuju
reformasi diharapkan dan tantangan dari elit sisa Orde Baru yang masih banyak
memberi pengaruh.
Pada awal pendirian, FRI
menyepakati lima hal penting: pertama, rektor dan mahasiswa sebagai penggerak
moral dan intelektual akan terus mengawal reformasi. Kedua, mendesak ABRI untuk
melindungi gerakan mahasiswa dalam menyukseskan reformasi. Ketiga, mendorong
terlaksananya Pemilihan Umum yang Luber-Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil). Keempat, mendorong independensi lembaga yudikatif terhadap
eksekutif. Kelima, reformasi budaya melalui reformasi dibidang pendidikan.[1]
FRI lahir dari konteks yang terjadi saat itu, mencari format ideal bagi Indonesia
pasca reformasi.
Dalam beberapa konferensi
sebelumnya, seperti konferensi FRI di Kampus USU Medan tahun 2015, para rektor
menyoroti agenda besar pemerintah dibidang kemaritiman. Komitmen pemerintah yang
mengajak masyarakat untuk “menengok laut” menjadi kajian penting FRI 2015,
terlebih secara geografis posisi Indonesia sangat menguntungkan.
Secara historis, Indonesia
telah memiliki akar yang kuat untuk mengembangkan industri kelautan. Nenek moyang
kita adalah pelaut. Dari laut pula peradaban bangsa ini terbentuk. Dan hal ini
banyak disinggung sejarawan seperti Thomas S. Rafles, Dennys Lombard dan
sebagainya. FRI di Medan tahun 2015 tersebut menghasilkan naskah akademik tentang
kemaritiman, “Menegakkan Negara Maritim Bermartabat”.
Selain soal kemaritiman, FRI
2015 juga menyingging peristiwa politik yang terjadi saat itu. Mereka menganggap
pertikaian elit politik sangat menggelisahkan masyarakat. Maklum saja, konsolidasi
politik pasca Pilpres 2014 belum terjalin dengan solid sehingga terjadi
kegaduhan politik, kesenjangan Parlemen dengan Istana (Presiden). FRI pun
mendesak agar para elit segera mengakhiri pertikaian tersebut.
Pada awal Februari 2017, FRI
kembali menggelar konferensi dengan agenda Konvensi Kampus XIII dan Temu
Tahunan XIX. Pada tahun 2017 ini, tantangan Indonesia semakin kompleks dan
beragam. Fase transisi reformasi telah mengantarkan bangsa ini pada tantangan
baru, globalisasi. Jika pada saat pendirian FRI dihadapkan dengan dinamika
politik terutama dalam negeri, maka kini tantangan FRI lebih dari itu, bahkan
lebih berat. Presiden Joko Widodo dalam pembukaan FRI 2017 menyampaikan bahwa
perkembangan zaman semakin cepat, salah satunya dengan adanya toko-toko online, yang keberadaannya bisa menjadi
ancaman pasar-pasar tradisional. Hal inilah yang menurut Presiden Jokowi
membutuhkan pemikiran para rektor, mencarikan solusi terbaik.
Pada konferensi 2017 ini, FRI
juga menyoroti beberapa hal yang berkembang di masyarakat. Terdapat lima hal
yang menjadi isu penting dalam pertemuan FRI kali ini, yaitu: peran haluan
negara dalam perencanaan pembangunan nasional; penguatan karekter dan
nilai-nilai budaya bangsa; revitalisasi pembangunan kemaritiman dan sumber daya
laut; implementasi kerjasama perguruan tinggi (PT)-industri-Pemerintah dan masyarakat;
serta revitalisasi sistem ekonomi dan demokrasi Pancasila (Kompas 3/2/3027).
Berbagai persoalan di atas
memang mendesak untuk penyelesaian. Arah perencanaan pembangunan harus
diselaraskan dengan cita-cita bangsa, bukan semata program setiap pemimpin (Presiden)
yang terpilih. Persoalan adanya gap
antara perencanaan pembangunan pemerintah pusat dan daerah masih terus
membayangi. Dalam banyak hal, terutama menyangkut pembangunan fisik, pemerintah
pusat dan daerah sering belum mencapai kesepakatan. Sebagai contoh: silang
pendapat Pemprov DKI Jakarta dengan Kementerian Perhubungan terkait pembangunan
Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek.
Karakter dan nilai-nilai
budaya bangsa saat ini juga menjadi sorotan dalam FRI 2017. Menghadapi Pilkada
serentak 2017, masyarakat dihadapkan pada gejolak politik lokal dan nasional
yang membingungkan. Berita-berita bohong (hoax)
semakin mudah menyebar dan menyulut kemarahan berbagai pihak. Kita patut
prihatin atas kondisi ini. Masyarakat harus bijak membaca berita dan memastikan
kebenaran, dalam bahasa agama Islam disebut tabayun.
Kerjasama antara PT dan
industri sangat penting guna memastikan ketersediaan lapangan kerja bagi
lulusan PT. Para rektor harus meyakinkan jaminan ketersediaan lapangan kerja dan
memotivasi mahasiswa karena salah satu “yang diidamkan” mahasiswa adalah
mendapatkan pekerjaan yang layak. Ada satu hal yang menjadi fakta sosial, bahwa
lulusan PT yang menganggur membuat sebagian orang mengurungkan niat meneruskan
studi ke PT. Inilah yang harus menjadi perhatian serius para rektor.
Selain dari lima isu
tersebut, tentu banyak persoalan yang dapat diperbincangkan para rektor
merespon kondisi bangsa. Kasus kekerasan dalam dunia pendidikan yang terjadi pada
Januari 2017 patut menjadi perhatian FRI. Ini persoalan yang menuntut solusi.
Sebagai pimpinan di PT,
rektor punya peran penting menjaga dan mengembangkan pendidikan bangsa. Tanggung
jawab itu bukan saja atas PT yang dipimpin. Tetapi rektor juga mempunyai
tangung jawab sosial secara luas. Itulah sebabnya rektor amat sangat menentukan
pendidikan bangsa ke depan. Oleh sebab itu, FRI yang merupakan komunitas
intelektual sangat dibutuhkan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar