Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pasca Sarjana UIN
Jakarta)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
(RUU Pemilu) di DPR sedang berjalan. Sejauh ini, Pansus RUU Pemilu sudah
melakukan rapat dengar pendapat dengan berbagai akademisi, lembaga masyarakat
seperti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem), TNI, Polri, KPU, Bawaslu. Terakhir, Pansus juga meminta
masukkan RUU Pemilu kepada media.
Sejauh ini, fraksi-fraksi DPR telah memetakan sejumlah pasal
krusial dalam RUU Pemilu, di antaranya parliementary threshold (ambang batas parlemen), presidential
threshold (ambang batas pencalonan presiden), sistem pemilu, jumlah
kursi setiap daerah pemilihan dan metode konversi suara.
RUU Penyelenggaraan Pemilu dirancang berdasar kajian para ahli.
Pasal-pasal yang diatur dalam RUU Pemilu bukan tanpa dasar. Semua melalui tahap
kajian matang, berdasar pada pengalaman pemilu sebelumya dan naskah akademik
(NA). Demikian halnya dengan pengaturan ambang batas parlemen dan ambang batas
pencalonan presiden, NA telah menjelaskan kegunaan pengaturan tersebut.
Pelaksanaan ambang batas baik parlemen maupun presiden selama ini
–menurut beberapa kajian- bertujuan memperkuat sistem pemerintahan presidensial
atau membentuk sistem pemerintahan presidensial yang efektif.
Pengaturan ambang batas pencalonan presiden sangat dibutuhkan
dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia. Dukungan mayoritas
parlemen sangat dibutuhkan presiden dalam menjalankan pemerintahan. Minimnya
dukungan presiden dari parlemen dapat menyebabkan sebagai devided
governance, pemerintahan terbelah, kata Robert Elgie (2001:12).
Kondisi ini dapat memperlambat berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini pernah
terjadi pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dukungan perlemen
lebih sedikit dibanding oposisi. Dengan adanya ambang batas, diharapkan koalisi
yang terbentuk menjadi lebih solid dan dapat menjamin stabilitas pemerintahan.
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang
menyatakan bahwa Pemilu Presiden (pilpres) dan Wakil Presiden harus
dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Legislatif (pileg) pada tahun 2019
memang telah menimbulkan pertanyaan: apakah ambang batas pencalonan presiden
masih relevan karena pileg dan pilpres dilakukan serentak? Putusan MK tidak menafsirkan
ambang batas pencalonan presiden masih perlu atau tidak. Sebab Pasal 6A UUD
1945 tidak menentukan syarat ambang batas dalam pilpres.
Pasal 6A menyatakan pasangan calon presiden dan wakil diajukan
partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta sebelum pelaksanaan
pemilihan umum. Mantan Ketua MK Mahfud MD menyatakan ambang batas pencalonan
presiden adalah open
legal policy, bergantung pembuat UU. Jika ambang batas pencalonan
presiden ditiadakan, semua parpol dapat mengusulkan presiden. Artinya, apabila
parpol peserta pemilu ada 20, kemungkinan ada sebanyak itu capres.
Langkah ini menjadi adil dan setara karena setiap parpol peserta
pemilu dapat mengajukan capres dan cawapresnya. Munculnya banyak capres akan
memberi alternatif yang lebih banyak bagi masyarakat dalam memilih. Bila ambang
batas pancalonan presiden ditiadakan bukan tanpa masalah. Masalah utama dan
sangat ditakutkan, jika presiden terpilih berasal dari parpol dengan jumlah
kursi sedikit di DPR. Dapat dibayangkan betapa sulitnya presiden membangun
dukungan parlemen.
Sikap Fraksi
Apabila ambang batas pencalonan presiden tetap diberlakukan, akan
muncul “ketidakadilan” terlebih bagi parpol baru yang akan berlaga di Pemilu
2019. Meski dianggap tidak adil, ambang batas pencalonan presiden memilih
kelebihan. Di antaranya, konsolidasi parpol yang dilakukan lebih awal untuk
mendukung calon presiden. Dengan begitu, penguatan sistem presidensial yang
efektif akan tercapai.
Terkait hal itu, fraksi-fraksi di DPR telah menentukan sikap awal.
PDIP, Golkar, PKS, dan Nasdem memilih menerapkan ambang batas pencalonan
presiden sebesar 20 kursi Parlemen atau 25 persen perolehan suara pemilu
sebelumnya. Sementara Gerindra, Demokrat, PAN, dan Hanura mengharap zero
threshold. Adapun PKB mengajukan 3,5 persen kursi dan 7 persen
perolehan suara. Kemudian, PPP mengusulkan 25 persen kursi dan 30 persen
perolehan suara.
Ambang batas parlemen sama pentingnya dengan ambang batas
pencalonan presiden. Pada Pemilu 2014, Undang-Undang No 8 Tahun 2012 sebagai
payung hukum pemilu menetapkan ambang batas parlemen 3,5 persen perolehan suara
dari jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan kursi anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Angka tersebut menuai pro
kontra.
Penolak penerapan ambang batas parlemen mengajukan uji materi UU
tersebut ke MK dan dikabulkan seperti tercantum dalam putusan No 52/PUU-X/2012.
Isinya, pemberlakuan ambang batas parlemen dalam UU Pemilu secara nasional
sebagai inkonstitusional. Maka, implikasi putusan MK dalam pileg tahun 2014,
ambang batas parlemen hanya berlaku bagi DPR, tidak untuk DPRD Provinsi,
Kabupaten/Kota.
Hasil sebuah riset menunjukkan sebenarnya tanpa ketentuan dalam
UU, ambang batas dapat terjadi dengan sendirinya. Hal ini terjadi bergantung
pada penerapan metode konversi suara yang digunakan. Penggunaan metode tertentu
secara otomatis dapat “menyingkirkan” parpol kecil di parlemen, tanpa harus
menentukan ambang batas.
Yang mendukung penerapan ambang batas parlemen tidak lain untuk
penyederhanaan parpol dan mewujudkan sistem multipartai parlemen. Penerapan
ambang batas parlemen dilakukan sejak 2009 melalui putusan MK. Dalam putusan No
3/PUU-VII/2009, MK berpandangan, pemberlakuan ambang batas parlemen bukanlah
ancaman demokrasi dan parpol peserta pemilu.
Pada saat Pansus RUU Pemilu audiensi ke MK untuk konsultasi ambang
batas parlemen ini, dijelaskan, ambang batas parlemen adalah kebijakan politik.
Hal ini boleh dilakukan sepanjang tidak ada diskriminasi dan tidak
menghilangkan hak dasar parpol.
Terkait ambang batas perlemen, fraksi-fraksi DPR telah mengambil
sikap. PDIP dan Demokrat mengusulkan 5 persen. Gerindra, PAN, PKB, PKS, dan
Hanura mengusulkan 3,5 persen. Kemudian, Nasdem mengusulkan 7 persen dan Golkar
menjadi pengusul tertinggi, 10 persen. Semakin tinggi persentase akan membuat
semakin sedikit fraksi-fraksi parpol DPR.
*) Tulisan ini telah dimuat Harian Koran Jakarta, 31 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar