Rabu, 01 Februari 2017

Ambang Batas Presiden-Perlemen




Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pasca Sarjana UIN Jakarta)



Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) di DPR sedang berjalan. Sejauh ini, Pansus RUU Pemilu sudah melakukan rapat dengar pendapat dengan berbagai akademisi, lembaga masyarakat seperti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), TNI, Polri, KPU, Bawaslu. Terakhir, Pansus juga meminta masukkan RUU Pemilu kepada media.

Sejauh ini, fraksi-fraksi DPR telah memetakan sejumlah pasal krusial dalam RUU Pemilu, di antaranya parliementary threshold (ambang batas parlemen), presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden), sistem pemilu, jumlah kursi setiap daerah pemilihan dan metode konversi suara.

RUU Penyelenggaraan Pemilu dirancang berdasar kajian para ahli. Pasal-pasal yang diatur dalam RUU Pemilu bukan tanpa dasar. Semua melalui tahap kajian matang, berdasar pada pengalaman pemilu sebelumya dan naskah akademik (NA). Demikian halnya dengan pengaturan ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden, NA telah menjelaskan kegunaan pengaturan tersebut.

Pelaksanaan ambang batas baik parlemen maupun presiden selama ini –menurut beberapa kajian- bertujuan memperkuat sistem pemerintahan presidensial atau membentuk sistem pemerintahan presidensial yang efektif.

Pengaturan ambang batas pencalonan presiden sangat dibutuhkan dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia. Dukungan mayoritas parlemen sangat dibutuhkan presiden dalam menjalankan pemerintahan. Minimnya dukungan presiden dari parlemen dapat menyebabkan sebagai devided governance, pemerintahan terbelah, kata Robert Elgie (2001:12). Kondisi ini dapat memperlambat berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini pernah terjadi pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dukungan perlemen lebih sedikit dibanding oposisi. Dengan adanya ambang batas, diharapkan koalisi yang terbentuk menjadi lebih solid dan dapat menjamin stabilitas pemerintahan.

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pemilu Presiden (pilpres) dan Wakil Presiden harus dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Legislatif (pileg) pada tahun 2019 memang telah menimbulkan pertanyaan: apakah ambang batas pencalonan presiden masih relevan karena pileg dan pilpres dilakukan serentak? Putusan MK tidak menafsirkan ambang batas pencalonan presiden masih perlu atau tidak. Sebab Pasal 6A UUD 1945 tidak menentukan syarat ambang batas dalam pilpres. 

Pasal 6A menyatakan pasangan calon presiden dan wakil diajukan partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Mantan Ketua MK Mahfud MD menyatakan ambang batas pencalonan presiden adalah open legal policy, bergantung pembuat UU. Jika ambang batas pencalonan presiden ditiadakan, semua parpol dapat mengusulkan presiden. Artinya, apabila parpol peserta pemilu ada 20, kemungkinan ada sebanyak itu capres. 

Langkah ini menjadi adil dan setara karena setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan capres dan cawapresnya. Munculnya banyak capres akan memberi alternatif yang lebih banyak bagi masyarakat dalam memilih. Bila ambang batas pancalonan presiden ditiadakan bukan tanpa masalah. Masalah utama dan sangat ditakutkan, jika presiden terpilih berasal dari parpol dengan jumlah kursi sedikit di DPR. Dapat dibayangkan betapa sulitnya presiden membangun dukungan parlemen.

Sikap Fraksi
                                                                                   
Apabila ambang batas pencalonan presiden tetap diberlakukan, akan muncul “ketidakadilan” terlebih bagi parpol baru yang akan berlaga di Pemilu 2019. Meski dianggap tidak adil, ambang batas pencalonan presiden memilih kelebihan. Di antaranya, konsolidasi parpol yang dilakukan lebih awal untuk mendukung calon presiden. Dengan begitu, penguatan sistem presidensial yang efektif akan tercapai.

Terkait hal itu, fraksi-fraksi di DPR telah menentukan sikap awal. PDIP, Golkar, PKS, dan Nasdem memilih menerapkan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 kursi Parlemen atau 25 persen perolehan suara pemilu sebelumnya. Sementara Gerindra, Demokrat, PAN, dan Hanura mengharap zero threshold. Adapun PKB mengajukan 3,5 persen kursi dan 7 persen perolehan suara. Kemudian, PPP mengusulkan 25 persen kursi dan 30 persen perolehan suara.

Ambang batas parlemen sama pentingnya dengan ambang batas pencalonan presiden. Pada Pemilu 2014, Undang-Undang No 8 Tahun 2012 sebagai payung hukum pemilu menetapkan ambang batas parlemen 3,5 persen perolehan suara dari jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Angka tersebut menuai pro kontra. 

Penolak penerapan ambang batas parlemen mengajukan uji materi UU tersebut ke MK dan dikabulkan seperti tercantum dalam putusan No 52/PUU-X/2012. Isinya, pemberlakuan ambang batas parlemen dalam UU Pemilu secara nasional sebagai inkonstitusional. Maka, implikasi putusan MK dalam pileg tahun 2014, ambang batas parlemen hanya berlaku bagi DPR, tidak untuk DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota.

Hasil sebuah riset menunjukkan sebenarnya tanpa ketentuan dalam UU, ambang batas dapat terjadi dengan sendirinya. Hal ini terjadi bergantung pada penerapan metode konversi suara yang digunakan. Penggunaan metode tertentu secara otomatis dapat “menyingkirkan” parpol kecil di parlemen, tanpa harus menentukan ambang batas.

Yang mendukung penerapan ambang batas parlemen tidak lain untuk penyederhanaan parpol dan mewujudkan sistem multipartai parlemen. Penerapan ambang batas parlemen dilakukan sejak 2009 melalui putusan MK. Dalam putusan No 3/PUU-VII/2009, MK berpandangan, pemberlakuan ambang batas parlemen bukanlah ancaman demokrasi dan parpol peserta pemilu.

Pada saat Pansus RUU Pemilu audiensi ke MK untuk konsultasi ambang batas parlemen ini, dijelaskan, ambang batas parlemen adalah kebijakan politik. Hal ini boleh dilakukan sepanjang tidak ada diskriminasi dan tidak menghilangkan hak dasar parpol.

Terkait ambang batas perlemen, fraksi-fraksi DPR telah mengambil sikap. PDIP dan Demokrat mengusulkan 5 persen. Gerindra, PAN, PKB, PKS, dan Hanura mengusulkan 3,5 persen. Kemudian, Nasdem mengusulkan 7 persen dan Golkar menjadi pengusul tertinggi, 10 persen. Semakin tinggi persentase akan membuat semakin sedikit fraksi-fraksi parpol DPR.

Diharapkan UU ini menjadi acuan pelaksanaan pemilu mendatang, tidak hanya tahun 2019. UU dibuat bukan untuk umur lima tahun. Maka, UU Pemilu harus visioner demi kepentingan jangka panjang, terutama menghasilkan wakil rakyat, presiden dan wakil terbaik.

*) Tulisan ini telah dimuat Harian Koran Jakarta, 31 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar