Oleh: Ali Thaufan DS
Penjara, sebuah kata yang
terdengar “angker” bagi masyarakat, terutama anak-anak kecil. Mungkin, diantara
kita pada waktu kanak-kanak kerap ditakut-takuti dengan kata penjara, “kalo
kamu mencuri nanti masuk penjara lho”. Penjara menjadi sesuatu yang menakutkan.
Apalagi di dalamnya adalah tempat orang-orang yang melakukan tindak kejahatan
(narapidana). Di dalam penjara, para narapidana menebus kejahatan yang
dilakukan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara didefinisikan sebagai
“bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan”. Di
penjara, orang diberikan efek jera, penjeraan akibat perbuatan di luar norma
yang dilakukannya. Hukuman berupa penjara dianggap tidak manusiawi karena mengurung
orang laiknya hewan, dan bersifat balas dendam.
Harsono dalam bukunya “Sistem Baru Pembinaan Narapidana”,
penjara sebagai tempat menghukum orang adalah legacy Penjajah, Belanda. Tetapi, jauh sebelumnya, era kerajaan
Singgosasi misalnya, penjara sebagai tempat orang-orang terhukum sudah ada.
Bahkan, Langit Kresna Hariadi dalam novel menumental Majapahit menggambarkan
bentuk penjara yang mengerikan, karena di dalamnya terdapat hewan buas, Macan
dan Ular.
Dalam sejarah Indonesia,
istilah penjara tidak lagi digunakan, diganti dengan istilah Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas). Hal ini seperti dijelaskan dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meski demikian, istilah penjara tetap lebih
“populer” ketimbang Lapas sebagai tempat menghukum orang, narapidana.
Lembaga pemasyarakatan
dibentuk untuk memberi “pencerahan” bagi para narapidana. Fungsi pembinaan
lebih dikedepankan daripada penghukuman dengan dendam. Pada pasal 5 UU di atas
dijelaskan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan asas: “pengayoman;
persamaan perlakuan dan pelayanan; pendidikan; pembimbingan; penghormatan
harkat dan martabat manusia; kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan; dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu”.
Akhir bulan April 2016,
publik dikejutkan dengan dua peristiwa keributan di Lapas. Pertama, keributan
di Lapas Kerobokan Denpasar Bali, dan kedua di Lapas Bancuey Bandung. Harian Kompas mencatat sejak tahun 2012 hingga
2016, telah tercatat beberapa kerusuhan di Lapas, yakni: kerusuhan antarnapi di
Lapas Kerobokan Bali, (2012); kerusuhan akibat mati lampu di Lapas Tanjung
Gusta Medan yang mengakibatkan 150 napi melarikan diri, (2013); bentrok dua
kelompok di Lapas Kerobokan Bali, (2015); rusuh akibat tidak terima penangkapan
bandar narkoba di Lapas Malabero Bengkulu yang mengakibatkan pembakaran blok
hunian, (2016); serta kerusuhan akibat meninggalnya salah satu napi di Lapas
Lapas Bancuey Bandung, (2016). (Kompas 25/4/2016)
Selain peristiwa kerusuhan
di atas, tercatat pula kerusuhan di Lapas yang melibatkan aparat negara, oknum
TNI. Ini terjadi di Lapas Cebongan Sleman, Maret 2013. Aksi oknum TNI tersebut
merupakan bentuk balas dendam atas meniggalnya dua anggota TNI yang dihajar
preman. Para preman yang mendekam di Lapas Cebongan Sleman pun menjadi
pelampiasan balas dendam oknum TNI. Atas nama korsa, mereka “membedil”
preman-preman tersebut. Empat orang preman tewas ditembaki oknum TNI.
Kerusuhan yang terjadi di
Lapas patut menjadi perhatian bagi aparat negara yang bertugas menanggani
Lapas, Kementerian Hukum dan HAM. Kejadian rusuh dan kaburnya narapidana bisa
diakibatkan, antara lain: jumlah narapidana dalam Lapas yang “membeludak”,
sementara kapasitas Lapas tidak mencukupi; kurangnya petugas yang mengawasi;
stres yang dialami narapidana; serta lemahnya penegak hukum (kejahatan ringan
dihukum berat, dan sebaliknya kejahatan berat dihukumi ringan) sehingga membuat
narapidana berontak.
Berkaitan dengan jumlah
narapidana dan kapasitas Lapas yang tak memenuhi, hal ini sulit disangkal.
Harian Kompas menampilkan data-data
kapasitas Lapas yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana. Ini terjadi
dibeberapa daerah seperti Sumut (dengan jumlah 22.005 napi), Riau (8.850 napi),
Kalimantan Selatan (7.716 napi), Kalimantan Timur (7.339 napi) dan Jakarta (16.235
napi). Jumlah narapidana yang demikian banyak tidak mampu ditampung Lapas-Lapas
di daerah terkait.
Banyaknya narapidana yang
tidak dibarengi dengan penyediaan Lapas membuat narapidana “tersiksa” dan
semangat pembinaan sulit dilakukan. Sebagai misal, kapasitas Lapas Pondok Bambu
Jakarta yang mampu menampung 619 orang, hingga April 2016 diisi 1.124 orang,
Lapas Salemba Jakarta yang mampu menampung 862 orang diisi 3.519 orang. Akibat
kondisi Lapas yang over capacity,
kamar mandi (toilet) menjadi solusi untuk dijadikan sel, bui.(Kompas 25/4/2016).
Selain kondisi tersebut, suasana kumuh juga menjadi pemandangan dibeberapa
Lapas, misalnya Lapas Sampit di Kalimantan Tengah.
Keadaan tersebut diperparah
dengan adanya transaksi kejahatan di dalam Lapas. Lapas yang sejatinya sebagai
tempat perbaikan perilaku kejahatan justru menjadi “surga” bagi penikmat
kejahatan. Di dalam Lapas, para bandar narkoba justru tetap bisa menjalankan
bisnis jahat tersebut.
Wajah Lapas yang sedemikian memprihatinkan
menjadi “pekerjaan rumah” bagi pemerintah untuk menuntut perbaikan. Tujuan
Lapas bukan semata memenjarakan orang yang terbukti melakukan kejahatan.
Tetapi, mereka para pelaku kejahatan juga harus diberikan pembinaan, seperti
diamanatkan Undang-undang yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar