Selasa, 07 Juni 2016

Wajah Penjara Indonesia

Oleh: Ali Thaufan DS
 
Penjara, sebuah kata yang terdengar “angker” bagi masyarakat, terutama anak-anak kecil. Mungkin, diantara kita pada waktu kanak-kanak kerap ditakut-takuti dengan kata penjara, “kalo kamu mencuri nanti masuk penjara lho”. Penjara menjadi sesuatu yang menakutkan. Apalagi di dalamnya adalah tempat orang-orang yang melakukan tindak kejahatan (narapidana). Di dalam penjara, para narapidana menebus kejahatan yang dilakukan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara didefinisikan sebagai “bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan”. Di penjara, orang diberikan efek jera, penjeraan akibat perbuatan di luar norma yang dilakukannya. Hukuman berupa penjara dianggap tidak manusiawi karena mengurung orang laiknya hewan, dan bersifat balas dendam. 

Harsono dalam bukunya “Sistem Baru Pembinaan Narapidana”, penjara sebagai tempat menghukum orang adalah legacy Penjajah, Belanda. Tetapi, jauh sebelumnya, era kerajaan Singgosasi misalnya, penjara sebagai tempat orang-orang terhukum sudah ada. Bahkan, Langit Kresna Hariadi dalam novel menumental Majapahit menggambarkan bentuk penjara yang mengerikan, karena di dalamnya terdapat hewan buas, Macan dan Ular.

Dalam sejarah Indonesia, istilah penjara tidak lagi digunakan, diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Hal ini seperti dijelaskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meski demikian, istilah penjara tetap lebih “populer” ketimbang Lapas sebagai tempat menghukum orang, narapidana.

Lembaga pemasyarakatan dibentuk untuk memberi “pencerahan” bagi para narapidana. Fungsi pembinaan lebih dikedepankan daripada penghukuman dengan dendam. Pada pasal 5 UU di atas dijelaskan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan asas: “pengayoman; persamaan perlakuan dan pelayanan; pendidikan; pembimbingan; penghormatan harkat dan martabat manusia; kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu”.

Akhir bulan April 2016, publik dikejutkan dengan dua peristiwa keributan di Lapas. Pertama, keributan di Lapas Kerobokan Denpasar Bali, dan kedua di Lapas Bancuey Bandung. Harian Kompas mencatat sejak tahun 2012 hingga 2016, telah tercatat beberapa kerusuhan di Lapas, yakni: kerusuhan antarnapi di Lapas Kerobokan Bali, (2012); kerusuhan akibat mati lampu di Lapas Tanjung Gusta Medan yang mengakibatkan 150 napi melarikan diri, (2013); bentrok dua kelompok di Lapas Kerobokan Bali, (2015); rusuh akibat tidak terima penangkapan bandar narkoba di Lapas Malabero Bengkulu yang mengakibatkan pembakaran blok hunian, (2016); serta kerusuhan akibat meninggalnya salah satu napi di Lapas Lapas Bancuey Bandung, (2016). (Kompas 25/4/2016)

Selain peristiwa kerusuhan di atas, tercatat pula kerusuhan di Lapas yang melibatkan aparat negara, oknum TNI. Ini terjadi di Lapas Cebongan Sleman, Maret 2013. Aksi oknum TNI tersebut merupakan bentuk balas dendam atas meniggalnya dua anggota TNI yang dihajar preman. Para preman yang mendekam di Lapas Cebongan Sleman pun menjadi pelampiasan balas dendam oknum TNI. Atas nama korsa, mereka “membedil” preman-preman tersebut. Empat orang preman tewas ditembaki oknum TNI.

Kerusuhan yang terjadi di Lapas patut menjadi perhatian bagi aparat negara yang bertugas menanggani Lapas, Kementerian Hukum dan HAM. Kejadian rusuh dan kaburnya narapidana bisa diakibatkan, antara lain: jumlah narapidana dalam Lapas yang “membeludak”, sementara kapasitas Lapas tidak mencukupi; kurangnya petugas yang mengawasi; stres yang dialami narapidana; serta lemahnya penegak hukum (kejahatan ringan dihukum berat, dan sebaliknya kejahatan berat dihukumi ringan) sehingga membuat narapidana berontak.

Berkaitan dengan jumlah narapidana dan kapasitas Lapas yang tak memenuhi, hal ini sulit disangkal. Harian Kompas menampilkan data-data kapasitas Lapas yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana. Ini terjadi dibeberapa daerah seperti Sumut (dengan jumlah 22.005 napi), Riau (8.850 napi), Kalimantan Selatan (7.716 napi), Kalimantan Timur (7.339 napi) dan Jakarta (16.235 napi). Jumlah narapidana yang demikian banyak tidak mampu ditampung Lapas-Lapas di daerah terkait.

Banyaknya narapidana yang tidak dibarengi dengan penyediaan Lapas membuat narapidana “tersiksa” dan semangat pembinaan sulit dilakukan. Sebagai misal, kapasitas Lapas Pondok Bambu Jakarta yang mampu menampung 619 orang, hingga April 2016 diisi 1.124 orang, Lapas Salemba Jakarta yang mampu menampung 862 orang diisi 3.519 orang. Akibat kondisi Lapas yang over capacity, kamar mandi (toilet) menjadi solusi untuk dijadikan sel, bui.(Kompas 25/4/2016). Selain kondisi tersebut, suasana kumuh juga menjadi pemandangan dibeberapa Lapas, misalnya Lapas Sampit di Kalimantan Tengah.

Keadaan tersebut diperparah dengan adanya transaksi kejahatan di dalam Lapas. Lapas yang sejatinya sebagai tempat perbaikan perilaku kejahatan justru menjadi “surga” bagi penikmat kejahatan. Di dalam Lapas, para bandar narkoba justru tetap bisa menjalankan bisnis jahat tersebut.

Wajah Lapas yang sedemikian memprihatinkan menjadi “pekerjaan rumah” bagi pemerintah untuk menuntut perbaikan. Tujuan Lapas bukan semata memenjarakan orang yang terbukti melakukan kejahatan. Tetapi, mereka para pelaku kejahatan juga harus diberikan pembinaan, seperti diamanatkan Undang-undang yang berlaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar