Selasa, 07 Juni 2016

Tradisi dan Ciri Ramadhan Kita



Oleh: Ali Thaufan DS 
 
Ramadhan menjadi bulan yang ditunggu-tunggu. Bagi seluruh muslim, ia adalah bulan penuh kemuliaan, bulan turunnya al-Qur’an. Hanya di bulan ini, kita mungkin mendengar lantunan ayat suci al-Qur’an hingga larut malam, tadarus para jamaah di masjid dan mushallah. 

Pada sisi lain, bulan Ramadhan juga menjadi sasaran pelaku bisnis, mulai dari aneka makanan, pakaian, jasa transportasi dan sebagainya. Otak pebisnis tentu tidak akan melewatkan pasar Ramadhan yang menguntung ini. 

Suka cita masyarakat Islam Indonesia begitu terasa dalam menyambut bulan berkah ini. Di Indonesia, Ramadhan disambut dengan kekhasan tersendiri. Nuasa religius dibalut dengan kearifan budaya lokal yang ada di masing-masing daerah, membuat Ramadhan di Indonesia semakin kaya.

Menjelang datangnya Ramadhan, penulis mendapati banyak orang berziarah ke makam (kuburan) orang tua mereka, mendoakan agar keberkahan Ramadhan dapat dirasakan oleh mereka yang sudah mendahului, wafat. Di beberapa daerah di pulau Jawa, istilah ini disebut dengan Nyadran.Tentu ini tradisi baik, menengok makam berarti mengingatkan kita pada sesuatu yang pasti dalam hidup ini, yaitu kematian. 

Selain tradisi Nyadran, ada pula tradisi unik lain. Di Surabaya dan juga beberapa daerah di Jawa Timur misalnya, terdapat tradisi Megengan, yakni makan kue Apem bersama. Tradisi ini telah menjadi warisan turun-temurun para pendahulu kita. Mereka berkumpul di masjid untuk makan kue bersama. Tradisi ini mula-mula dimaksudkan untuk saling minta maaf menjelang Ramadhan, sesuai dengan makna Apem yang diambil dari kata bahasa Arab “Afwan” yang berarti maaf. 

Tradisi unik jelang Ramadhan juga bisa didapati di Jakarta. Masyarakat Jakarta yang masih teguh memegang tradisi Betawi tetap merawat budaya Nyarong, yaitu membagikan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua. Bagi masyarakat Betawi tradisi ini dimaksudkan sebagai pengingat akan datangnya Ramadhan dan penyambung tali silaturahim.

Masyarakat Padang dan Riau punya cara tersendiri dalam menyambut Ramadhan. Mereka melakukan “ritual” Balimau, membersihkan diri dengan air. Tradisi ini dimaksudkan untuk menyucikan diri dan rasa syukur sebelum memasuki Ramadhan. Warga beramai-ramai mandi di sungai. 

Di daerah Aceh, terdapat tradisi Meugang menjelang Ramadhan. Meugang adalah tradisi makan daging bersama sanak famili sebelum datangnya Ramadhan. Dalam perkembangan pemikiran Islam, tradisi ini banyak mendapat tantangan dari kelompok puritan. Namun, hingga saat ini, tradisi ini bisa dibilang tetap “terpelihara” di Aceh.

Masjid dan langgar yang dipenuhi jamaah adalah pemandangan yang selalu terlihat di bulan Ramadhan. Pemandangan ini jarang sekali ditemui di bulan-bulan lain. Selepas berbuka puasa, jamaah berduyun melangkahkan kaki untuk menjadi jamaah salat taraweh di masjid atau mushallah. Sungguh ini pemandangan dan suasana yang membahagiakan. Umat Islam larut dalam kebahagiaan Ramadhan yang agung.

Bocah kecil bermain petasan dan kembang api juga menjadi ciri khas Ramadhan di Indonesia. Sadar akan bahaya yang ditimbulkan, tidak menyurutkan niat mereka membeli dan menyalakan petasan dan kembang api. Bocah kecil menganggapnya sebagai kebahagiaan yang hanya datang dalam even tertentu, yakni di pergantian tahun baru dan bulan Ramadhan. Patut menjadi catatan, bahwa korban petasan di malam pergantian tahun baru 2016 mencapai 15 orang. Ini menjadi warning bagi orang tua yang membolehkan anak-anak mereka bermain petasan di Ramadhan.

Hal yang lazim didapati dalam Ramadhan adalah kenaikan beberapa harga bahan pokok (sembako) dan juga tarif angkutan umum. Kenaikan tersebut juga seakan menjadi “tradisi” yang tak pernah absen di bulan Ramadhan. Jelang Ramadhan tahun ini, tercatat kenaikan beberapa bahan pokok, bawang merah, bawang putih, cabe, daging dan beberapa komoditas lain. Sayangnya, pemerintah hanya berani menjamin ketersediaan pangan, tanpa berani menurunkan atau menstabilkan harga-harga. Dari tahun ke tahun, kenaikan kebutuhan bahan pokok saat Ramadhan sulit dikontrol. Ini menjadi “Pekerjaan Rumah” bagi pemerintah. 

Namun demikian, tak ada pilihan lain bagi pembeli. Kenaikan harga yang “mencekik” ini tak menyurutkan langkah kaki mereka untuk membeli sesuatu yang menjadi hajat, kebutuhan. Seberapa mahal harga daging ayam, tetap saja dibeli demi tersajinya hidangan lezat berbuka puasa. Dan seberapa mahal harga tiket angkutan umum, juga tidak menyurutkan niat pembeli demi mudik bersama keluarga. 

Mudik bukan sekedar pulang ke kampung halaman, tapi juga bentuk “kerinduan”. Rasa kerinduan pemudik kepada keluarga di rumah yang tidak terbendung, diekspresikan dengan keinginan kuat mudik, walau harus berjuang mencari di jalanan. Di dalam mudik ada pesan rindu, cinta kepada keluarga. Bagi para perantau, mudik bisa menjadi momen paling berharga dalam hidup.

Khusus untuk urusan mudik lebaran, hal ini merupakan keunikan yang mungkin jarang didapati di negara lain. Jumlah pemudik dari Ibu Kota Jakarta kebeberapa daerah menunjukkan kenaikan yang luar biasa. Data Posko Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu pada lebaran tahun 2015 lalu mencatat ada 3,5 juta kendaran pemudik dari Ibu Kota. 

Pemandangan yang juga dapat dilihat saat Ramadhan adalah razia tempat hiburan malam oleh sejumlah organisasi masyarakat juga aparat Kepolisian. Mereka –para anggota ormas- berpendapat kesucian Ramadhan tidak boleh dinodai dengan tetap dibukanya tempat-tempat hiburan. Meski mengundang pro-kontra, razia tempat hiburan pada saat Ramadhan memiliki spirit memberantas kejahatan. Tidak jarang, dalam razia ditemukan penyalahgunaan narkoba.

Disamping tradisi di atas, ada beberapa hal yang kerap kali dijumpai menjelang dan pada saat Ramadhan. Perbedaan penetapan awal bulan puasa Ramadhan juga sering kali terjadi. Teropong berukuran besar secara khusus dipasang dibeberapa tempat untuk memantau posisi bulan. Para ulama menggelar sidang penetapan. Kadang hal perbedaan penetapan tersebut membuat bingung masyarakat awam. Tetapi, perbedaan tersebut dimaknai sebagai: keberagaman Islam, perbedaan-perbedaan dalam Islam yang menjadi rahmat.

Inilah sekelumit tradisi dan kekhasan Ramadhan di Indonesia. Ragam ekspresi umat Muslim dalam menyambut Ramadhan adalah sesuatu yang langka dan berharga. Itu pula yang membuat orang kerap menangis saat menyambut dan meninggalkan Ramadhan. Indonesia punya sejuta cerita tentang Ramadhan.

*) Harian Suara Karya, Senin, 6 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar