Oleh: Ali Thaufan DS
Ramadhan menjadi bulan yang ditunggu-tunggu. Bagi seluruh
muslim, ia adalah bulan penuh kemuliaan, bulan turunnya al-Qur’an. Hanya di
bulan ini, kita mungkin mendengar lantunan ayat suci al-Qur’an hingga larut
malam, tadarus para jamaah di masjid dan mushallah.
Pada sisi lain, bulan Ramadhan juga menjadi sasaran
pelaku bisnis, mulai dari aneka makanan, pakaian, jasa transportasi dan
sebagainya. Otak pebisnis tentu tidak akan melewatkan pasar Ramadhan yang
menguntung ini.
Suka cita masyarakat Islam Indonesia begitu terasa
dalam menyambut bulan berkah ini. Di Indonesia, Ramadhan disambut dengan kekhasan
tersendiri. Nuasa religius dibalut dengan kearifan budaya lokal yang ada di
masing-masing daerah, membuat Ramadhan di Indonesia semakin kaya.
Menjelang datangnya Ramadhan, penulis mendapati banyak
orang berziarah ke makam (kuburan) orang tua mereka, mendoakan agar keberkahan
Ramadhan dapat dirasakan oleh mereka yang sudah mendahului, wafat. Di beberapa
daerah di pulau Jawa, istilah ini disebut dengan Nyadran.Tentu ini tradisi baik, menengok makam berarti mengingatkan
kita pada sesuatu yang pasti dalam hidup ini, yaitu kematian.
Selain tradisi Nyadran,
ada pula tradisi unik lain. Di Surabaya dan juga beberapa daerah di Jawa Timur misalnya,
terdapat tradisi Megengan, yakni
makan kue Apem bersama. Tradisi ini telah menjadi warisan turun-temurun para
pendahulu kita. Mereka berkumpul di masjid untuk makan kue bersama. Tradisi ini
mula-mula dimaksudkan untuk saling minta maaf menjelang Ramadhan, sesuai dengan
makna Apem yang diambil dari kata bahasa Arab “Afwan” yang berarti maaf.
Tradisi unik jelang Ramadhan juga bisa didapati di
Jakarta. Masyarakat Jakarta yang masih teguh memegang tradisi Betawi tetap
merawat budaya Nyarong, yaitu
membagikan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua. Bagi masyarakat
Betawi tradisi ini dimaksudkan sebagai pengingat akan datangnya Ramadhan dan
penyambung tali silaturahim.
Masyarakat Padang dan Riau punya cara tersendiri dalam
menyambut Ramadhan. Mereka melakukan “ritual” Balimau, membersihkan diri dengan air. Tradisi ini dimaksudkan
untuk menyucikan diri dan rasa syukur sebelum memasuki Ramadhan. Warga
beramai-ramai mandi di sungai.
Di daerah Aceh, terdapat tradisi Meugang menjelang
Ramadhan. Meugang adalah tradisi makan
daging bersama sanak famili sebelum datangnya Ramadhan. Dalam perkembangan
pemikiran Islam, tradisi ini banyak mendapat tantangan dari kelompok puritan. Namun, hingga saat ini, tradisi
ini bisa dibilang tetap “terpelihara” di Aceh.
Masjid dan langgar yang dipenuhi jamaah adalah
pemandangan yang selalu terlihat di bulan Ramadhan. Pemandangan ini jarang
sekali ditemui di bulan-bulan lain. Selepas berbuka puasa, jamaah berduyun
melangkahkan kaki untuk menjadi jamaah salat taraweh di masjid atau mushallah.
Sungguh ini pemandangan dan suasana yang membahagiakan. Umat Islam larut dalam
kebahagiaan Ramadhan yang agung.
Bocah kecil bermain petasan dan kembang api juga
menjadi ciri khas Ramadhan di Indonesia. Sadar akan bahaya yang ditimbulkan,
tidak menyurutkan niat mereka membeli dan menyalakan petasan dan kembang api. Bocah
kecil menganggapnya sebagai kebahagiaan yang hanya datang dalam even tertentu,
yakni di pergantian tahun baru dan bulan Ramadhan. Patut menjadi catatan, bahwa
korban petasan di malam pergantian tahun baru 2016 mencapai 15 orang. Ini
menjadi warning bagi orang tua yang
membolehkan anak-anak mereka bermain petasan di Ramadhan.
Hal yang lazim didapati dalam Ramadhan adalah kenaikan
beberapa harga bahan pokok (sembako) dan juga tarif angkutan umum. Kenaikan
tersebut juga seakan menjadi “tradisi” yang tak pernah absen di bulan Ramadhan.
Jelang Ramadhan tahun ini, tercatat kenaikan beberapa bahan pokok, bawang
merah, bawang putih, cabe, daging dan beberapa komoditas lain. Sayangnya,
pemerintah hanya berani menjamin ketersediaan pangan, tanpa berani menurunkan
atau menstabilkan harga-harga. Dari tahun ke tahun, kenaikan kebutuhan bahan
pokok saat Ramadhan sulit dikontrol. Ini menjadi “Pekerjaan Rumah” bagi
pemerintah.
Namun demikian, tak ada pilihan lain bagi pembeli.
Kenaikan harga yang “mencekik” ini tak menyurutkan langkah kaki mereka untuk
membeli sesuatu yang menjadi hajat, kebutuhan. Seberapa mahal harga daging
ayam, tetap saja dibeli demi tersajinya hidangan lezat berbuka puasa. Dan
seberapa mahal harga tiket angkutan umum, juga tidak menyurutkan niat pembeli
demi mudik bersama keluarga.
Mudik bukan sekedar pulang ke kampung halaman, tapi
juga bentuk “kerinduan”. Rasa kerinduan pemudik kepada keluarga di rumah yang
tidak terbendung, diekspresikan dengan keinginan kuat mudik, walau harus
berjuang mencari di jalanan. Di dalam mudik ada pesan rindu, cinta kepada
keluarga. Bagi para perantau, mudik bisa menjadi momen paling berharga dalam
hidup.
Khusus untuk urusan mudik lebaran, hal ini merupakan
keunikan yang mungkin jarang didapati di negara lain. Jumlah pemudik dari Ibu
Kota Jakarta kebeberapa daerah menunjukkan kenaikan yang luar biasa. Data Posko
Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu pada lebaran tahun 2015 lalu mencatat
ada 3,5 juta kendaran pemudik dari Ibu Kota.
Pemandangan yang juga dapat dilihat saat Ramadhan
adalah razia tempat hiburan malam oleh sejumlah organisasi masyarakat juga
aparat Kepolisian. Mereka –para anggota ormas- berpendapat kesucian Ramadhan
tidak boleh dinodai dengan tetap dibukanya tempat-tempat hiburan. Meski
mengundang pro-kontra, razia tempat hiburan pada saat Ramadhan memiliki spirit memberantas kejahatan. Tidak
jarang, dalam razia ditemukan penyalahgunaan narkoba.
Disamping tradisi di atas, ada beberapa hal yang kerap
kali dijumpai menjelang dan pada saat Ramadhan. Perbedaan penetapan awal bulan
puasa Ramadhan juga sering kali terjadi. Teropong berukuran besar secara khusus
dipasang dibeberapa tempat untuk memantau posisi bulan. Para ulama menggelar
sidang penetapan. Kadang hal perbedaan penetapan tersebut membuat bingung
masyarakat awam. Tetapi, perbedaan
tersebut dimaknai sebagai: keberagaman Islam, perbedaan-perbedaan dalam Islam
yang menjadi rahmat.
Inilah sekelumit tradisi dan kekhasan Ramadhan di
Indonesia. Ragam ekspresi umat Muslim dalam menyambut Ramadhan adalah sesuatu
yang langka dan berharga. Itu pula yang membuat orang kerap menangis saat
menyambut dan meninggalkan Ramadhan. Indonesia punya sejuta cerita tentang
Ramadhan.
*) Harian Suara
Karya, Senin, 6 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar