Oleh: Ali Thaufan DS
Nama Saeni tiba-tiba menjadi terkenal.
Hampir semua media massa memberitakannya. Ini bermula dari Wartegnya yang
dirazia Satuan Pamong Praja yang dilakukan Rabu 8 Juni 2016. Di bulan Ramadhan,
beberapa daerah Kabupaten/Kota memang memiliki aturan jam buka tempat-tempat
makan. Hal ini pula yang terjadi di Serang Banten, tempat Saeni membuka
Wartegnya.
Tindakan razia yang dilakukan Satpol PP
menuai kritikan. Aksinya dilakukan laiknya perilaku “bar-bar”. Mereka tak mempedulikan
Saeni yang mengeluh, bahkan menanggis. Ibu tua tersebut hanya pasrah melihat
menu makanannya diangkut Satpol PP. Kita tidak pernah tahu, kemana makanan itu,
apakah dibuang, dikembalikan pada pemilik warung, atau bahkan dikonsumsi oleh
apparat Satpol PP?
Kejadian Saeni dengan cepat menyebar
setelah media nasional memberitakan. Berita tersebut mendapat respon desar dari
para netizen. Mereka menggalang
simpati untuk Saeni. Dan, terkumpullah dana hingga 250 juta rupiah untuk
diberikan kepada Saeni sebagai ganti karena dagangannya disita. Penulis membayangkan, betapa sikap “gotong-Royong”
itu menjadi identitas warga Indonesia, karena dengan mudah, mereka mengumpulkan
rupiah untuk Saeni. Kejadian “gerebek” Warteg di Serang tersebut memberi banyak
pelajaran tentang arti penegakan aturan hukum, menghormati perbedaan, dan
keragaman identitas keagamaan di Indonesia.
Dilihat dari aspek
penegakan hukum –dalam hal ini Peraturan Daerah-, tindakan Satpol PP menjadi
sah saja, karena belandaskan Perda Kota Serang. Dalam Perda pemerintah No 2
tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat diatur larangan bagi restoran, warung makan buka pada siang hari di
bulan Ramadhan. Jam buka restoran, warung atau tempat makan pun diatur jam
bukanya.
Perda ini memiliki
spirit menghormati orang yang berpuasa. Namun, bagaimana dengan mereka yang
tidak berpuasa, misalnya muslim perempuan yang sedang berhalangan (haid), juga non muslim? Ini bicara soal
perbedaan yang terjadi di masyarakat. Tidak semua warga di bulan Ramadhan
menjalannya puasa. Mereka yang tidak berpuasa juga berhak mendapatkan tempat
untuk makan. Seharusnya, aparat Satpol PP tersebut juga memahami, bahwa Warteg
tersebut diperuntukan mereka yang sedang tidak berpuasa. Penulis sangat yakin,
bahwa Saeni membuka warungnya bukan untuk “menggoda” umat Islam yang sedang berpuasa.
Tetapi ia membuka warung untuk menyediakan makanan bagi mereka yang tak
berpuasa.
Keberadaan Perda seperti
di Serang ini, mungkin membutuhkan penyempurnaan, dan sekaligus pengecualian
pasal atau ketentuan. Atau, jika memang dirasa bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, dapat dihapuskan. Untuk diketahui, Kemendagri menyisir
adanya 3.100 Perda-Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
lain. Artinya, banyak didapati Perda yang “bermasalah”.
Di bulan puasa, sikap
saling menghormati harus diutamakan. Mereka yang tidak berpuasa harus
menghormati yang berpuasa, dan begitu sebaliknya. Kita tidak bisa menafikan
perbedaan agama yang ada di masyarakat. Dalam sebuah masyarakat tertentu,
sangat mungkin terjadi perbedaan agama. Keadaan ini tak sepatutnya menimbulkan
perselisihan dan permusuhan. Di beberapa daerah, terdapat agama lain yang
justru membantu menyediakan sajian buka puasa bagi umat Islam yang berpuasa.
Inilah keindahan Indonesia.
Keragaman identitas
telah menjadi sunnah Tuhan. Jika
Tuhan berkehendak untuk menjadikan umat menjadi satu warna, seragam, dan tanpa
perbedaan, itu bukan hal yang sulit bagi Tuhan. Memaksakan semua manusia dalam
satu identitas –baik itu agama atau lainnya- akan menjadi “bencana”. Amartya
Sen (2016) dalam Kekerasan dan Identitas
menyinggung bahwa berbagai kekerasan kontemporer terjadi dan bermula dari
masalah identitas. Sen menyebut bahwa soliter,
atau memaksa beridentitas tunggal kerap menimbulkan masalah dan menyulut api
permusuhan. Oleh sebab itu, seseorang tidak akan pernah dapat memaksa orang
lain untuk beridentitas sama dengannya.
Dalam konteks peristiwa
“gerebek’ Warteg, kita perlu menyadari, bahwa ada banyak orang yang berpuasa
dan sebaliknya. Seluruh masyarakat hanya butuh sikap saling menghormati.
Simpati Saeni jangan hanya berujung pada memberian uang ganti. Tetapi ada hal
yang jauh lebih mahal, merawat perbedaan untuk Bhineka Tunggal Ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar