Kamis, 16 Juni 2016

Simpati Untuk Saeni



 Oleh: Ali Thaufan DS
 
Nama Saeni tiba-tiba menjadi terkenal. Hampir semua media massa memberitakannya. Ini bermula dari Wartegnya yang dirazia Satuan Pamong Praja yang dilakukan Rabu 8 Juni 2016. Di bulan Ramadhan, beberapa daerah Kabupaten/Kota memang memiliki aturan jam buka tempat-tempat makan. Hal ini pula yang terjadi di Serang Banten, tempat Saeni membuka Wartegnya.

Tindakan razia yang dilakukan Satpol PP menuai kritikan. Aksinya dilakukan laiknya perilaku “bar-bar”. Mereka tak mempedulikan Saeni yang mengeluh, bahkan menanggis. Ibu tua tersebut hanya pasrah melihat menu makanannya diangkut Satpol PP. Kita tidak pernah tahu, kemana makanan itu, apakah dibuang, dikembalikan pada pemilik warung, atau bahkan dikonsumsi oleh apparat Satpol PP?

Kejadian Saeni dengan cepat menyebar setelah media nasional memberitakan. Berita tersebut mendapat respon desar dari para netizen. Mereka menggalang simpati untuk Saeni. Dan, terkumpullah dana hingga 250 juta rupiah untuk diberikan kepada Saeni sebagai ganti karena dagangannya disita. Penulis membayangkan, betapa sikap “gotong-Royong” itu menjadi identitas warga Indonesia, karena dengan mudah, mereka mengumpulkan rupiah untuk Saeni. Kejadian “gerebek” Warteg di Serang tersebut memberi banyak pelajaran tentang arti penegakan aturan hukum, menghormati perbedaan, dan keragaman identitas keagamaan di Indonesia.

Dilihat dari aspek penegakan hukum –dalam hal ini Peraturan Daerah-, tindakan Satpol PP menjadi sah saja, karena belandaskan Perda Kota Serang. Dalam Perda pemerintah No 2 tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat diatur larangan bagi restoran, warung makan buka pada siang hari di bulan Ramadhan. Jam buka restoran, warung atau tempat makan pun diatur jam bukanya.

Perda ini memiliki spirit menghormati orang yang berpuasa. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak berpuasa, misalnya muslim perempuan yang sedang berhalangan (haid), juga non muslim? Ini bicara soal perbedaan yang terjadi di masyarakat. Tidak semua warga di bulan Ramadhan menjalannya puasa. Mereka yang tidak berpuasa juga berhak mendapatkan tempat untuk makan. Seharusnya, aparat Satpol PP tersebut juga memahami, bahwa Warteg tersebut diperuntukan mereka yang sedang tidak berpuasa. Penulis sangat yakin, bahwa Saeni membuka warungnya bukan untuk “menggoda” umat Islam yang sedang berpuasa. Tetapi ia membuka warung untuk menyediakan makanan bagi mereka yang tak berpuasa. 

Keberadaan Perda seperti di Serang ini, mungkin membutuhkan penyempurnaan, dan sekaligus pengecualian pasal atau ketentuan. Atau, jika memang dirasa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dapat dihapuskan. Untuk diketahui, Kemendagri menyisir adanya 3.100 Perda-Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain. Artinya, banyak didapati Perda yang “bermasalah”. 

Di bulan puasa, sikap saling menghormati harus diutamakan. Mereka yang tidak berpuasa harus menghormati yang berpuasa, dan begitu sebaliknya. Kita tidak bisa menafikan perbedaan agama yang ada di masyarakat. Dalam sebuah masyarakat tertentu, sangat mungkin terjadi perbedaan agama. Keadaan ini tak sepatutnya menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Di beberapa daerah, terdapat agama lain yang justru membantu menyediakan sajian buka puasa bagi umat Islam yang berpuasa. Inilah keindahan Indonesia. 

Keragaman identitas telah menjadi sunnah Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk menjadikan umat menjadi satu warna, seragam, dan tanpa perbedaan, itu bukan hal yang sulit bagi Tuhan. Memaksakan semua manusia dalam satu identitas –baik itu agama atau lainnya- akan menjadi “bencana”. Amartya Sen (2016) dalam Kekerasan dan Identitas menyinggung bahwa berbagai kekerasan kontemporer terjadi dan bermula dari masalah identitas. Sen menyebut bahwa soliter, atau memaksa beridentitas tunggal kerap menimbulkan masalah dan menyulut api permusuhan. Oleh sebab itu, seseorang tidak akan pernah dapat memaksa orang lain untuk beridentitas sama dengannya. 

Dalam konteks peristiwa “gerebek’ Warteg, kita perlu menyadari, bahwa ada banyak orang yang berpuasa dan sebaliknya. Seluruh masyarakat hanya butuh sikap saling menghormati. Simpati Saeni jangan hanya berujung pada memberian uang ganti. Tetapi ada hal yang jauh lebih mahal, merawat perbedaan untuk Bhineka Tunggal Ika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar