Oleh: Ali Thaufan DS
Ada yang beda Oktober 2015 kali ini dengan Oktober
tahun-tahun sebelumnya. Kebakaran hutan dan lahan gambut –yang terjadi bahkan
sebelum Oktober- mengakibatkan asap yang mengotori langit-langit Indonesia.
Seperti diberitakan banyak media, pantauan satelit memotret betapa kotornya
udara di sebagian wilayah Indonesia, utamanya Kalimantan dan Sumatera. Kabut
asap akibat oknum bejat yang sengaja membakar hutan dan lahan tersebut
mengakibatkan bencana skala nasional –meski pemerintah tak menyebut bencana
asap ini dengan status bencana nasional.
Bencana asap mengundang keprihatinan banyak pihak, elemen
masyarakat, dan tentu saja Presiden Joko Widodo. Berbagai upaya pemadaman
dengan menggunakan perangkat negara telah dilakukan. Bahkan, Presiden pun
langsung meninjau beberapa lokasi kebakaran. Berbagai komentar bermunculan saat
Presiden turun langsung meninjau lokasi kebakaran, dari positif hingga negatif.
Tulisan ini berupaya mencermati –atau sekedar mendeskripsikan saja- kerja
Presiden Jokowi yang meninjau lokasi kebakaran, serta balutan media yang
mengemasnya dalam sebuah berita. Beberapa langkah yang diambil Jokowi dalam
penyelesaian kebakaran hutan (bencana asap) menjadi kontroversi manakala media
membuntuti. Ia dianggap membangun citra positif semata.
Kebakaran hutan dan asap yang diakibatkannya menjadi
pukulan hebat masyarakat Indonesia, khususnya yang terpapar asap. Betapa tidak,
aktivitas warga terganggu, beberapa sekolah diliburkan, serta rumah sakit kebanjiran
pasien infeksi pernapasan akibat asap. Duka kabut asap memuncak ketika korban
mulai berjatuhan. Semua orang berteriak “dimana negara?”, dan “apa peran negara
dalam mengatasi kebakaran dan bencana asap ini”. Bagi penulis, tidak bijak
rasanya menyalahkan negara semata. Pasalnya, negara tak pernah menghendaki
pembakaran hutan dan lahan. Tetapi oknum-oknum bejat dalam negara inilah yang
sengaja membakar. Maka pantas kiranya kita membuat pernyataan: “untuk apa
bersusah payah memadamkan api, bukankah kebakaran hutan tersebut memang
disengaja (sengaja dibakar)?”.
Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan meninjau langsung
lokasi kebakaran. Berbagai arahan dan instruksi diberikan pada para pembantunya
(Menteri, TNI, Kapolri dan badan-badan negara yang terkait) untuk sesegera
mungkin mengakhiri kebakaran hutan secara serentak ini. Kondisi ini menunjukkan
bahwa presiden bekerja guna memadamkan api dan bencana asap.
Aksi Jokowi dalam upayanya memadamkan kebakaran hutan tak
ayal menjadi sorotan media. Berbagai hasil jepretan wartawan dan pengambilan
gambar fotografer menjadi hiasan media di tengah duka yang dialami para korban
terpapar asap. Blusukan Jokowi dalam
upayanya memadamkan api menjadi buah bibir banyak pihak, sebagian menduga
sebagai keprihatinan Jokowi, dan sebagian lain menganggap sebagai pencitraan
politik semata. Di era demokrasi seperti ini, media memang punya peran sebagai
kontrol negara. Melalui media, masyarakat dapat melakukan kontrol kerja
presiden dalam mengatasi bencana asap. Namun perlu diperhatikan bahwa hal
tersebut bisa saja terjadi kebalikannya, media mendapat kontrol penguasa. Keterbukaan
media menjadi peluang bagi para penguasa negara untuk membangun citranya sesuai
yang diinginkan.
Upaya yang dilakukan Presiden Jokowi dalam menangani kebakaran
hutan dan asap memang patut diaspresiasi. Kemasan media dalam memberitakan aksi
Jokowi cukup kreatif. Hal ini menjadi daya pikat –mengundang beragam komentar-
dari pembaca. Terlepas dari komentar positif ataupun negatif, pemberitaan
tersebut menjadi poin penting bagi citra presiden Jokowi.