Rabu, 08 Juli 2015

Membaca Jihad Konstitusi Muhammadiyah

Oleh: Ali Thaufan DS

Terdapat dua organisasi masyarakat –dengan corak keislaman- besar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Selain keduanya tersebut masih banyak lagi ormas yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Sejarah kemunculan kedua ormas tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan Indonesia untuk lepas dari kolonialisme, keduanya punya andil besar dalam perjuangan bangsa. Tulisan ini berangkat dari pembacaan gerakan salah satu ormas besar tersebut di atas, Muhammadiyah. Dalam dua hari terakhir, harian nasional Kompas menyoroti Muhammadiyah sebagai gerakan dan kontribusinya terdapat bangsa.

Sejak didirikan pada 1912 oleh Ahmad Dahlan, Muhammadiyah mendapat pengucilan dari masyarakat saat itu. Tidak mudah bagi Dahlan untuk konsisten pada apa yang ia gagas. Yang ia lawan bukan sekedar penjajah Belanda, tetapi juga kemiskinan rakyat Indonesia saat itu, keterbelakangan pendidikan dan tentu saja ajaran Islam yang dianggap menyimpang –praktik tahayul, khurafat dan lainnya. Sempat dijuluki “Kyai Kafir” karena terlibat dalam sekolah Belanda dan melarang orang mengadakan tahlil karena tidak mampu (sahib al-hajat dalam keadaan miskin harta, itulah sebabnya Dahlan melarangnya mengadakan tahlilan). Rintangan berat tersebut mampu dihadapi Dahlan. Dan, terbukti dengan ketulusan dan keikhlasannya, Muhammadiyah hidup sampai dengan saat ini. Tidak sekedar hidup, Muhammadiyah memberi warna dan kontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang memiliki perhatian di bidang pendidikan dan kesehatan. Perhatian itu terbukti dari jumlah sekolah Muhammadiyah dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan yang berjumlah lebih dari 12.000 sekolah. Untuk jumlah perguruan tinggi sebanyak 172. Perhatian pada kesehatan dibuktikan dengan kepemilikan rumah sakit Muhammadiyah, yakni sebanyak 457. (Kompas 7/7/2015). Itulah sebabnya tidak jarang mereka yang “berseberangan” dengan ideologi Muhammadiyah kerap menyebut Muhammadiyah hanya merupakan ormas pendidikan dan kesehatan. Menurut penulis agaknya terlalu sempit pikiran yang “mengerdilkan” gerakan Muhammadiyah karena perhatiannya pada pendidikan dan kesehatan.

Perhatian yang cukup besar pada bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia, membuat Muhammdiyah tidak diragukan lagi berkontribusi kongkrit bagi bangsa ini. Menurut Presiden Sukarno, ormas Muhammadiyah tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak bekerja. Hal tersebut yang menurut Sukarno menjadikan Muhammadiyah semakin besar menjadi ormas. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah tak henti untuk turut mendorong Indonesia yang berkemajuan. Salah satu cara yang dilakukan, Muhammadiyah menjadi ormas kritis yang tidak tinggal diam atas penyimpangan-penyimpangan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia. Penyimpangan yang dimaksud disini adalah adanya undang-undang yang dianggap menyimpang dari ruh Undang-Undang Dasar 1945 dan  tidak memberi keuntungan bagi rakyat banyak. Khusus dalam hal ini, Din Syamsuddin menyebutnya dengan “Jihad Konstitusi”. Jihad bukan semata-mata pergi ke medan perang. Tetapi, daya upaya, pikiran untuk mewujudkan Indonesia yang diridhai Allah adalah bagian dari jihad.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa tersendatnya Indonesia menjadi negara berkemajuan adalah akibat dari adanya undang-undang yang menyimpang dari ruh UUD 1945. Menurut Muhammadiyah, saat ini setidaknya terdapat 115 undang-undang yang dinilai bermasalah dan tidak berpihak untuk kepentingan rakyat, hajat orang banyak Indonesia. Diantara undang-undang yang dianggap menyimpang bagi Muhammadiyah adalah yang bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Oleh karennya, Muhammdiyah dan juga dengan ormas lainnya melakukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dari tujuh undang-undang yang didaftarkan untuk uji materi, baru empat diantaranya yang dikabulkan, yaitu: Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Migas; undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas; dan undang-undang No Tahun 2004 tentang Rumah Sakit. (Kompas 8/7/2015).

Mencermati apa yang dilakukan Muhammadiyah, Jihad Konstitusi tersebut, kita diperlihatkan undang-undang sebagai acuan pengambilan keputusan dan kerja pemerintah ternyata belum berpihak kepada rakyat sepenuhnya. Undang-undang tentang Migas tahun 2011 misalnya, masih dianggap sebagai pemicu liberalisasi dibidang migas. Demikian juga undang-undang tentang Sumber Daya Air yang ternyata membuat rakyat tetap mengalami sulit air, padahal Indonesia sebagai negara maritim (lautan membentang dan mendominasi luas negara).


Gerakan jihad konstitusi Muhammadiyah patut mendapat apresiasi. Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah menempatkan diri untuk menjadi benteng bagi umat atau rakyat Indonesia. Gerakan jihad tersebut patut pula menjadi dorongan bagi ormas lainnya agar berkontribusi secara nyata dan untuk kepentingan jangka panjang. Kedepan, diharapkan Muhammdiyah memberikan kontribusi lebih bagi bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar