Oleh: Ali
Thaufan DS
Terdapat
dua organisasi masyarakat –dengan corak keislaman- besar di Indonesia,
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Selain keduanya tersebut masih banyak
lagi ormas yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Sejarah kemunculan kedua
ormas tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan Indonesia untuk
lepas dari kolonialisme, keduanya punya andil besar dalam perjuangan bangsa.
Tulisan ini berangkat dari pembacaan gerakan salah satu ormas besar tersebut di
atas, Muhammadiyah. Dalam dua hari terakhir, harian nasional Kompas menyoroti
Muhammadiyah sebagai gerakan dan kontribusinya terdapat bangsa.
Sejak didirikan
pada 1912 oleh Ahmad Dahlan, Muhammadiyah mendapat pengucilan dari masyarakat
saat itu. Tidak mudah bagi Dahlan untuk konsisten pada apa yang ia gagas. Yang
ia lawan bukan sekedar penjajah Belanda, tetapi juga kemiskinan rakyat
Indonesia saat itu, keterbelakangan pendidikan dan tentu saja ajaran Islam yang
dianggap menyimpang –praktik tahayul, khurafat dan lainnya. Sempat dijuluki “Kyai
Kafir” karena terlibat dalam sekolah Belanda dan melarang orang mengadakan
tahlil karena tidak mampu (sahib al-hajat
dalam keadaan miskin harta, itulah sebabnya Dahlan melarangnya mengadakan
tahlilan). Rintangan berat tersebut mampu dihadapi Dahlan. Dan, terbukti dengan
ketulusan dan keikhlasannya, Muhammadiyah hidup sampai dengan saat ini. Tidak
sekedar hidup, Muhammadiyah memberi warna dan kontribusi bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah
dikenal sebagai ormas yang memiliki perhatian di bidang pendidikan dan
kesehatan. Perhatian itu terbukti dari jumlah sekolah Muhammadiyah dari tingkat
taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan yang berjumlah lebih dari 12.000
sekolah. Untuk jumlah perguruan tinggi sebanyak 172. Perhatian pada kesehatan
dibuktikan dengan kepemilikan rumah sakit Muhammadiyah, yakni sebanyak 457.
(Kompas 7/7/2015). Itulah sebabnya tidak jarang mereka yang “berseberangan”
dengan ideologi Muhammadiyah kerap menyebut Muhammadiyah hanya merupakan ormas
pendidikan dan kesehatan. Menurut penulis agaknya terlalu sempit pikiran yang “mengerdilkan”
gerakan Muhammadiyah karena perhatiannya pada pendidikan dan kesehatan.
Perhatian
yang cukup besar pada bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia, membuat
Muhammdiyah tidak diragukan lagi berkontribusi kongkrit bagi bangsa ini.
Menurut Presiden Sukarno, ormas Muhammadiyah tidak banyak bicara, tetapi lebih
banyak bekerja. Hal tersebut yang menurut Sukarno menjadikan Muhammadiyah
semakin besar menjadi ormas. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah tak henti
untuk turut mendorong Indonesia yang berkemajuan. Salah satu cara yang
dilakukan, Muhammadiyah menjadi ormas kritis yang tidak tinggal diam atas
penyimpangan-penyimpangan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Penyimpangan yang dimaksud disini adalah adanya undang-undang yang dianggap
menyimpang dari ruh Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memberi keuntungan bagi rakyat banyak.
Khusus dalam hal ini, Din Syamsuddin menyebutnya dengan “Jihad Konstitusi”. Jihad
bukan semata-mata pergi ke medan perang. Tetapi, daya upaya, pikiran untuk
mewujudkan Indonesia yang diridhai Allah adalah bagian dari jihad.
Muhammadiyah
berkeyakinan bahwa tersendatnya Indonesia menjadi negara berkemajuan adalah
akibat dari adanya undang-undang yang menyimpang dari ruh UUD 1945. Menurut
Muhammadiyah, saat ini setidaknya terdapat 115 undang-undang yang dinilai
bermasalah dan tidak berpihak untuk kepentingan rakyat, hajat orang banyak
Indonesia. Diantara undang-undang yang dianggap menyimpang bagi Muhammadiyah
adalah yang bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan
alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Oleh karennya, Muhammdiyah dan juga
dengan ormas lainnya melakukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dari
tujuh undang-undang yang didaftarkan untuk uji materi, baru empat diantaranya
yang dikabulkan, yaitu: Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Migas;
undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; undang-undang No. 17
Tahun 2013 tentang Ormas; dan undang-undang No Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.
(Kompas 8/7/2015).
Mencermati
apa yang dilakukan Muhammadiyah, Jihad Konstitusi tersebut, kita diperlihatkan
undang-undang sebagai acuan pengambilan keputusan dan kerja pemerintah ternyata
belum berpihak kepada rakyat sepenuhnya. Undang-undang tentang Migas tahun 2011
misalnya, masih dianggap sebagai pemicu liberalisasi dibidang migas. Demikian
juga undang-undang tentang Sumber Daya Air yang ternyata membuat rakyat tetap mengalami
sulit air, padahal Indonesia sebagai negara maritim (lautan membentang dan
mendominasi luas negara).
Gerakan
jihad konstitusi Muhammadiyah patut mendapat apresiasi. Sebagai ormas Islam,
Muhammadiyah menempatkan diri untuk menjadi benteng bagi umat atau rakyat
Indonesia. Gerakan jihad tersebut patut pula menjadi dorongan bagi ormas
lainnya agar berkontribusi secara nyata dan untuk kepentingan jangka panjang. Kedepan,
diharapkan Muhammdiyah memberikan kontribusi lebih bagi bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar