Oleh: Ali Thaufan
DS
Sejak awal pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), masyarakat
dipertontonkan dengan perseteruan antarpartai koalisi di DPR. Partai pendukung
pemerintah tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan partai “oposisi”
pemerintah tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP).
Buntut dari perseteruan tersebut
cukup hebat, memengaruhi kinerja anggota dewan; penyusunan alat kelengkapan
dewan; serta molornya pengesahan anggaran belanja negara. Bahkan, minimnya
undang-undang yang dibuat DPR pada tahun pertamanya dianggap sebagai ekses dari
perseteruan KIH dan KMP di dewan.
Perseteruan KIH dan KMP di parlemen sempat menimbulkan gejolak politik.
Hal tersebut menghasilkan sikap sentimen parlemen pada pemerintah. Setiap
keputusan pemerintah selalu mendapat “ganjalan” di DPR. Pada perjalanannya,
muncul kemudian upaya untuk membubarkan KMP demi mulusnya kerja pemerintah. Fakta
tersebut dapat dilihat pada konflik internal partai Golkar dan PPP. Dalam
internal partai tersebut, terdapat faksi yang mendukung pemerintah begitu juga
sebaliknya.
Menghadapi pemilihan kepala daerah yang akan digelar serentak pada 9
Desember 2015, partai politik menjalin koalisi yang tidak terbatas pada KIH dan
KMP saja. Ada banyak calon kepala daerah yang didukung baik oleh partai politik
dari KIH maupun KMP. Adagium “Dalam politik tidak ada musuh abadi, yang ada
kepentingan abadi” sepertinya ada benarnya. Ini terbukti pada partai-partai
politik memersiapkan pilkada serentak 2015. Partai politik yang “bermusuhan” di
DPR –dengan terbentuknya KIH dan KMP- sepertinya tidak berimplikasi secara
signifikan ditingkat daerah. Beberapa partai politik ditingkat daerah justru
menjalin kerja sama mereka menjelang pilkada.
Dalam beberapa pencalonan calon kepala daerah, terdapat beberapa partai
dari KIH dan KMP bersatu mendukung calon yang diinginkan. Sebagai contoh:
pencalonan Airin Rahmi Diani-Benyamin Davnie pada pilkada Kota Tangerang
Selatan, didukung oleh partai Golkar, PKS, PAN dan PPP (dari KMP) dan Partai
Nasdem dan PKB (dari KIH). Contoh lain juga dapat dilihat pada pencalonan Saan
Mutopa sebagai calon Bupati Karawang. Diketahui, Saan merupakan politisi partai
Demokrat. Pada pencalonannya, ia didukung partai Golkar dan Gerindra (dari KMP)
dan partai Nadem (dari KIH). Anehnya, Saan justru tidak didukung oleh partai
yang membesarkannya, Demokrat. Selain kedua contoh di atas, pada pilkada
Surabaya, Tri Rismaharini yang menjadi calon dari PDI-P (dari KIH) justru harus
berhadapan dengan PKB (dari KIH) yang memilih bergabung mendukung calon lain.
Alasan KIH dan KMP bersatu dibeberapa daerah menjelang pilkada cukup
sederhana. Keduanya ingin memenangkan calon yang diusung. Janji yang diobral
adalah keinginan memajukan da memerbaiki daerah akan dipimpin kelak. Kemesraan
KIH dan KMP ini menurut penulis telah “mengorbankan” rakyat sebagai pemilih.
Idealisme partai ditingkat pusat mereka kesampingkan demi kepentingan
memenangkan calon kepala daerah. Kemenangan adalah tujuan utama.
Mencermati adanya persatuan KIH dan KMP di beberapa daerah demi
menyukseskan pilkada, paling tidak menegaskan bahwa koalisi tersebut dapat
berubah, hingga ditingkat pusat sekalipun. Ketika semua kepentingan terakomodir
dan tidak ada belenggu yang saling menjerat, bentuk diplomasi akan menjadi
pemenang. Contoh nyata akan hal itu mungkin bisa kita dapati pada momentum
pilkada serentak Desember 2015. Tentu, masyarakat mengharap “kemesraan” KIH dan
KMP di pilkada benar-benar untuk kepentingan rakyat banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar