Senin, 27 Juli 2015

“Kemesraan” KIH-KMP Menjelang Pemilihan Kepala Daerah

Oleh: Ali Thaufan DS

Sejak awal pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), masyarakat dipertontonkan dengan perseteruan antarpartai koalisi di DPR. Partai pendukung pemerintah tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan partai “oposisi” pemerintah tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Buntut dari perseteruan tersebut cukup hebat, memengaruhi kinerja anggota dewan; penyusunan alat kelengkapan dewan; serta molornya pengesahan anggaran belanja negara. Bahkan, minimnya undang-undang yang dibuat DPR pada tahun pertamanya dianggap sebagai ekses dari perseteruan KIH dan KMP di dewan.

Perseteruan KIH dan KMP di parlemen sempat menimbulkan gejolak politik. Hal tersebut menghasilkan sikap sentimen parlemen pada pemerintah. Setiap keputusan pemerintah selalu mendapat “ganjalan” di DPR. Pada perjalanannya, muncul kemudian upaya untuk membubarkan KMP demi mulusnya kerja pemerintah. Fakta tersebut dapat dilihat pada konflik internal partai Golkar dan PPP. Dalam internal partai tersebut, terdapat faksi yang mendukung pemerintah begitu juga sebaliknya.

Menghadapi pemilihan kepala daerah yang akan digelar serentak pada 9 Desember 2015, partai politik menjalin koalisi yang tidak terbatas pada KIH dan KMP saja. Ada banyak calon kepala daerah yang didukung baik oleh partai politik dari KIH maupun KMP. Adagium “Dalam politik tidak ada musuh abadi, yang ada kepentingan abadi” sepertinya ada benarnya. Ini terbukti pada partai-partai politik memersiapkan pilkada serentak 2015. Partai politik yang “bermusuhan” di DPR –dengan terbentuknya KIH dan KMP- sepertinya tidak berimplikasi secara signifikan ditingkat daerah. Beberapa partai politik ditingkat daerah justru menjalin kerja sama mereka menjelang pilkada.

Dalam beberapa pencalonan calon kepala daerah, terdapat beberapa partai dari KIH dan KMP bersatu mendukung calon yang diinginkan. Sebagai contoh: pencalonan Airin Rahmi Diani-Benyamin Davnie pada pilkada Kota Tangerang Selatan, didukung oleh partai Golkar, PKS, PAN dan PPP (dari KMP) dan Partai Nasdem dan PKB (dari KIH). Contoh lain juga dapat dilihat pada pencalonan Saan Mutopa sebagai calon Bupati Karawang. Diketahui, Saan merupakan politisi partai Demokrat. Pada pencalonannya, ia didukung partai Golkar dan Gerindra (dari KMP) dan partai Nadem (dari KIH). Anehnya, Saan justru tidak didukung oleh partai yang membesarkannya, Demokrat. Selain kedua contoh di atas, pada pilkada Surabaya, Tri Rismaharini yang menjadi calon dari PDI-P (dari KIH) justru harus berhadapan dengan PKB (dari KIH) yang memilih bergabung mendukung calon lain.

Alasan KIH dan KMP bersatu dibeberapa daerah menjelang pilkada cukup sederhana. Keduanya ingin memenangkan calon yang diusung. Janji yang diobral adalah keinginan memajukan da memerbaiki daerah akan dipimpin kelak. Kemesraan KIH dan KMP ini menurut penulis telah “mengorbankan” rakyat sebagai pemilih. Idealisme partai ditingkat pusat mereka kesampingkan demi kepentingan memenangkan calon kepala daerah. Kemenangan adalah tujuan utama.


Mencermati adanya persatuan KIH dan KMP di beberapa daerah demi menyukseskan pilkada, paling tidak menegaskan bahwa koalisi tersebut dapat berubah, hingga ditingkat pusat sekalipun. Ketika semua kepentingan terakomodir dan tidak ada belenggu yang saling menjerat, bentuk diplomasi akan menjadi pemenang. Contoh nyata akan hal itu mungkin bisa kita dapati pada momentum pilkada serentak Desember 2015. Tentu, masyarakat mengharap “kemesraan” KIH dan KMP di pilkada benar-benar untuk kepentingan rakyat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar