Oleh: Ali Thaufan DS
Pada 27 Oktober 2014, pemerintahan presiden Joko Widodo dan
wakil presiden Jusuf Kalla secara resmi melantik orang-orang yang akan menjadi
“pembantunya”, para menteri. Suasana khidmat mengiringi pelantikan tersebut.
Para menteri yang dilantik digelari nama “Kabinet Kerja”. Mereka mengucap
sumpah berdasarkan kepercayaan masing-masing. Ada hal yang cukup unik dalam
prosesi pelantikan kabinet kali ini, semua menteri mengenakan pakaian batik. Setidaknya
Kabinet Kerja ingin menunjukkan bahwa batik adalah milik asli Indonesia dan
diakui UNESCO.
Tulisan ini hadir mencermati proses menuju pelantikan kabinet
pemerintahan Jokowi-JK, serta harapan masyarakat luas akan kinerja kabinet
Jokowi-JK tersebut. Harapan yang penulis maksud disini adalah hadirnya menteri
yang tidak tersandra oleh kasus korupsi dan kepentingan partai. Selain itu,
harapan akan adanya progam real yang memihak kepentingan masyarakat dan
dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
Pasca pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil
presiden, penunjukan menteri ramai dibicarakan. Bursa calon menteri yang akan
menduduki kursi kabinet menjadi pemberitaan yang “seksi” diberbagai media.
Sebagian menuding Jokowi akan terjebak dalam kepentingan partai pendukungnya
saat akan menentukan menteri. Sebagian lainnya menganggap Jokowi secara
profesional dalam menunjuk menteri. Teka-teki kursi menteri terjawab sudah saat
Jokowi akhirnya mengumumkan nama-nama pembantunya tersebut.
Selain isu seputar penunjukan menteri, perubahan nomenklatur
dibeberapa kementerian juga menjadi topik hangat pemberitaan. Kementerian yang
dianggap memiliki progam kerja hampir sama dijadikan menjadi satu kementerian.
Sedangkan kementerian yang menjadi fokus utama pemerintahan, dibentuk
kementerian baru, seperti Kementerian Koordinator Maritim. Sebagian kalangan
menilai kemenko maritim adalah bentuk perhatian dan komitmen pemerintah untuk
memajukan potensi kelautan Indonesia.
Harapan masyarakat akan hadirnya menteri yang “bersih” dan
tidak tersandra kasus sangat besar. Masyarakat luas tentu tidak ingin memiliki
menteri yang tersandra oleh kasus hukum (korupsi). Kasus hukum yang menjerat
menteri disinyalir sebagai salah satu kegagalan kerja sebuah kementerian. Setidaknya
masyarakat dapat melihat pada masa pemerintahan SBY-Budiono periode 2009-2014
(Kabinet Indonesia Bersat II). Saat itu, tiga menteri SBY menjadi tersangka
dugaan korupsi, yaitu: Andi Alfian Malaranggeng (Menteri Pemuda dan Olahraga),
Suryadharma Ali (Menteri Agama) dan Jero Wacik (Menteri ESDM). Selain itu, ada
pula beberapa pejabat tinggi dalam suatu kementerian yang juga terlibat kasus
hukum.
Langkah presiden Jokowi yang melibatkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam
memilih menteri adalah wujud kongkrit untuk menghadirkan menteri yang bersih
dari kasus hukum. Hal tersebut merupakan terobosan baru dari pemerintahan Jokowi-JK.
Pemerintahan kali ini ingin menunjukkan bahwa para menteri yang dipilih telah “lolos
ujian KPK”. Tetapi perlu dicatat, hal itu tidak pula menjamin bahwa pada masa
kepemimpinannya menteri akan bebas dari kasus hukum.
Pasca pelantikan kabinet, masyarakat pasti menunggu dan
memastikan hadirnya progam-progam kementerian yang memihak kepentingan rakyat.
Pasar menunggu kepastian kebijakan yang akan dikeluarkan pembantu presiden
tersebut. Dengan hadirnya menteri yang bersih, masyarakat berharap kerja mereka
hanya untuk kepentingan rakyat, bukan partai politik yang membesarkannya.
Jokowi menghimbau para menteri agar segera membuka
“kebuntuan” yang menghambat progam kerja pada setiap kementerian. Ia juga
menegaskan agar seluruh kabinet dapat bekerja lintas sektor, sehingga ego
sektor (kementerian) dapat dihindari. Kini, masyarakat berharap agar Kabinet
Kerja dapat bekerja sepenuhnya untuk kemajuan Indonesia.