Selasa, 20 Mei 2014

Studi Kitab Tafsir “Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl (Tafsîr al-Khâzin)

Ali Thaufan Dwi Saputra / 2113034000002

Pendahuluan
Penafsiran terhadap nash al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad. Ia merupakan mufassir yang paling otoritatif, mengingat wahyu al-Qur’an diturunkan kepadanya. Dalam lintasan sejarah selama 14 abad, telah banyak karya-karya para mufassir al-Qur’an dari masa klasik –sejak tafsir mulai dibukukan- hingga saat ini. Beragamnya kitab-kitab tersebut memberi konsekuensi pada perbedaan penafsiran. Hal ini lumrah adanya, karena seorang penafsir seringkali menafsirkan al-Qur’an sesuai pada konteks masanya. Sedangkan penafsir yang datang berikutnya juga menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan masanya pula.

Banyaknya karya kitab tafsir para mufassir, kerap menjadi rujukan generasi mufassir setelahnya dan kajian penelitian. Generasi yang datang berikutnya mengkaji kitab tersebut dan menjadi “anotator” atasnya. Generasi berikutnya juga kerap menyepakati dan juga mengkritik hasil penafsiran sebelumnya. Tentu sebagai sebuah penelitian akademis, hal ini sangat wajar selama dalam batas koridor dan norma-norma penelitian.

Diantara kekayaan literatur tafsir, salah satunya adalah kitab tafsir “Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl” karya ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî. Ia dikenal dengan sebutan al-Khâzin, oleh sebab itu kitab tafsirnya dikenal pula dengan Tafsir al-Khâzin. Tulisan ini ingin mengulas secara singkat tentang kitab tersebut. Ulasan tulisan ini antara lain meliputi: Riwayat sang pengarang kitab; latar belakang penulisan kitab; sekilas tentang tafsir “Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl (al-Khâzin)”; serta pujian dan kritikan atasnya. Penelitian dan kajian terhadap tafsir al-Khâzin bukanlah sesuatu yang baru. Meski demikian, tulisan ini diharap dapat memberikan deskripsi umum tentang tafsir al-Khâzin dan menjadi rujukan bagi para peneliti berikutnya.

Riwayat Hidup al-Khâzin
Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl adalah karya ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî atau yang terkenal dengan panggilan al-Khâzin. Ia lahir pada tahun 678 H di Baghdad. Panggilan al-Khâzin yang ditujukan kepadanya dikarenakan ia merupakan penjaga kitab-kitab di perpustakaan Khanqah al-Samistiyah.

Al-Khâzin dikenal sebagai seorang sufi, orang yang baik hati dan mukanya yang cerah. Ia juga banyak menguasai keilmuan agama. Hal ini dibuktikan dari beberapa karya yang ia tuliskan. Diantara karyanya: Syarakh Umdatu al-Ahkâm, Maqbûl al-Manqûl, Musnad al-Syafi’i, Musnad Ahmad, Muwatha’, Sunan Daruqutni yang ditulis sesuai bab serta Sirah Nabi. Al-Khâzin wafat pada tahun 741 H.

Guna mengembangkan pengetahuan dan keilmuannya, al-Khâzin berguru pada al-Qasimi ibn al-Muhdzafar yang berada di Damaskus. Kemudian ia melanjutkan ke Mesir dan berguru pada Wazirah binti Umar ibn As’ad Ummi Abdullah.[1] Ia juga tercatat pernah belajar hadis ke Maghrib kepada al-Tsa’labi al-Jazair yang dikenal dengan nama Zaid Abdu al-Rahman ibn Muhammad ibn Makhluf.[2]

Latar Belakang Penulisan Kitab
Tafsir al-Khâzin merupakan ringkasan dari kitab Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl yang ditulis Abdullah Ahmad ibn Mahmûd al-Nasafî (w. 701 H). Madârik al-Tanzîl sebetulnya hasil ringkasan dan banyak mengutip dari tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyarî (w. 538 H) dan Ma’âlim al-Tanzîl karya Abû Muhammad Husain ibn Mas’ud al-Baghawî (w. 510 H). Tetapi al-Nasafî tidak memasukkan penafsiran-penafsiran bias Muktazilah seperti hal nya al-Zamakhsyari, karena ia bermazhab Ahlu al-Sunnah.[3]

Alasan al-Khâzin –seperti ia kemukakan dalam muqaddimah tafsirnya- menulis dan meringkas kitab Madârik al-Tanzîl (yang merupakan ringkasan Ma’âlim al-Tanzîl) didasari “cinta” nya kepada al-Baghawî. Menurutnya, al-Baghawî adalah seorang yang mulia, yang menghidupkan sunnah Nabi dan luas pengetahuan ilmu. Lebih lanjut, al-Khâzin menilai Tafsir Ma’âlim al-Tanzîl sebagai kitab tafsir terbaik yang didalamnya terkandung hadis-hadis sahih, kisah-kisah yang menarik serta banyak mengulas persoalan hukum syariah. Upaya al-Khâzin dalam meringkas kitab Ma’âlim al-Tanzîl adalah dengan membuang sanad-sanad pada hadis yang dikutip dan memotong cerita yang panjang.[4]

Al-Khâzin memaparkan lima hal sebelum memulai tafsirnya, yakni: tentang fadhilah belajar al-Qur’an; ancaman bagi orang yang berbicara al-Qur’an tanpa didasari ilmu dan orang yang hafal al-Qur’an tetapi melupakannya dan tidak mengulangi hafalannya; penjelasan tentang turunnya al-Qur’an dan urutan-urutan sûrah; penjelasan mengenai turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf; serta tentang pengertian tafsir dan takwil.[5]

Sekilas Tentang Kitab Tafsir al-Khâzin
Penulis melakukan penelitian kitab tafsir Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl atau al-Khâzin menggunakan kitab terbitan Dâr al-Fikr (tidak disebutkan tahun penerbitan). Kitab tersebut terdiri dari empat jilid. Jilid pertama terdiri dari 504 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Fâtihah sampai dengan al-Mâidah. Jilid kedua terdiri 350 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-An’âm sampai dengan Hûd. Jilid ketiga terdiri 503 halaman yang memuat penafsiran sûrah Yusuf sampai dengan Fâtir. Jilid keempat terdiri 423 halaman yang memuat penafsiran sûrah Yasin sampai dengan al-Nâs.[6] Pada setiap selesai pembahasan sûrah diakhir jilid, al-Khâzin menuliskan ungkapan “telah selesai pembahasan dalam jilid ini”.

Kitab tersebut berukuran panjang 30 cm dan lebar 20 cm. Sampul menggunakan hard cover berwarna hitam dengan berhias ornament (hiasan semacam batik) disampul bagian muka (depan). Sedangkan disampul bagian dalam tidak dihiasi ornament. Pada setiap permulaan sûrah, terdapat ornament dan tertulis lafaz “Basmalah”. Adapun kertas yang digunakan adalah jenis kertas buram berwarna kuning atau semacam jeluang.[7]

Telaah Metodologis Tafsir al-Khâzin
  1. Metode dan Manhaj Penafsiran
Para ulama tafsir telah memaparkan beberapa metode yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut al-Farmawi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab membagi metode penafsiran menjadi empat macam, yakni: metode tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i.[8] Setelah meneliti tafsir al-Khâzin, penulis mendapati bahwa metode yang digunakan oleh al-Khâzin adalah metode tahlili. Sumber penafsirannya mayoritas menggunakan tafsir bil-Ma’tsur.

Al-Khâzin menafsirkan al-Qur’an berdasarkan urutan sûrah mulai dari sûrah al-Fatihah sampai dengan al-Nâs. Ia mengawali penafsiran suatu sûrah dengan menjelaskan bahwa sûrah tersebut termasuk kategori sûrah Makkiah atau Madaniah. Kemudian ia menginformasikan jumlah ayat, kalimat dan huruf dalam sûrah tersebut.[9] Tidak jarang ia juga menjelaskan sebab turunnya sûrah tersebut. al-Khâzin menafsirkan potongan ayat demi ayat dengan menggunakan tanda kurung.[10]

  1. Corak Penafsiran al-Khâzin
Ketika menafsirkan al-Qur’an, mufassir seringkali dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya dan latar belakang keilmuannya. Oleh sebab itu, para mufassir yang memiliki latar belakang sebagai ahli sejarah akan larut menjelaskan al-Qur’an dari aspek kesejarahan. Para sastrawan dan ahli bahasa akan cenderung menafsirkan al-Qur’an dengan menitikberatkan aspek kebahasaan. Mufassir yang ahli dalam filsafat dan kalam, akan menaruh perhatian yang cukup besar dalam menafsirkan al-Qur’an dari sisi filsafat dan kalam. Mufassir yang ahli dibidang ilmu pengetahuan akan menafsirkan dari sisi ilmu pengetahuan. Para ahli hukum atau fikih juga akan menafsirkan al-Qur’an dengan kecenderungan pada aspek hukum atau fikih. Hal inilah oleh para pakar ilmu tafsir termasuk Quraish Shihab disebut sebagai corak penafsiran.

Lebih lanjut, menurut Quraish saat ini corak penafsiran telah berkembang yakni munculnya corak sastra dan kebudayaan masyarakat. Corak ini identik dengan penafsiran yang memberikan jawaban-jawaban terkait dengan persoalan kehidupan yang dinamis. Selain itu, corak ini memberikan solusi terhadap persoalan hidup dengan bahasa yang mudah dimengerti dan lugas.[11]

Setelah meneliti secara “random” isi tafsir al-Khâzin, penulis mendapati bahwa ayat yang berhubungan dengan hukum atau fikih banyak dijelaskan al-Khâzin. Sebagai contoh saat menjelaskan sûrah al-Baqarah ayat 228.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Al-Khâzin memberikan penjelasan tentang pembagian permasalahan iddah sebagai berikut: iddah wanita yang sedang hamil sampai melahirkan, iddah seorang istri yang suaminya wafat selama empat bulan sepuluh hari, iddah muthalaqah (masa perceraian) bagi perempuan yang telah disetubuhi selama tiga quru’ dan iddah seorang hamba sahaya.[12]

Selain masalah iddah, al-Khâzin juga memberi perhatian terkait hukum potong tangan bagi pencuri dalam sûrah al-Mâidah ayat 38.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ia menjelaskan dengan membagi beberapa pasal atau bagian, yaitu: Pertama, bahwa hukum potong tangan wajib ditegakkan, terlepas sedikit atau banyak barang/harta yang dicuri. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhâri-Muslim:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله )صلى الله عليه وسلم( لعن الله السارق يسرق البيضه فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده

Kedua, menurut mayoritas ulama, hukum potong tangan berlaku bagi pencuri yang telah mencuri pada batasan seperempat dinar atau tiga dirham. Ia mendasarkan pada hadis:

عن عائشة قالت كان رسول الله يقطع السارق في ربع دينار فصاعداً

Ketiga, memotong bagian lengan tangan sebelah kanan, apabila ia kembali mencuri maka dipotonglah kaki kirinya pada bagian mata kaki, apabila ia kembali mencuri maka dipotonglah tangan kiri dan jika ia masih tetap mencuri maka dipotonglah kaki kanannya lalu dipenjarakan. Hal ini didasarkan sabda Nabi:

إذا سرق السارق فاقطعوا يده, فإن عاد فاقطعوا رجله فإن عاد فاقطعوا يده فإن عاد فاقطعوا رجله.[13]

Al-Khâzin juga mengulas persoalan hukum meninggalkan puasa bagi orang sakit dan yang dalam perjalanan yang termaktub dalam sûrah al-Baqarah ayat 184.

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ...

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...”
Al-Khâzin  mengutip beberapa pendapat ulama fikih. Beberapa silang pendapat ia kemukakan semisal: jarak tempuh perjalanan, ada yang berpendapat kebolehan meninggalkan puasa jika perjalanan selama satu hari, dua hari dan tiga hari. Ia juga menutip pendapat Syafi’i bahwa puasa dalam sebuah perjalanan lebih baik. Sementara ulama lain seperti Imam Ahmad justru menganggap bahwa membatalkan puasa saat dalam perjalanan adalah lebih baik.[14]

Ketiga ayat yang berkaitan dengan persoalan fikih di atas adalah sebagian kecil dari pembahasan masalah fikih yang dijelaskan oleh al-Khâzin. Selain kedua ayat diatas, al-Khâzin sering mengulas persoalan yang berkaitan dengan fikih. Pembahasannya biasanya diulas dengan menyebutkan hukum ayat tertentu dengan membaginya secara pasal demi pasal.

Berkaitan dengan ayat-ayat “Kalam”, penulis mencatat bahwa al-Khâzin tidak memiliki kecenderungan pada mazhab tertentu. Penulis mengambil contoh ketika al-Khâzin menafsirkan sûrah al-Baqarah ayat 255, yang dikenal dengan sebutan ayat kursi.

...وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“...Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Al-Khâzin mendasarkan penafsirannya pada bebrapa perbedaan tentang makna kursi Allah. Pertama, ia mengutip pendapat yang mengatakan bahwa kursi tersebut adalah singgasana Allah. Kedua, ia juga mengutip pendapat yang menyebutkan bahwa kursi dalam ayat tersebut bukan singgasana Allah. Ketiga, ia mengatakan bahwa kursi adalah sesuatu yang besar dan menjadi sandaran ilmu.[15] Penulis tidak mendapati pendapat pribadi atau kesimpulan al-Khâzin.

Ayat “Kalam” kedua adalah sûrah al-Qiyamah ayat 23. Ayat ini secara literal mengatakan bahwa kelak manusia akan dapat melihat Tuhan, pada hari akhir.

إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Kepada Tuhannya mereka melihat.”

Berkaitan dengan hal tersebut, al-Khâzin juga mengutip berbagai pendapat. Antaranya, pendapat Ibn Abbâs yang mengatakan bahwa banyak mufassir yang berpendapat bahwa seorang hamba akan melihat Tuhan pada hari akhir. Al-Khâzin kemudian mengutip pendapat Mujahid dan Abû Salah yang berpendapat bahwa “melihat” disini berarti menunggu pahala Tuhan, bukan melihat Tuhan. Lebih lanjut, al-Khâzin mengutip beberapa hadis yang menjelaskan bahwa manusia dapat melihat Tuhannya. Salah satunya adalah saat Nabi duduk pada suatu malam laila al-Qadar, Nabi mengatakan pada Jarir bahwa kelak akan melihat Tuhan sebagaimana melihat bulan yang ia lihat saat itu.[16] Jika melihat penafsiran al-Khâzin tentang ayat “Kalam” di atas, ia sepertinya berada pada posisi “moderat”. Penafsirannya tidak memiliki kecenderungan pada mazhab Sunni atau Muktazilah.

Selain banyak penafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum fikih dan “Kalam”, al-Khâzin sebetulnya lebih dikenal sebagai ahli sejarah yang banyak bercerita[17] dan menyisipkan isrâiliyât dalam tafsirnya. Terkait hal ini, penulis paparkan pada sub bab sumber rujukan tafsir al-Khâzin di bawah ini.

  1. Sumber Rujukan Tafsir al-Khâzin
Kitab tafsir al-Khâzin adalah merupakan ringkasan dari kitab tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl karya Abdullah Ahmad ibn Mahmud al-Nasafî (w. 710). Tentu saja, dapat dipastikan rujukan utama adalah kitab tersebut. Bahkan menurut al-Dzahabi, al-Khâzin tidak merubah sedikitpun kitab tafsir tersebut kecuali membuang sanad hadis-hadis yang menjadi penjelasan tafsir dalam kitab Madârik.[18]

Penulis mendapati bahwa rujukan yang dominan dalam tafsir al-Khâzin adalah hadis-hadis Nabi. Hal ini dibuktikan dalam beberapa penafsirannya, ia mengutip hadis dari ibn Abbâs,[19] Imam Malik dan Abû Hurairah dengan menggunakan kode (خ) jika yang dikutip adalah dari Imam Bukhâri, (م) adalah Imam Muslim dan (ق) adalah hadis riwayat Bukhâri dan Muslim.

Penulis meneliti jumlah hadis-hadis tersebut pada sepuluh sûrah dalam jilid (volume) empat tafsir al-Khâzin. Dalam sûrah Yasin terdapat 1 hadis Sahih Bukhâri, 4 hadis Sahih Muslim dan 2 hadis Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Shaffat 1 hadis Sahih Muslim dan 1 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah Shad 1 hadis Sahih Bukhâri dan 2 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Zumâr 2 hadis Sahih Bukhâri, 2 Sahih Muslim dan 7 Sahih Bukari-Muslim. Sûrah al-Mukmin 1 hadis Sahih Bukhâri, 4 Sahih Muslim dan 7 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah Fushilat 1 hadis Sahih Bukhâri, 1 Sahih Muslim dan 2 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Syura 3 hadis Sahih Bukhâri, 3 Sahih Muslim dan 3 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Zuhrûf 2 hadis Sahih Bukhâri, 1 Sahih Muslim dan 3 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Duhkan 2 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Jatsiyah 1 Sahih Muslim dan 1 Sahih Bukhâri-Muslim. Tetapi diantara banyak hadis tersebut, al-Khâzin tidak mencantumkan sanad hadis secara lengkap.[20]

Selain meriwayatkan hadis dari Bukhâri dan Muslim, al-Khâzin juga meriwayatkan hadis dari perawi lainnya, seperti Abi Dawud dan Tirmidzi. Tetapi al-Khâzin tidak menggunakan kode khusus. Ia mengutip dengan menyebutkan nama perawi tersebut.[21]

Penafsiran al-Khâzin banyak bersumber dari cerita-cerita isrâiliyât. Al-Qur’an mengandung banyak kisah yang menceritakan kehidupan masa lampau (sebelum Muhammad diutus sebagai rasul). Seperti kisah nabi Musa saat ia mendapat ujian dari Khidir; kisah lahirnya Nabi ‘Isa yang di luar kemampuan akal manusia; serta pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrâhîm dan kisah ashâb al-Kahfi yang benar-benar ajaib (tertidur ratusan tahun). Karena al-Qur’an jarang menjelaskan secara detail kisah-kisah para Nabi tersebut, maka umumnya penafsirannya diambil dari isrâiliyât.

Menurut al-Dzahabi, sumber isrâiliyât tersebut didapatkan dari riwayat Wahab ibn Munabbih, Ka’ab al-Ahbâr dan lainnya. Sebagai contoh ketika al-Khâzin menafsirkan Sûrah al-Anbiyâ’ ayat 83-84 tentang kisah nabi Ayyûb.

al-Khâzin dimulai dengan mengutip riwayat Wahab ibn Munabbih yang menceritakan Ayyûb adalah laki-laki asal Romawi bernama lengkap Ayyûb ibn Amos ibn Narîkh ibn Rum ibn Ish ibn Ishâq ibn Ibrahîm. Allah mengangkatnya menjadi Nabi dan melimpahkan rahmatnya berupa harta melimpah. Ia orang yang baik hati, bertaqwa dan menyantuni fakir miskin. Atas kemurahan hati Ayyûb, iblis-iblis biadab ingin mengodanya. Iblis naik turun langit untuk menawar kepada Allah agar ia dapat mengoda Ayyûb sehingga jatuh imannya.[22]

Selanjutnya Al-Khâzin menceritakan bahwa pada suatu saat iblis mendengar suara malaikat membaca shalawat kepada Ayyûb ketika Allah memuji di hadapan mereka. Iblis merasa benci dan iri. Kemudian ia naik ke langit dan berkata: “Tuhanku, saya melihat Ayyûb sebagai hamba yang engkau berikan nikmat dan harta melimpah. Maka wajar jika ia menyukuri-Mu. Seandainya Engkau menguji dengan menghentikan nikmatmu, tentu dia tidak akan bersyukur lagi dan menyembah-Mu.” Allah menjawab “berangkatlah kamu (iblis) boleh melakukan apa saja terhadap harta Ayyûb”. Kemudian iblis turun ke bumi dan mengumpulkan kolega-koleganya untuk menyusun rencana penghancuran harta Ayyûb.

Al-Khâzin melanjutkan ceritanya, bahwa setelah iblis memusnahkan harta Ayyûb, ternyata ia tidak mampu mengoyahkan imannya. Iblis kembali naik ke atas langit dan memohon kepada Allah untuk diizinkan mengabisi anak Ayyûb. Allah menjawab “Berangkatlah, kamu (iblis) boleh membunuh anaknya.” Sesudah itu, iblis menemui Ayub dan berkata “Seandainya engkau tahu penderitaan anak-anakmu dan bagaimana mereka jungkir-balik, dengan darah mengalir dan otak berhamburan, tentu hatimu akan luluh”. Ayyûb pun menangis kemudian mengambil segenggam debu dan dituangkan di atas kepalanya sambil berkata “Seharusnya ibuku tidak melahirkan saya”. Tetapi kemudian Ayyûb bertaubat dan iblis pun terheran-heran.

Iblis belum puas dengan apa yang telah ia lakukan kepada Ayyûb, karena iman Ayyûb tetap tak goyah. Lalu ia kembali meminta kepada Allah agar ia diperbolehkan meminta merusak tubuh Ayyûb. Allah menjawab “Kamu boleh menghancurkan tubuh Ayyûb, akan tetapi kamu tidak dapat menguasai lisan, hati dan akalnya”. Iblis turun lagi ke bumi dan merusak tubuh Ayyûb. Ketika Ayyûb sedang bersujud, iblis meniup kedua lubang hidungnya. Tiupan itu membuat seluruh tubuh Ayyûb terbakar. Badannya pun menjijikkan, bernanah dan bau busuk, sehingga semua orang menjauhi kecuali istrinya. Iblis kembali mengoda Ayyûb melalui istrinya, karena Ayyûb tidak kunjung sembuh, istrinya menawarkan Ayyûb untuk menyembelih kambing bukan karena Allah. Seketika, Ayyûb pun marah dan menyuruh pergi istrinya.[23]

Contoh dari pengutipan al-Khâzin kepada Ka’ab antara lain adalah, ketika menafsirkan sûrah al-An’âm ayat pertama. Dengan mengutip Ka’ab, al-Khâzin menjelaskan bahwa lafaz al-Hamdu juga terdapat dalam awal dan akhir kitab Taurat. Ia kemudian menjelaskan bahwa akhir ayat dalam Taurat adalah sama seperti akhir Sûrah Hûd.[24]

Selain mengutip hadis dan isrâiliyât, Al-Khâzin juga kerap mengutip syair-syair Arab untuk menafsirkan al-Qur’an. Pengutipan tersebut terkadang untuk menyambung penjelasan suatu ayat dan menguak suatu makna pada sebuah ayat. Sebagai contoh ketika al-Khâzin mengutip sebuah syair untuk menjelaskan makna “al-Zanjabila” pada sûrah al-Insân ayat 17.[25]

Keistimewaan dan Kritik atas Tafsir al-Khâzin
Setiap kitab tafsir tentu memiliki keistimewaan dan kritik dari penafsir setelahnya dan pembacanya. Setelah penulis meneliti tafsir al-Khâzin, beberapa hal yang menurut penulis menjadi keistimewaan adalah: (1) al-Khâzin memberikan gambaran umum (seputar jumlah ayat, kalimat dan huruf) mengenai sebuah sûrah sebelum ia menafsirkan; (2) menjelaskan sebab turunnya ayat; (3) terkadang menjelaskan keutamaan sebuah surah yang didasarkan pada hadis; (4) ketika mengutip hadis dari Imam Bukhâri, Muslim dan hadis yang diriwayatkan keduanya, al-Khâzin memberikan kode. Hal ini sangat memudahkan para pembacanya; (5) dalam membahas sebuah ayat tertentu, al-Khâzin sering memberikan poin-poin seperti ayat yang berkaitan dengan hukum dan kisah.

Namun demikian, tafsir al-Khâzin juga mendapat kritikan. Salah satu kritik yang paling keras disampaikan al-Dzahabi. Kritik tersebut adalah: penghapusan sanad dan juga pengutipan isrâiliyât yang dianggap berlebihan dan tanpa meninjau kesahihannya. Ia bahkan menyebut tafsir al-Khâzin banyak terjadi penyimpangan lantaran mengutip isrâiliyât yang tidak masuk akal.[26]

Kesimpulan
Melalui pembacaan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) tafsir al-Khâzin adalah tafsir ringkasan dari tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl karya Abdullah Ahmad ibn Mahmud al-Nasafî. Tafsir Madârik al-Tanzîl sendiri adalah ringkasan dari Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawî dan al-Kasysyâf karya Zamakhsyari; (2) al-Khâzin seringkali mengutip cerita-cerita nabi secara panjang dan detail dari isrâiliyât. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang kritik; (3) tidak benar jika tafsir al-Khâzin selalu diidentikkan dengan tafsir yang sarat isrâiliyât, karena al-Khâzin juga banyak berbicara masalah fikih dalam tafsir tersebut.



[1] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Dâr al-Hadîs, Kairo, 2005), vol 1, h. 265. Sedangkan dalam sampul kitab tafsir al-Khâzin, menyebut tahun wafat pada 725 H
[2] Ahmad Khozin “Analisa Kritis Terhadap Surah al-Fil dalam Tafsir al-Khazin” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin, 2011) h. 12
[3] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol 1, h. 260
[4] ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî, Tafsîr al-Khâzin al-Musammâ bi Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, (Dâr al-Fikr, tt), vol. 1, h. 3
[5] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 5
[6] Kitab tersebut penulis dapatkan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Memang ada beberapa perbedaan dengan kitab yang diterbitkan penerbit lainnya. Sebagai contoh kitab Tafsir al-Khâzin yang diterbitkan Dâr Kutub al-‘Ilmiah Beirut Libanon cetakan pertama tahun 1995. Kitab tersebut ditahqiq oleh Abdu al-Salam Muhammad Ali Syahin dan terdiri 6 jilid. Jilid pertama terdiri dari 614 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Fatihah sampai dengan Ali Imrân. Jilid kedua terdiri 647 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Nisâ sampai dengan al-A’râf. Jilid ketiga terdiri 527 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Anfâl sampai dengan al-Hijr. Jilid keempat terdiri 558 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Nahl sampai dengan al-Naml. Jilid kelima terdiri 542 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Qashâsh sampai dengan al-Hujurât. Jilid enam terdiri 550 halaman yang memuat penafsiran sûrah  Qaf sampai dengan al-Nâs.
[7] Kertas dari kulit kayu
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2013), h. 129
[9] Sebagai contoh dapat dilihat ketika al-Khâzin menafsirkan sûrah al-Baqarah, Ali Imran, Yasin dan beberapa sûrah lainnya.
[10] Kitab yang penulis teliti berbeda dengan kitab terbitan Dâr Kutub al-‘Ilmiah Beirut Libanon cetakan pertama tahun 1995. Pada kitab tersebut penafsirannya dikelompokkan beberapa ayat lalu kemudian ditafsirkan.
[11] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 107
[12] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 153
[13] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 455
[14] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 112
[15] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 180
[16] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4, h. 335
[17] Misalnya cerita tentang penciptaan alam semesta pada sûrah al-Fushilat, ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4, h. 81 dan kisah penyembelihan Ismail pada sûrah al-Shaffat,  vol. 4, h. 22
[18] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol 1, h. 265
[19] Selain mengutip hadis yang diriwayatkan Ibn Abbâs, dalam banyak ayat, al-Khâzin banyak mengutip pendapat Ibn Abbâs. Penulis kemudian merujuk pendapat Ibn Abbâs dalam kitab Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs. Sebagai contoh penulis mendapati bahwa penafsiran al-Khâzin pada sûrah Yasin ayat 1 dan 19 bersumber dari riwayat Ibn Abbâs. Lihat Abî Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairuzi Abadi, Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs, (Bairut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 440.
[20] Lihat hadis pada masing-masing sûrah: ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4.
[21] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4, h. 75 dan h. 105
[22] Muhammad Husain al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, (Kuwait: Dar al-I’tishom, 1978), h. 32. Lihat ‘Alâu al-Dîn Alî, al-Khâzin, vol. 3, h. 268.
[23] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 32-36. Lihat ‘Alâu al-Dîn Alî,  al-Khâzin, vol. 3, h. 269.
[24] Alâu al-Dîn Alî,  al-Khâzin, vol. 2, h. 1.
[25] Alâu al-Dîn Alî,  al-Khâzin, vol. 4, h. 341.
[26] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 30-37. Lihat pula dalam Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, pent Hasan Basri-Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar