Oleh: Ali Thaufan DS
Kunjungan itu sangat berkesan, yakni perjalanan saya (selanjutnya:
penulis) ke sebuah daerah di Provinsi Banten, Kabupaten Cilegon. Setiap mata
memandang memberi kesan: betapa kaya alam Banten, derap pembangunan yang
mengabaikan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), kesenjangan sosial, dan
“melek” politik “kaum” desa. Tulisan ini semata-mata catatan perjalanan penulis
saat menyusuri beberapa tempat di daerah Cilegon Banten. Dua hal yang menjadi
sorotan dari banyak hal yang penulis dapati, problem kesenjangan sosial dan
wawasan politik “kaum” desa.
Sesaat keluar pintu tol Cilegon Timur, penulis menyusuri
jalan arah Kecamatan Bojonegara. Asap dan debu benar-benar menjadi penganggu
perjalanan. Ditambah lagi beberapa ruas jalan yang berlubang, menambah siksa
perjalanan. Truk-truk besar mendominasi jalanan tersebut. Umumnya mengangkut
batu, pasir dan tanah. Ini yang penulis ketahui, disamping itu tentu ada banyak
lagi. Gambaran infrastruktur jalan memberikan kesan bahwa pemerintah setempat
memandang sebelah mata pembangunan jalan. Pemerintah menghiraukan keinginan
rakyat yang juga berhak mendapat fasilitas jalan yang baik
Setelah beberapa menit menikmati perjalanan penuh debu dan
jalan berlubang, penulis terkaget melihat beberapa bukit pegunungan yang
“keruk”. Pemandangan ini tentu bukan hal baru bagi penulis, kerena beberapa
tahun lalu, hal yang sama juga penulis dapati di Kabupaten Bandung Barat. Tentu,
perasaan emosi menyala dalam hati. Dari beberapa sumber informasi (warga),
bukit pengunungan itu dikeruk untuk membangun industri di wilayah itu juga. Sumber
lain lagi menginformasikan bahwa bukit tersebut dikeruk untuk pembangunan akses
jalan. Pengerukan bukit-bukit tersebut menyisakan tanda tanya, apakah mereka –para
pengeruk- sudah melakukan kajian feasibility studi sebelumnya. Atau,
hanya mengeruk demi menghasilkan rupiah dan menuruti nafsu keserakahan dunia.
Sementara di belahan mata memandang lainnya, penulis
mendapati banyak kemiskinan. Tidak secara rinci penulis mendapatkan data
tentang angka kemiskinan. Tetapi dapat dipastikan, bahwa angka kemiskinan masih
tinggi. Indikasi tersebut dapat penulis lihat dari: minimnya air bersih (sumur
air masih sulit), pendapatan penduduk dibawah UMR dan keterbatasan anak
melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan biaya. Setidaknya melalui tiga
indikator tersebut, penulis melihat bahwa ada kesenjangan sosial di Bojonegara.
Pada satu sisi, pembangunan industri banyak dilakukan, sementara sisi lain
kemiskinan tetap tak terelakkan.
Perjalanan penulis kemudian ampai pada Kampung Pekuncen. Kampung
kecil di sebuah bukit. Penulis singgah di sebuah rumah dan bercengkerama dengan
si empunya rumah. Sekali lagi penulis mereka terkaget saat kami membicarakan
isu-isu politik nasional, pemilihan presiden. Beberapa diantara mereka cukup
vokal dalam menganalisa kejadian-kejadian politik. Seorang diantaranya mengaku
mengetahui informasi politik dari televisi. Ia kemudian menganalisa dan membuat
pemetaan atas apa yang akan menjadi kebijakan pemimpin terpilih. Ya, tentu saja
satu dengan yang lain berbeda pendapat. Diskusi politik dengan “mamang-mamang”
dan bapak-bapak terbilang cukup dinamis. Penulis bahkan merasa atmosfer diskusi
laiknya di ruang-ruang seminar.
Ada pemandangan menarik yang menimbulkan pertanyaan dibenak
penulis. Penulis sedikit sekali mendapati spanduk capres-cawapres di kampung
tersebut dan beberapa kampung sekitarnya. Tentu, ini sangat berbeda dengan apa
yang penulis dapati seperti, katakanlah di Jakarta, Bogor, Tangerang Selatan. Saat
penulis tanyakan kenapa di kampung tersebut jarang sekali spanduk capres,
seorang pemuda menjawab dengan ringan “kami sedikit dan tidak diperhitungan
capres”.
Inilah “oleh-oleh” perjalanan singkat penulis di Cilegon. Dua
hal utama yang menjadi sorotan penulis adalah: pertama, kesenjangan sosial masih
menjadi “hantu” masyarakat Cilegon ditengah derap pembangunan industri. Kedua,
bahwa masyarakat desa juga “melek” politik. Mereka cukup memiliki kapasitas
berbicara soal peta politik nasional berkaitan dengan pilpres. Khusus untuk hal
ini, penulis memaknainya sebagai daya kritis yang akan menjelma pada kritisisme
pemerintahan yang despotik. Tentu saja, catatan tentang Cilegon ini adalah
bagian kecil. Tidak bisa mengeneralisasi Cilegon hanya dari catatan yang
singkat ini. Oleh karenanya, perlu ada perhatian untuk “menulis” dan bercerita tentang
Cilegon, karena kekayaan alamnya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar