Senin, 09 Juni 2014

Kesenjangan Sosial dan Kesadaran Politik (Buah Catatan Perjalanan ke Cilegon)

Oleh: Ali Thaufan DS

Kunjungan itu sangat berkesan, yakni perjalanan saya (selanjutnya: penulis) ke sebuah daerah di Provinsi Banten, Kabupaten Cilegon. Setiap mata memandang memberi kesan: betapa kaya alam Banten, derap pembangunan yang mengabaikan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), kesenjangan sosial, dan “melek” politik “kaum” desa. Tulisan ini semata-mata catatan perjalanan penulis saat menyusuri beberapa tempat di daerah Cilegon Banten. Dua hal yang menjadi sorotan dari banyak hal yang penulis dapati, problem kesenjangan sosial dan wawasan politik “kaum” desa.

Sesaat keluar pintu tol Cilegon Timur, penulis menyusuri jalan arah Kecamatan Bojonegara. Asap dan debu benar-benar menjadi penganggu perjalanan. Ditambah lagi beberapa ruas jalan yang berlubang, menambah siksa perjalanan. Truk-truk besar mendominasi jalanan tersebut. Umumnya mengangkut batu, pasir dan tanah. Ini yang penulis ketahui, disamping itu tentu ada banyak lagi. Gambaran infrastruktur jalan memberikan kesan bahwa pemerintah setempat memandang sebelah mata pembangunan jalan. Pemerintah menghiraukan keinginan rakyat yang juga berhak mendapat fasilitas jalan yang baik

Setelah beberapa menit menikmati perjalanan penuh debu dan jalan berlubang, penulis terkaget melihat beberapa bukit pegunungan yang “keruk”. Pemandangan ini tentu bukan hal baru bagi penulis, kerena beberapa tahun lalu, hal yang sama juga penulis dapati di Kabupaten Bandung Barat. Tentu, perasaan emosi menyala dalam hati. Dari beberapa sumber informasi (warga), bukit pengunungan itu dikeruk untuk membangun industri di wilayah itu juga. Sumber lain lagi menginformasikan bahwa bukit tersebut dikeruk untuk pembangunan akses jalan. Pengerukan bukit-bukit tersebut menyisakan tanda tanya, apakah mereka –para pengeruk- sudah melakukan kajian feasibility studi sebelumnya. Atau, hanya mengeruk demi menghasilkan rupiah dan menuruti nafsu keserakahan dunia.

Sementara di belahan mata memandang lainnya, penulis mendapati banyak kemiskinan. Tidak secara rinci penulis mendapatkan data tentang angka kemiskinan. Tetapi dapat dipastikan, bahwa angka kemiskinan masih tinggi. Indikasi tersebut dapat penulis lihat dari: minimnya air bersih (sumur air masih sulit), pendapatan penduduk dibawah UMR dan keterbatasan anak melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan biaya. Setidaknya melalui tiga indikator tersebut, penulis melihat bahwa ada kesenjangan sosial di Bojonegara. Pada satu sisi, pembangunan industri banyak dilakukan, sementara sisi lain kemiskinan tetap tak terelakkan.

Perjalanan penulis kemudian ampai pada Kampung Pekuncen. Kampung kecil di sebuah bukit. Penulis singgah di sebuah rumah dan bercengkerama dengan si empunya rumah. Sekali lagi penulis mereka terkaget saat kami membicarakan isu-isu politik nasional, pemilihan presiden. Beberapa diantara mereka cukup vokal dalam menganalisa kejadian-kejadian politik. Seorang diantaranya mengaku mengetahui informasi politik dari televisi. Ia kemudian menganalisa dan membuat pemetaan atas apa yang akan menjadi kebijakan pemimpin terpilih. Ya, tentu saja satu dengan yang lain berbeda pendapat. Diskusi politik dengan “mamang-mamang” dan bapak-bapak terbilang cukup dinamis. Penulis bahkan merasa atmosfer diskusi laiknya di ruang-ruang seminar.

Ada pemandangan menarik yang menimbulkan pertanyaan dibenak penulis. Penulis sedikit sekali mendapati spanduk capres-cawapres di kampung tersebut dan beberapa kampung sekitarnya. Tentu, ini sangat berbeda dengan apa yang penulis dapati seperti, katakanlah di Jakarta, Bogor, Tangerang Selatan. Saat penulis tanyakan kenapa di kampung tersebut jarang sekali spanduk capres, seorang pemuda menjawab dengan ringan “kami sedikit dan tidak diperhitungan capres”.


Inilah “oleh-oleh” perjalanan singkat penulis di Cilegon. Dua hal utama yang menjadi sorotan penulis adalah: pertama, kesenjangan sosial masih menjadi “hantu” masyarakat Cilegon ditengah derap pembangunan industri. Kedua, bahwa masyarakat desa juga “melek” politik. Mereka cukup memiliki kapasitas berbicara soal peta politik nasional berkaitan dengan pilpres. Khusus untuk hal ini, penulis memaknainya sebagai daya kritis yang akan menjelma pada kritisisme pemerintahan yang despotik. Tentu saja, catatan tentang Cilegon ini adalah bagian kecil. Tidak bisa mengeneralisasi Cilegon hanya dari catatan yang singkat ini. Oleh karenanya, perlu ada perhatian untuk “menulis” dan bercerita tentang Cilegon, karena kekayaan alamnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar