Senin, 12 Mei 2014

Pemikiran Ke-Tafsiran Al-Qur’ân dan Wacana Kontemporer Seputar Pemilihan Pemimpin (Membincang Pemilihan Umum di Indonesia)

Ali Thaufan DS

Abstract: How to be a good leader? This question often appears before the general elections. Issue about islamic leadership also raished in campaign. Moreover differences of religion was a target of black campaign. In Indonesia this cases often happens, for instance black campaign suffered Joko Widodo-Basuki T Purnama in general elections of Gavernor DKI Jakarta last years. How the al-Qur’an speaked at is problem? Many the thinkers of Muslim has been talk about it. This paper shows nothing wrong with non muslim leader with a good capacity of leader.

Pendahuluan
Setiap kali menjelang pemilihan pemimpin –pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati- masyarakat dipertontonkan upaya pencitraan kandidat calon tertentu. Antarsesama calon pemimpin menggunakan berbagai cara merebut simpati konstituen. Tidak jarang, tafsir-tafsir teks keagamaan pun dijadikan argumen guna memuluskan tujuannya. Isu-isu yang dilontarkan kerap bersinggungan dengan penafsiran al-Qur’ân. Dengan tafsir-tafsir “parsial” tersebut, satu calon kerap “menyerang” calon lainnya. Sebagai sebuah contoh, kasus kampanye Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu yang bernada SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan). Rhoma Irama yang saat itu menjadi juru kampanye pasangan Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli “menyerang” pasangan Joko Widodo-Basuki T Purnama (Ahok). Jokowi dianggap keturunan non muslim, sedangkan Ahok sendiri non muslim. Rhoma menyerang keduanya dengan menggunakan dalil al-Qur’ân sûrah al-Nisâ ayat 144.[1]
Ide tulisan tema ini muncul dari hasil diskusi antara penulis dengan Eva Nugraha (seorang Dosen Fak. Ushuluddin UIN Jakarta) saat mencermati perpolitikan dan perebutan kekuasaan di Indonesia (tahun 2014). Saat ini harus diakui bahwa partai politik berideologi Islam terkendala oleh: minimnya figur calon pemimpin dari seorang muslim; partai politik Islam yang “lesu”; serta perdebatan mengenai calon pemimpin muslim vis a vis non-muslim (atau paling tidak calon dari partai Islam dan nasionalis). Tentu, tema ini bukan sesuatu yang baru dalam dunia akademis yang memperdebatkan soal kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan.[2] Tetapi, tema ini selalu menarik perhatian terlebih dimusim-musim pemilihan pemimpin –baik Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati.
Karena pada saat masa kampanye kerap muncul “penafsir dadakan”, maka diperlukan reinterpretasi atas ayat-ayat kepemimpinan. Hal ini menjadi penting agar masyarakat dapat menghindari permusuhan antaragama yang disebabkan oleh pemilihan pemimpin. Tulisan ini mencoba memberi ulasan seputar wacana kepemimpian: bagaimana al-Qur’ân memandang kepemimpinan serta sistem pemerintahan yang baik?
Kepemimpinan dalam Islam
Istilah kepemimpinan dalam Islam merujuk pada term khalîfah, amîr, uli al-amri, imâm, sultân dan mulk. Mengenai pembahasan kepemimpian dalam Islam, penulis akan mengulas pandangan tokoh. Persoalan kepemimpinan dalam Islam, oleh Ibn Taimiyah didasarkan pada sûrah al-Nisâ ayat 58-59
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Menurut Ibn Taimiyah dengan mengutip pendapat Zamakhsyari, ayat ini turun pada saat penaklukan Makkah. Diceritakan, saat Nabi Muhammad menaklukkan Makkah, Nabi ingin melakukan salat di dalam Ka’bah. Tetapi, Uthmân ibn Thalhah, seorang yang menjaga ka’bah enggan memberikan kuncinya. Kemudian, ‘Ali ibn Abi Thâlib merebut darinya dan membuka pintu ka’bah agar Nabi dapat salat didalamnya. Setelah salat, Nabi mendapat wejangan dari pamannya, Abbas. Pamannya menyarankan agar kunci tersebut diserahkan kembali pada Uthmân agar ia yang mengurus ka’bah dan air minum bagi orang yang berhaji.
Menurut keterangan para ulama, lanjut Ibn Taimiyah, ayat ini (al-Nisâ: 58) menekankan sikap amanah bagi seorang pemimpin. Selain itu sikap adil juga mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Sedangkan ayat selanjutnya (al-Nisâ: 59) ditunjukkan pada orang yang dipimpin, agar senantiasa taat kepada pemimpin mereka yang adil. Tetapi jika pemimpin mereka melakukan kemaksiatan, maka haram hukumnya menaati pemimpin tersebut. Ibn Taimiyah juga berpesan kepada pemimpin pemerintahan agar memberikan tanggung jawab sebuah urusan kepada orang yang memiliki kapasitas dalam urusan tersebut.[3]
Ibn Taimiyah menyinggung orang yang meminta jatah jabatan kepemimpinan tertentu. Menurutnya, hal ini bukanlah sesuatu yang diajarkan Nabi. Ia mengutip beberapa hadis Nabi, seperti:
“Bahwa ada satu kaum yang datang kepada beliau, maka mereka menuntut kepada Nabi suatu jabatan pimpinan; lantas Nabi berkata: ‘bahwa kami tidak akan menyerahkan jabatan pimpinan ini kepada siapa yang menuntutnya’”.
Dalam hadis lainnya:
“Hai Abd al-Rahman, jangan sekali-kali engkau menuntut pemimpin suatu jabatan, maka jika jabatan itu diberikan kepada engkau tanpa diminta, engkau dapat pertolongan atasnya; dan jika jabatan itu diberikan kepada engkau karena diminta, engkau diberi atasnya.”
Pemilihan pemimpin yang ditawarkan oleh Ibn Taimiyah adalah didasarkan kecakapan calon pemimpin tersebut. Tidak dibenarkan pengangkatan pemimpin karena alasan-alasan seperti: kerabat, hubungan pertemanan, pertalian kedaerahan, dan karena penyuapan. Jika pemilihan tidak didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, maka sama halnya dengan pengkhianatan kepada Allah.[4]
Dalam potret pemerintahan di Indonesia, meminta jabatan tertentu oleh sebagian orang menjadi warna dari kerjasama antarpartai (koalisi) saat mengajukan calon pemimpin (presiden). Kemudian, presiden terpilih membantu membagi jabatan-jabatan tersebut. Setelah terpilih sebagai pemimpin (presiden) ia kemudian membagi jabatan kepada pihak-pihak terdekatnya untuk menjalankan roda pemerintahan.
Kriteria lain sebagai seorang pemimpin adalah kerendahan hati dan membuka diri untuk menerima koreksi. Berkenaan akan hal itu, Basri mengutip pidato Abû Bakr saat ia dilantik menjadi pemimpin,
“Wahai manusia, Sesungguhnya aku telah dipilih untuk memegang kekuasaan atasmu, padahal aku bukan yang terbaik diantaramu; maka jika aku berlaku baik (dalam menjalankan kekuasaan) bantuhlah aku; tetapi jika salah, betulkan. Kejujuran adalah amanah, dusta adalah khianat...”[5]
Sedangkan Al-Mawardi, tokoh yang memberi perhatian pada sistem tata negara memberikan syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin (imamah/khalifah), yakni antara lain: 1). Adil dalam bertindak. 2). Memiliki keluasan ilmu dan mampu berijtihad. 3). Sehat jasmani, yang dengannya ia dapat melakukan tindakan-tindakan dalam kepemimpinan. 4). Sehat organ tubuh (tidak cacat). 5). Pengalaman kepemimpinan. 6). Memiliki keberanian untuk melindungi negara dan melawan musuh.[6]
Selanjutnya menurut al-Mawardi, seperti dikutip Bakir Ihsan bahwa kepemimpinan politik yang kuat harus didasarkan pada aspek spiritual. Ia tidak bisa mengandalkan aspek akal semata. Oleh karena itu setiap persoalan yang menyangkut kepemimpinan dan kekuasaan, selain berdasarkan pada petunjuk-petunjuk rasional, juga membutuhkan petunjuk ajaran agama.[7] Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin selain ia harus cakap dan pandai, ia juga harus berpegang pada nilai-nilai agama.
Dilema Sistem Pemerintahan dan Hubungan Agama-Negara
Fokus para pemikir ke-tafsiran belakangan ini banyak tercurah pada isu-isu seputar hak asasi manusia, hak-hak perempuan dan sistem pemerintah. Agaknya alasan ini dapat diterima, mengingat ketiga topik tersebut adalah kenyataan yang selalu dihadapi dalam masyarakat saat ini. Di bawah ini penulis sedikit mengulas diskursus tentang sistem pemerintahan dan hubungan agama-negara.
Dalam era modern ini, setidaknya ada dua bentuk sistem pemerintahan yang kerap menjadi perdebatan, yakni: sistem khilafah dan demokrasi. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah dianggap sebagai sistem yang paling benar dan berdasar pada ajaran Tuhan. Dasar al-Qur’an yang digunakan adalah sûrah al-An’âm: 57 (إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ). Pengusung jargon “kembali pada Khilafah” juga mendasarkan pendapatnya pada praktik sistem pemerintahan yang pernah dijalankan oleh Nabi dan masa Khulafâ al-Râshidîn.
Peristiwa pertemuan di Saqifah disinyalir sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah model pemerintahan khilafah. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat menggelar rembuk bersama untuk meletakkan dasar-dasar pemerintahan. Para sabahat pada awalnya tidak mengerti maksud dari perkumpulan tersebut. Hingga pada akhirnya, terpilihlah Abû Bakr menjadi khalîfah setelah melalui berbagai perdebatan.[8] Atas terbentuknya khilafah sebagai sistem pemerintahan, saat ini beberapa tokoh muslim dan beberapa organisasi masyarakat mendambakan model yang demikian. Mereka menyampaikan aspirasinya dalam banyak bentuk, termasuk media sosial (situs-situs internet).[9] Termasuk dalam kelompok ini adalah: Taqiu al-Din Nabhani, Dhiya al-Din al-Rais, Abu Bakar Ba’asyir, Ormas Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),[10] Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan banyak lagi lainnya.
Menurut Farid Wadjdi dan para pendukung sistem khilafah, setidaknya ada tujuh poin alasan kembali kepada sistem khilafah. Farid memaparkan sebagai berikut:
“... tidak ada alasan untuk tidak kembali menegakkan khilafah, karena: pertama, khilafah adalah tuntutan akidah dan syariat Islam; kedua, khilafah akan menyejahterakan rakyat; ketiga, khilafah akan menjamin keamanan rakyat; keempat, khilafah akan menjaga pertahanan serta keutuhan dan persatuan negeri-negeri Islam; kelima, khilafah akan memuliakan dan menjaga kehormatan wanita; keenam, khilafah akan melindungi orang-orang yang lemah dan non muslim; ketujuh, khilafah akan menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.”[11]
Wacana sistem pemerintahan dan pendirian negara Islam di Indonesia telah mengemuka sejak awal kemerdekaan. Saat itu, Sukarno mendapatkan desakan untuk mendirikan negara Islam. Salah satu tokoh yang gencar menyuarakan berdirinya negara Islam adalah M. Natsir. Ia perpandangan bahwa dengan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, maka nilai-nilai Islam akan mudah diaplikasikan dalam kehidupan.[12]
Penegakan khilafah atau negara Islam mendapat tantangan tokoh pro demokrasi semisal Ali Abdu al-Raziq[13] dan Asghar Ali Engineer.[14] Sementara di Indonesia sendiri, tokoh ataupun ormas tersebut antara lain: Abdurrahman Wahid (alm), Syafi’i Ma’arif,[15] Jaringan Islam Liberal (JIL) serta masih banyak lagi lainnya. Menurut aktivis pro demokrasi di Indonesia, demokrasi adalah sistem yang paling ideal dan mampu mengakomodir pluralitas yang ada di Indonesia. Pendukung sistem demokrasi beranggapan bahwa, sejatinya demokrasi telah dilakukan oleh Nabi. Pada beberapa aspek, demokrasi memiliki kesamaan dengan sistem kepemimpinan Nabi, Syura. Dalam banyak hal, Nabi selalu mengajak sahabat bermusyawarah dalam pemecahan suatu masalah.[16]
Kegagalan demokrasi dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang terbaik di Indonesia ditenggarai oleh adanya oknum yang memanfaatkan demokrasi dan ormas yang menunggangi demokrasi demi kepentingan mereka.[17] Oleh sebab itu, demokrasi tidak akan pernah berjalan mulus sesuai teori-teori yang selama ini “di-Tuhan-kan” oleh pengagum demokrasi.
Wacana pendirian khilafah dan negara Islam, oleh Amir Piliang tidak lah tepat dalam konteks Indonesia. Terdapat beberapa aspek mendasar yang harus diperhatikan, yakni menyangkut nilai-nilai kehidupan, ideologi, relasi perbedaan, identitas serta jarak budaya. Hal ini ditambah lagi citra Islam yang kian buruk. Stigma Islam sebagai agama radikal, ekstrim dan bahkan teroris terlanjur melekat.[18]
Perbincangan mengenai sistem pemerintahan serta hubungan agama dan negara, menurut Ritauddin bertolak pada tiga paradigma. Pertama, paradigma integralistik yang memandang Islam sebagai ajaran yang sempurna. Oleh sebab itu praktiknya dalam pemerintahan menjadi sebuah keharusan. Beberapa eksponen pada paradigma ini adalah: Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Rasyid Ridha. Kedua, paradigma sekularistik yang dengan tegas menolak hubungan antara agama dan negara. Menurut pandangan kelompok sekularistik, bahwa Nabi tidak diutus untuk mendirikan sebuah negara. Ali Abdu al-Raziq menjadi salah satu motor kelompok ini. Ketiga, paradigma simbiotik, pandangan bahwa agama dan negara saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara sebagai menjamin hak-hak keberagamaan. Demikian pula negara yang membutuhkan ajaran moral suatu agama.[19]
Bagaimana Pemilihan Pemimpin yang “Islami”?
Sebelum mengulas hal-hal terkait pemilihan pemimpin yang “islami”, penulis akan menyajikan sedikit wacana tentang hubungan muslim dengan non muslim. Hal ini karena –hubungnan muslim dengan non muslim- sangat berkaitan dengan pemilihan pemimpin. Diskursus hubungan muslim dengan non muslim menjadi pembahasan yang menarik perhatian pemikir Islam. Kaitannya dengan hal ini, Abdullah Saeed mengulas pemikiran Rashid Ghannushi yang menyoroti kehidupan muslim dengan non muslim serta posisi non muslim di Tunisia. Menurut Ghannushi, seperti dijelaskan Saeed, non muslim yang menjadi pemegang jabatan tertentu harus memenuhi kualifikasi dan keahlian. Namun demikian, terdapat posisi penting yang tidak diperkenankan untuk non muslim, yakni jabatan seperti panglima perang.[20]
Dalam konteks Indonesia kekinian, agaknya sangat sulit menemukan pemimpin ideal sebagaimana dijelaskan di atas (sub judul: Kepemimpinan dalam Islam). Bahkan pemimpin dari kalangan tokoh Islam sekalipun. Harapan mayoritas umat Islam kepada partai berideologi Islam untuk menghadirkan figur ideal tampaknya hanya sekedar utopi. Secara bersamaan, sentimen-sentimen keagamaan muncul menjadi “hantu” pemilu di Indonesia. Sentimen tersebut terkadang berujung pada perdebatan pemilihan pemimpin muslim atau non-muslim –atau sekedar pemimpin dari kelompok islamis dan nasionalis.[21] Misalnya, sentimen keagamaan dan bahkan etnis dalam kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta pasangan Joko Widodo-Basuki (Ahok).
Al-Qur’ân memberi isyarat untuk pemilihan pemimpin. Dalam banyak ayat, al-Qur’ân menegaskan agar tidak memilih pemimpin kafir. Berikut beberapa ayat yang dijadikan landasan haramnya memilih pemimpin kafir.
“Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.[22]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.[23]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”[24]
Selain tiga ayat di atas, masih banyak lagi ayat lainnya yang bernada penolakan pemimpin non-muslim, yaitu: al-Maidah: 57, al-Mumtahanah: 1, al-Mujadalah: 22, al-Nisâ: 144, al-Anfâl: 73, al-Taubah: 71, al-Taubah: 8, Ali Imrân: 100, al-Nisâ: 141.
Ayat-ayat ini yang mendasari beberapa ulama klasik hingga kontemporer melakukan penolakan pemimpin non muslim. Diantara penafsir dan ulama yang tegas menolak pemimpin non muslim adalah: al-Jashâsh, al-Zamakhsyarî,[25] al-Alûsi, al-Arabî, Ibn Kathîr,[26] al-Qurtubî, Wahbah Zuhaili, al-Thaba’thaba’î, al-Mawardî, Abdu al-Wahab Khalâf, Taqîyu al-Dîn Nabhanî dan lain-lain.[27]
Pertanyan yang kemudian muncul adalah: bagaimana dalam konteks keindonesiaan yang notabene bukan negara Islam? Sementara pada saat yang sama, terdapat calon atau pemimpin pemerintahan non muslim yang memiliki kapabilitas dari calon yang muslim.
Untuk menjawabnya, perlu reinterpretasi atas ayat-ayat yang secara teks sangat menolak pemimipin non muslim. Ayat-ayat seputar hubungan antar iman dan pemerintahan oleh Abdullah Saeed termasuk dalam kategori ayat ethicho-legal, ayat yang telah mapan menjadi hukum Islam selama beberapa abad. Untuk dapat mendudukkan ayat tersebut dalam konteks kekinian, perlu pemahaman konteks saat ayat tersebut diwahyukan. Sehingga “spirit” ayat tersebut dapat dikontekstualisasikan saat ini.
Beberapa pemikir muslim “liberal” memberikan jawaban serta memposisikan diri berseberangan dengan ulama penentang pemimpin non muslim. Mereka antara lain: Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Ahmed al-Na’im, Thariq al-Bishri, Asghar Ali Enginer, Abdu al-Rahman al-Kawaqibi, Muhammad Said al-Asmawi. Menurut al-Asmawi, sebagaimana dikutip Mujar, ayat larangan pemilih pemimpin non muslim adalah ayat Madaniyah yang bersifat temporer. Saat turun ayat tersebut, umat Islam sedang berperang. Ketika dalam sebuah negara tidak ada perang antara muslim dengan non muslim, maka ayat tersebut bisa tidak diterapkan.
Selanjutnya, Mujar mengutip pendapat Abdullah Ahmed al-Na’im yang berpendapat bahwa penolakan pemimpin non muslim yang didasarkan sebuah ayat adalah merupakan produk penafsiran. Ulama klasik menentang pemimpin non muslim didasarkan pada aspek histori saat mereka menafsirkan ayat tersebut. Tentu sangat berbeda penafsirannya dengan yang ada saat ini. Lebih lanjut, Na’im menawarkan sûrah al-Hujurât ayat 13 untuk menunjukkan persamaan universal antar manusia, termasuk didalamnya hak-hak politik.[28]
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Namun demikian, penulis menggarisbawahi dan mengkritik atas penyataan Mujar yang menyimpulkan bahwa ayat pelarangan pemimpin non muslim adalah tidak relevan pada masa sekarang. Penulis mengacu pada pendapat bahwa tidak ada ayat yang dihapus atau bahkan tidak relevan. Menurut penulis, ayat tersebut bisa tidak berlaku pada suatu tempat –katakanlah Indonesia-, tetapi tetap berlaku pada tempat yang lain.
Kepemimpinan dalam Islam kerap dikaitkan dengan term amîr. Seorang ‘amîr harus ditaati secara mutlak sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisâ: 59 (taatilah Allah dan Rasulnya, dan taatilah uli al-amri diantara kamu). Al-Amîr oleh mayoritas ulama dipahami sebagai seorang ahli agama. Namun, menurut Salman Ghanim amîr dalam konteks ayat ini bukanlah bukanlah seorang ahli agama yang saleh. Lebih lanjut, Salman menjelaskan bahwa kesalehan seseorang amat sulit diukur. Ia kemudian menegaskan bahwa amîr dalam ayat diatas adalah seorang yang memiliki kecakapan memimpin, sekalipun bukan ahli agama.[29] Berpijak dari pernyataan Salman, pemimpin tidak harus beragama Islam. Tetapi yang lebih penting adalah kemampuan pemimpin tersebut untuk membuat perubahan-perubahan yang lebih baik dalam sebuah negara.
Dalam konteks Indonesia, karena telah menerapkan Pancasila sebagai dasar negara dan tidak ada peperangan (fisik) antara muslim dan non muslim, maka tidak ada “ke-haram-an” memilih pemimpin non muslim. Tentu saja, dengan pertimbangan bahwa calon atau pemimpin non muslim tersebut memenuhi kriteria pemimpin ideal. Menurut Asghar seperti dikutip Mujar, Rasul pernah berbangga lahir pada masa raja Nushirwan karena ia raja non muslim yang adil.[30] Sementara itu, Ibn Taimiyah memberi penjelasan dengan mengutip Ahmad ibn Hanbal yang menyatakan pemimpin perang fasik yang kuat lebih baik dari pada pemimpin muslim yang lemah.[31] Pemimpin ideal untuk Indonesia adalah pemimpin yang tidak mengkhianati “Kontrak Politik”, Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemimpin yang manusia sempurna.[32]
Penutup
Kesimpulan dari tulisan ini adalah: perhatian penulis atas sedikit perilaku dari banyaknya perilaku buruk para pemimpin atau stakeholder pemerintah Indonesia. Pertama pemilihan pemimpin yang kerap diwarnai isu SARA dan diskriminasi kelompok minoritas. Sebetulnya, isu dikotomi pemimpin semacam ini –islamis, nasionalis dan non muslim- tidak perlu diangkat. Hal ini akan menyulut permusuhan antaragama. Dalam konteks keislaman dan keindonesiaan, diskriminasi semacam itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan ideologi Pancasila.
Kedua, adalah soal kerjasama partai (koalisi) yang berakhir pada pembagian jatah kursi kabinet. Jelas, hal ini sangat jauh dari tradisi Islam. Sebagaimana hadis yang dikutip Ibn Taimiyah. Koalisi sejatinya membuat cacat sistem demokrasi, karena jika ada koalisi maka berarti ada oposisi.






[1] Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?. Isi ceramah Rhoma Irama dapat dibaca di situs: http://metro.sindonews.com/read/2012/08/09/63/664388/ini-isi-ceramah-rhoma-yang-diduga-berbau-sara. Diakses pada (21/04/2014) pukul 13.22 WIB
[2] Abdullah Saeed memasukkan ayat-ayat pemerintahan kedalam kategori ayat ethico-legal. Ethico-legal adalah ayat-ayat yang banyak menyita perhatian pemikir Islam. Sebagai produk pemikiran, maka lahirlah kemudian apa yang disebut dengan Islamic Law (hukum Islam). Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’an Towards a Contemporery Approach, (New York: Routladge, 2006), h. 1
[3] Ibn Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, pent Firdaus AN, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), h. 9. Lihat penafsiran al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 2, h. 94
[4] Ibn Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 16
[5] Bisri Iba Asghari, Solusi al-Qur’ân Tentang Problem Sosial, Politik, Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 109
[6] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, pent. Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. 6
[7] A. Bakir Ihsan, “Referensi Pemikiran Politik NU”, dalam Jurnal Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. XI, No 2, 2009, h. 170
[8] Dhiya al-Din al-Rais, Teori Politik Islam, pent. Abu Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 14
[9] Dari penelitian penulis, beberapa situs media sosial yang menurut penulis gencar “mengkampanyekan” berdirinya khilafah Islam, seperti: http://hizbut-tahrir.or.id/. http://www.eramuslim.com/. http://alismatsul.mw.lt/. http://www.dakwatuna.com/. http://www.hidayatullah.com/. http://muslim.or.id/. www.suara-islam.com. dan lainnya.
[10] Abu Bakar Ba’asyir dan juga ormas MMI bahkan menjadikan upaya tegakknya negara Islam atau khilafah sebagai salah satu dakwahnya. Lihat dalam: Irfan Suryahardi Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, (Yogyakarta: Wihda Press, 2003) h. 61
[11] Farid Wadjdi, “Mengapa Harus Khilafah?” dalam Farid Wadjdi-Shiddiq al-Jawi (dkk), Ilusi Negara Demokrasi, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 347.
[12] Ide Natsir tersebut hanya menemui kebuntuan, mengingat Sukarno telah memutuskan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Sebetulnya antara Islam dan Pancasila tidak ada pertentangan. Pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa nilai-nilai agama tidak dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara. Karenannya, Sukarno dengan lantang menyatakan kepada umat Islam agar membanjiri parlemen, sehingga keputusan  di parlemen memiliki ruh Islam. Lihat: M. Sidi Ritauddin, “Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, dalam Jurnal Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. XI, No 2, 2009, h. 155
[13] Tulisannya yang kontroversial dengan judul “Risalah Bukan Pemerintahan Agama Bukan Negara”. Lihat dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, pent. Bahrul Ulum-Heri Junaiedi, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), h. 3. Pemikirannya mengundang reaksi dari Dhiya al-Din al-Rais yang kemudian menerbitkan buku “al-Islâm wa al-Khalîfah fî al-‘Ashr al-Hadîts (Naqd Kitâb “al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”). Buku ini telah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, ‘Ali Abdu al-Raziq”. Salah satu kritik Rais kepada Raziq adalah saat ia menganggap bahwa sistem khilafah sama sekali tidak berdasar dari Islam. Bahkan Raziq menganjurkan penghapusan sistem tersebut. Lihat: Dhiya al-Din al-Rais, “Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, ‘Ali Abdu al-Raziq”, pent Afif Muhammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), h. xxi.
[14] Asghar dikenal sebagai pendukung model negara “sekuler-liberal”. Ia tegas menolak sistem pemerintahan khilafah (negara Islam). Menurutnya, al-Qur’an  tidak mewajibkan pemeluknya mendirikan sebuah negara Islam. Ia bahkan menuding pendirian negara khilafah Islam adalah hasil konstruksi sejarah para ahli hukum Islam. Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, pent. Tim FORSTUDIA, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 132.
[15] Alasan penolakan kedua tokoh ini karena khilafah mempunyai misi menggeser Pancasila dari ideologi bangsa Indonesia. Lihat: Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (LibForAll Foundation, 2009), h. 18
[16] Rahmat Solihin, “Referensi Islam dalam Memilih Pemimpin”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol II nomer 1 Tahun 2009, h. 79
[17] Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, h. 158
[18] Yasraf Amir Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Bandung: Mizan, 2011), h. 93
[19] M. Sidi Ritauddin, “Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, h. 147
[20] Abdullah Saeed, “Rethinking Citizenship Rigth of Non-Muslims in A Islamic State: Rashid Ghannushi contribution to the evolving debate”, dalam Islam and Cristian-Mushim Relation, vol 10, no 3, 1999, h. 317
[21] Sebagai sebuah catatan, bahwa hingga Februari 2013 terdapat beberapa pejabat daerah (Gubernur) non muslim (beragama Kristen). Mereka adalah: Frans Lebu Raya (Nusa Tenggara Timur), Cornelis (Kalimantan Barat), Agustinus Teras Narang (Kalimantan Tengah), Sinyo Harry Sarundajang (Sulawesi Utara), Karel Albert Ralahalu (Maluku), Abraham Octavianus Atururi (Papua Barat). Sumber: http://pastorgarrytengker.blogspot.com/2013/02/daftar-gubernur-kristen-di-indonesia.html. Diakses pada (22/4/2014). pukul 17.52 wib
[22] Sûrah ‘Âli Imrân : 28
[23] Sûrah al-Mâidah: 51
[24] Sûrah ‘Âli Imrân: 118
[25] Lihat penafsiran al-Zamakhsyari dalam menafsirkan surah al-Maidah ayat 51 dalam al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 2, h. 249
[26] Lihat penafsiran Ibn Kathîr dalam menafsirkan surah Ali Imran ayat 28, 100 dan 118 yang menjelaskan larangan melilih pemimpin yang kafir dan menjalin hubungan dengan mereka. Abu Fidâ al-Hâfid ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2011), Vol 1, h. 325, 351 dan 359.
[27] Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol II nomer 1 Tahun 20
09, h. 92-93
[28] Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”, h. 103-105
[29] Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, pent. Kamran Asad Irsyadi (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 68. Lihat juga Muhammad Khalaf Allah, “Kekuasaan Legislatif” dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, h. 28.
[30] Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”, h. 105
[31] Ibn Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 16
[32] M. Sidi Ritauddin, “Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, h. 161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar