Ali
Thaufan DS
Abstract: How to be a good leader? This question often appears
before the general elections. Issue about islamic leadership also raished in
campaign. Moreover differences of religion was a target of black campaign. In
Indonesia this cases often happens, for instance black campaign suffered Joko
Widodo-Basuki T Purnama in general elections of Gavernor DKI Jakarta last years.
How the al-Qur’an speaked at is problem? Many the thinkers of Muslim has been
talk about it. This paper shows nothing wrong with non muslim leader with a good
capacity of leader.
Pendahuluan
Setiap
kali menjelang pemilihan pemimpin –pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota dan
Bupati- masyarakat dipertontonkan upaya pencitraan kandidat calon tertentu. Antarsesama
calon pemimpin menggunakan berbagai cara merebut simpati konstituen. Tidak
jarang, tafsir-tafsir teks keagamaan pun dijadikan argumen guna memuluskan
tujuannya. Isu-isu yang dilontarkan kerap bersinggungan dengan penafsiran al-Qur’ân.
Dengan tafsir-tafsir “parsial” tersebut, satu calon kerap “menyerang” calon
lainnya. Sebagai sebuah contoh, kasus kampanye Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli pada
pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu yang bernada SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan).
Rhoma Irama yang saat itu menjadi juru kampanye pasangan Fauzi Bowo-Nahrowi
Ramli “menyerang” pasangan Joko Widodo-Basuki T Purnama (Ahok). Jokowi dianggap
keturunan non muslim, sedangkan Ahok sendiri non muslim. Rhoma menyerang
keduanya dengan menggunakan dalil al-Qur’ân sûrah al-Nisâ ayat 144.[1]
Ide
tulisan tema ini muncul dari hasil diskusi antara penulis dengan Eva Nugraha
(seorang Dosen Fak. Ushuluddin UIN Jakarta) saat mencermati perpolitikan dan
perebutan kekuasaan di Indonesia (tahun 2014). Saat ini harus diakui bahwa
partai politik berideologi Islam terkendala oleh: minimnya figur calon pemimpin
dari seorang muslim; partai politik Islam yang “lesu”; serta perdebatan
mengenai calon pemimpin muslim vis a vis non-muslim (atau paling tidak
calon dari partai Islam dan nasionalis). Tentu, tema ini bukan sesuatu yang
baru dalam dunia akademis yang memperdebatkan soal kepemimpinan dalam sebuah
pemerintahan.[2] Tetapi,
tema ini selalu menarik perhatian terlebih dimusim-musim pemilihan pemimpin
–baik Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati.
Karena
pada saat masa kampanye kerap muncul “penafsir dadakan”, maka diperlukan reinterpretasi
atas ayat-ayat kepemimpinan. Hal ini menjadi penting agar masyarakat dapat
menghindari permusuhan antaragama yang disebabkan oleh pemilihan pemimpin. Tulisan
ini mencoba memberi ulasan seputar wacana kepemimpian: bagaimana al-Qur’ân
memandang kepemimpinan serta sistem pemerintahan yang baik?
Kepemimpinan
dalam Islam
Istilah
kepemimpinan dalam Islam merujuk pada term khalîfah, amîr, uli al-amri, imâm,
sultân dan mulk. Mengenai pembahasan kepemimpian dalam Islam, penulis akan
mengulas pandangan tokoh. Persoalan kepemimpinan dalam Islam, oleh Ibn Taimiyah
didasarkan pada sûrah al-Nisâ ayat 58-59
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Menurut
Ibn Taimiyah dengan mengutip pendapat Zamakhsyari, ayat ini turun pada saat
penaklukan Makkah. Diceritakan, saat Nabi Muhammad menaklukkan Makkah, Nabi ingin
melakukan salat di dalam Ka’bah. Tetapi, Uthmân ibn Thalhah, seorang yang
menjaga ka’bah enggan memberikan kuncinya. Kemudian, ‘Ali ibn Abi Thâlib
merebut darinya dan membuka pintu ka’bah agar Nabi dapat salat didalamnya.
Setelah salat, Nabi mendapat wejangan dari pamannya, Abbas. Pamannya
menyarankan agar kunci tersebut diserahkan kembali pada Uthmân agar ia yang
mengurus ka’bah dan air minum bagi orang yang berhaji.
Menurut
keterangan para ulama, lanjut Ibn Taimiyah, ayat ini (al-Nisâ: 58) menekankan
sikap amanah bagi seorang pemimpin. Selain itu sikap adil juga mutlak dimiliki
oleh seorang pemimpin. Sedangkan ayat selanjutnya (al-Nisâ: 59) ditunjukkan
pada orang yang dipimpin, agar senantiasa taat kepada pemimpin mereka yang
adil. Tetapi jika pemimpin mereka melakukan kemaksiatan, maka haram hukumnya
menaati pemimpin tersebut. Ibn Taimiyah juga berpesan kepada pemimpin
pemerintahan agar memberikan tanggung jawab sebuah urusan kepada orang yang
memiliki kapasitas dalam urusan tersebut.[3]
Ibn
Taimiyah menyinggung orang yang meminta jatah jabatan kepemimpinan tertentu. Menurutnya,
hal ini bukanlah sesuatu yang diajarkan Nabi. Ia mengutip beberapa hadis Nabi,
seperti:
“Bahwa ada satu
kaum yang datang kepada beliau, maka mereka menuntut kepada Nabi suatu jabatan
pimpinan; lantas Nabi berkata: ‘bahwa kami tidak akan menyerahkan jabatan
pimpinan ini kepada siapa yang menuntutnya’”.
Dalam
hadis lainnya:
“Hai Abd
al-Rahman, jangan sekali-kali engkau menuntut pemimpin suatu jabatan, maka jika
jabatan itu diberikan kepada engkau tanpa diminta, engkau dapat pertolongan
atasnya; dan jika jabatan itu diberikan kepada engkau karena diminta, engkau
diberi atasnya.”
Pemilihan
pemimpin yang ditawarkan oleh Ibn Taimiyah adalah didasarkan kecakapan calon
pemimpin tersebut. Tidak dibenarkan pengangkatan pemimpin karena alasan-alasan
seperti: kerabat, hubungan pertemanan, pertalian kedaerahan, dan karena
penyuapan. Jika pemilihan tidak didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, maka
sama halnya dengan pengkhianatan kepada Allah.[4]
Dalam
potret pemerintahan di Indonesia, meminta jabatan tertentu oleh sebagian orang
menjadi warna dari kerjasama antarpartai (koalisi) saat mengajukan calon
pemimpin (presiden). Kemudian, presiden terpilih membantu membagi
jabatan-jabatan tersebut. Setelah terpilih sebagai pemimpin (presiden) ia
kemudian membagi jabatan kepada pihak-pihak terdekatnya untuk menjalankan roda
pemerintahan.
Kriteria
lain sebagai seorang pemimpin adalah kerendahan hati dan membuka diri untuk
menerima koreksi. Berkenaan akan hal itu, Basri mengutip pidato Abû Bakr saat
ia dilantik menjadi pemimpin,
“Wahai manusia,
Sesungguhnya aku telah dipilih untuk memegang kekuasaan atasmu, padahal aku
bukan yang terbaik diantaramu; maka jika aku berlaku baik (dalam menjalankan
kekuasaan) bantuhlah aku; tetapi jika salah, betulkan. Kejujuran adalah amanah,
dusta adalah khianat...”[5]
Sedangkan
Al-Mawardi, tokoh yang memberi perhatian pada sistem tata negara memberikan
syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin (imamah/khalifah), yakni antara
lain: 1). Adil dalam bertindak. 2). Memiliki keluasan ilmu dan mampu
berijtihad. 3). Sehat jasmani, yang dengannya ia dapat melakukan
tindakan-tindakan dalam kepemimpinan. 4). Sehat organ tubuh (tidak cacat). 5).
Pengalaman kepemimpinan. 6). Memiliki keberanian untuk melindungi negara dan melawan
musuh.[6]
Selanjutnya
menurut al-Mawardi, seperti dikutip Bakir Ihsan bahwa kepemimpinan politik yang
kuat harus didasarkan pada aspek spiritual. Ia tidak bisa mengandalkan aspek
akal semata. Oleh karena itu setiap persoalan yang menyangkut kepemimpinan dan kekuasaan,
selain berdasarkan pada petunjuk-petunjuk rasional, juga membutuhkan petunjuk ajaran
agama.[7]
Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin selain ia harus cakap dan pandai, ia
juga harus berpegang pada nilai-nilai agama.
Dilema
Sistem Pemerintahan dan Hubungan Agama-Negara
Fokus
para pemikir ke-tafsiran belakangan ini banyak tercurah pada isu-isu seputar hak
asasi manusia, hak-hak perempuan dan sistem pemerintah. Agaknya alasan ini
dapat diterima, mengingat ketiga topik tersebut adalah kenyataan yang selalu dihadapi
dalam masyarakat saat ini. Di bawah ini penulis sedikit mengulas diskursus
tentang sistem pemerintahan dan hubungan agama-negara.
Dalam
era modern ini, setidaknya ada dua bentuk sistem pemerintahan yang kerap
menjadi perdebatan, yakni: sistem khilafah dan demokrasi. Sebagai sebuah sistem
pemerintahan, khilafah dianggap sebagai sistem yang paling benar dan berdasar
pada ajaran Tuhan. Dasar al-Qur’an yang digunakan adalah sûrah al-An’âm: 57 (إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ).
Pengusung jargon “kembali pada Khilafah” juga mendasarkan pendapatnya pada
praktik sistem pemerintahan yang pernah dijalankan oleh Nabi dan masa Khulafâ
al-Râshidîn.
Peristiwa
pertemuan di Saqifah disinyalir sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah model
pemerintahan khilafah. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat menggelar
rembuk bersama untuk meletakkan dasar-dasar pemerintahan. Para sabahat pada awalnya
tidak mengerti maksud dari perkumpulan tersebut. Hingga pada akhirnya,
terpilihlah Abû Bakr menjadi khalîfah setelah melalui berbagai perdebatan.[8]
Atas terbentuknya khilafah sebagai sistem pemerintahan, saat ini beberapa tokoh
muslim dan beberapa organisasi masyarakat mendambakan model yang demikian.
Mereka menyampaikan aspirasinya dalam banyak bentuk, termasuk media sosial
(situs-situs internet).[9]
Termasuk dalam kelompok ini adalah: Taqiu al-Din Nabhani, Dhiya al-Din al-Rais,
Abu Bakar Ba’asyir, Ormas Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),[10]
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan banyak lagi lainnya.
Menurut
Farid Wadjdi dan para pendukung sistem khilafah, setidaknya ada tujuh poin
alasan kembali kepada sistem khilafah. Farid memaparkan sebagai berikut:
“... tidak ada
alasan untuk tidak kembali menegakkan khilafah, karena: pertama, khilafah
adalah tuntutan akidah dan syariat Islam; kedua, khilafah akan menyejahterakan
rakyat; ketiga, khilafah akan menjamin keamanan rakyat; keempat, khilafah akan
menjaga pertahanan serta keutuhan dan persatuan negeri-negeri Islam; kelima,
khilafah akan memuliakan dan menjaga kehormatan wanita; keenam, khilafah akan
melindungi orang-orang yang lemah dan non muslim; ketujuh, khilafah akan
menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.”[11]
Wacana
sistem pemerintahan dan pendirian negara Islam di Indonesia telah mengemuka
sejak awal kemerdekaan. Saat itu, Sukarno mendapatkan desakan untuk mendirikan
negara Islam. Salah satu tokoh yang gencar menyuarakan berdirinya negara Islam
adalah M. Natsir. Ia perpandangan bahwa dengan menjadikan Indonesia sebagai negara
Islam, maka nilai-nilai Islam akan mudah diaplikasikan dalam kehidupan.[12]
Penegakan
khilafah atau negara Islam mendapat tantangan tokoh pro demokrasi semisal Ali
Abdu al-Raziq[13] dan
Asghar Ali Engineer.[14]
Sementara di Indonesia sendiri, tokoh ataupun ormas tersebut antara lain: Abdurrahman
Wahid (alm), Syafi’i Ma’arif,[15]
Jaringan Islam Liberal (JIL) serta masih banyak lagi lainnya. Menurut aktivis
pro demokrasi di Indonesia, demokrasi adalah sistem yang paling ideal dan mampu
mengakomodir pluralitas yang ada di Indonesia. Pendukung sistem demokrasi
beranggapan bahwa, sejatinya demokrasi telah dilakukan oleh Nabi. Pada beberapa
aspek, demokrasi memiliki kesamaan dengan sistem kepemimpinan Nabi, Syura. Dalam
banyak hal, Nabi selalu mengajak sahabat bermusyawarah dalam pemecahan suatu
masalah.[16]
Kegagalan
demokrasi dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang terbaik di Indonesia
ditenggarai oleh adanya oknum yang memanfaatkan demokrasi dan ormas yang
menunggangi demokrasi demi kepentingan mereka.[17]
Oleh sebab itu, demokrasi tidak akan pernah berjalan mulus sesuai teori-teori
yang selama ini “di-Tuhan-kan” oleh pengagum demokrasi.
Wacana
pendirian khilafah dan negara Islam, oleh Amir Piliang tidak lah tepat dalam
konteks Indonesia. Terdapat beberapa aspek mendasar yang harus diperhatikan,
yakni menyangkut nilai-nilai kehidupan, ideologi, relasi perbedaan, identitas
serta jarak budaya. Hal ini ditambah lagi citra Islam yang kian buruk. Stigma
Islam sebagai agama radikal, ekstrim dan bahkan teroris terlanjur melekat.[18]
Perbincangan
mengenai sistem pemerintahan serta hubungan agama dan negara, menurut Ritauddin
bertolak pada tiga paradigma. Pertama, paradigma integralistik yang memandang
Islam sebagai ajaran yang sempurna. Oleh sebab itu praktiknya dalam
pemerintahan menjadi sebuah keharusan. Beberapa eksponen pada paradigma ini
adalah: Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Rasyid Ridha. Kedua, paradigma
sekularistik yang dengan tegas menolak hubungan antara agama dan negara. Menurut
pandangan kelompok sekularistik, bahwa Nabi tidak diutus untuk mendirikan
sebuah negara. Ali Abdu al-Raziq menjadi salah satu motor kelompok ini. Ketiga,
paradigma simbiotik, pandangan bahwa agama dan negara saling membutuhkan. Agama
membutuhkan negara sebagai menjamin hak-hak keberagamaan. Demikian pula negara
yang membutuhkan ajaran moral suatu agama.[19]
Bagaimana
Pemilihan Pemimpin yang “Islami”?
Sebelum
mengulas hal-hal terkait pemilihan pemimpin yang “islami”, penulis akan
menyajikan sedikit wacana tentang hubungan muslim dengan non muslim. Hal ini
karena –hubungnan muslim dengan non muslim- sangat berkaitan dengan pemilihan
pemimpin. Diskursus hubungan muslim dengan non muslim menjadi pembahasan yang
menarik perhatian pemikir Islam. Kaitannya dengan hal ini, Abdullah Saeed
mengulas pemikiran Rashid Ghannushi yang menyoroti kehidupan muslim dengan non
muslim serta posisi non muslim di Tunisia. Menurut Ghannushi, seperti dijelaskan
Saeed, non muslim yang menjadi pemegang jabatan tertentu harus memenuhi
kualifikasi dan keahlian. Namun demikian, terdapat posisi penting yang tidak
diperkenankan untuk non muslim, yakni jabatan seperti panglima perang.[20]
Dalam
konteks Indonesia kekinian, agaknya sangat sulit menemukan pemimpin ideal
sebagaimana dijelaskan di atas (sub judul: Kepemimpinan dalam Islam). Bahkan
pemimpin dari kalangan tokoh Islam sekalipun. Harapan mayoritas umat Islam
kepada partai berideologi Islam untuk menghadirkan figur ideal tampaknya hanya
sekedar utopi. Secara bersamaan, sentimen-sentimen keagamaan muncul menjadi “hantu”
pemilu di Indonesia. Sentimen tersebut terkadang berujung pada perdebatan
pemilihan pemimpin muslim atau non-muslim –atau sekedar pemimpin dari kelompok
islamis dan nasionalis.[21]
Misalnya, sentimen keagamaan dan bahkan etnis dalam kasus pemilihan Gubernur
DKI Jakarta pasangan Joko Widodo-Basuki (Ahok).
Al-Qur’ân
memberi isyarat untuk pemilihan pemimpin. Dalam banyak ayat, al-Qur’ân
menegaskan agar tidak memilih pemimpin kafir. Berikut beberapa ayat yang
dijadikan landasan haramnya memilih pemimpin kafir.
“Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin
dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.[22]
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.[23]
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang
di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan
bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar
lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.”[24]
Selain
tiga ayat di atas, masih banyak lagi ayat lainnya yang bernada penolakan
pemimpin non-muslim, yaitu: al-Maidah: 57,
al-Mumtahanah: 1, al-Mujadalah: 22, al-Nisâ: 144, al-Anfâl: 73, al-Taubah: 71,
al-Taubah: 8, Ali Imrân: 100, al-Nisâ: 141.
Ayat-ayat ini yang mendasari beberapa ulama klasik
hingga kontemporer melakukan penolakan pemimpin non muslim. Diantara penafsir
dan ulama yang tegas menolak pemimpin non muslim adalah: al-Jashâsh,
al-Zamakhsyarî,[25] al-Alûsi,
al-Arabî, Ibn Kathîr,[26]
al-Qurtubî, Wahbah Zuhaili, al-Thaba’thaba’î, al-Mawardî, Abdu al-Wahab Khalâf,
Taqîyu al-Dîn Nabhanî dan lain-lain.[27]
Pertanyan
yang kemudian muncul adalah: bagaimana dalam konteks keindonesiaan yang
notabene bukan negara Islam? Sementara pada saat yang sama, terdapat calon atau
pemimpin pemerintahan non muslim yang memiliki kapabilitas dari calon yang
muslim.
Untuk
menjawabnya, perlu reinterpretasi atas ayat-ayat yang secara teks sangat
menolak pemimipin non muslim. Ayat-ayat seputar hubungan antar iman dan
pemerintahan oleh Abdullah Saeed termasuk dalam kategori ayat ethicho-legal,
ayat yang telah mapan menjadi hukum Islam selama beberapa abad. Untuk dapat
mendudukkan ayat tersebut dalam konteks kekinian, perlu pemahaman konteks saat
ayat tersebut diwahyukan. Sehingga “spirit” ayat tersebut dapat dikontekstualisasikan
saat ini.
Beberapa
pemikir muslim “liberal” memberikan jawaban serta memposisikan diri berseberangan
dengan ulama penentang pemimpin non muslim. Mereka antara lain: Mahmud Muhammad
Thaha, Abdullah Ahmed al-Na’im, Thariq al-Bishri, Asghar Ali Enginer, Abdu
al-Rahman al-Kawaqibi, Muhammad Said al-Asmawi. Menurut al-Asmawi, sebagaimana
dikutip Mujar, ayat larangan pemilih pemimpin non muslim adalah ayat Madaniyah
yang bersifat temporer. Saat turun ayat tersebut, umat Islam sedang berperang. Ketika
dalam sebuah negara tidak ada perang antara muslim dengan non muslim, maka ayat
tersebut bisa tidak diterapkan.
Selanjutnya,
Mujar mengutip pendapat Abdullah Ahmed al-Na’im yang berpendapat bahwa
penolakan pemimpin non muslim yang didasarkan sebuah ayat adalah merupakan
produk penafsiran. Ulama klasik menentang pemimpin non muslim didasarkan pada
aspek histori saat mereka menafsirkan ayat tersebut. Tentu sangat berbeda
penafsirannya dengan yang ada saat ini. Lebih lanjut, Na’im menawarkan sûrah
al-Hujurât ayat 13 untuk menunjukkan persamaan universal antar manusia,
termasuk didalamnya hak-hak politik.[28]
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Namun
demikian, penulis menggarisbawahi dan mengkritik atas penyataan Mujar yang
menyimpulkan bahwa ayat pelarangan pemimpin non muslim adalah tidak relevan
pada masa sekarang. Penulis mengacu pada pendapat bahwa tidak ada ayat yang
dihapus atau bahkan tidak relevan. Menurut penulis, ayat tersebut bisa tidak
berlaku pada suatu tempat –katakanlah Indonesia-, tetapi tetap berlaku pada
tempat yang lain.
Kepemimpinan
dalam Islam kerap dikaitkan dengan term amîr. Seorang ‘amîr harus
ditaati secara mutlak sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisâ: 59
(taatilah Allah dan Rasulnya, dan taatilah uli al-amri diantara kamu). Al-Amîr
oleh mayoritas ulama dipahami sebagai seorang ahli agama. Namun, menurut Salman
Ghanim amîr dalam konteks ayat ini bukanlah bukanlah seorang ahli agama
yang saleh. Lebih lanjut, Salman menjelaskan bahwa kesalehan seseorang amat
sulit diukur. Ia kemudian menegaskan bahwa amîr dalam ayat diatas adalah
seorang yang memiliki kecakapan memimpin, sekalipun bukan ahli agama.[29]
Berpijak dari pernyataan Salman, pemimpin tidak harus beragama Islam. Tetapi
yang lebih penting adalah kemampuan pemimpin tersebut untuk membuat
perubahan-perubahan yang lebih baik dalam sebuah negara.
Dalam
konteks Indonesia, karena telah menerapkan Pancasila sebagai dasar negara dan tidak
ada peperangan (fisik) antara muslim dan non muslim, maka tidak ada “ke-haram-an”
memilih pemimpin non muslim. Tentu saja, dengan pertimbangan bahwa calon atau
pemimpin non muslim tersebut memenuhi kriteria pemimpin ideal. Menurut Asghar
seperti dikutip Mujar, Rasul pernah berbangga lahir pada masa raja Nushirwan
karena ia raja non muslim yang adil.[30]
Sementara itu, Ibn Taimiyah memberi penjelasan dengan mengutip Ahmad ibn Hanbal
yang menyatakan pemimpin perang fasik yang kuat lebih baik dari pada pemimpin
muslim yang lemah.[31]
Pemimpin ideal untuk Indonesia adalah pemimpin yang tidak mengkhianati “Kontrak
Politik”, Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemimpin yang manusia
sempurna.[32]
Penutup
Kesimpulan
dari tulisan ini adalah: perhatian penulis atas sedikit perilaku dari banyaknya
perilaku buruk para pemimpin atau stakeholder pemerintah Indonesia. Pertama pemilihan
pemimpin yang kerap diwarnai isu SARA dan diskriminasi kelompok minoritas.
Sebetulnya, isu dikotomi pemimpin semacam ini –islamis, nasionalis dan non
muslim- tidak perlu diangkat. Hal ini akan menyulut permusuhan antaragama. Dalam
konteks keislaman dan keindonesiaan, diskriminasi semacam itu sangat
bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan ideologi Pancasila.
Kedua,
adalah soal kerjasama partai (koalisi) yang berakhir pada pembagian jatah kursi
kabinet. Jelas, hal ini sangat jauh dari tradisi Islam. Sebagaimana hadis yang
dikutip Ibn Taimiyah. Koalisi sejatinya membuat cacat sistem demokrasi, karena
jika ada koalisi maka berarti ada oposisi.
[1] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang
mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?”.
Isi ceramah Rhoma Irama dapat dibaca di situs: http://metro.sindonews.com/read/2012/08/09/63/664388/ini-isi-ceramah-rhoma-yang-diduga-berbau-sara. Diakses pada (21/04/2014) pukul 13.22 WIB
[2] Abdullah Saeed
memasukkan ayat-ayat pemerintahan kedalam kategori ayat ethico-legal. Ethico-legal
adalah ayat-ayat yang banyak menyita perhatian pemikir Islam. Sebagai produk
pemikiran, maka lahirlah kemudian apa yang disebut dengan Islamic Law (hukum
Islam). Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’an Towards a
Contemporery Approach, (New York: Routladge, 2006), h. 1
[3] Ibn Taimiyah, Pedoman
Islam Bernegara, pent Firdaus AN, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), h. 9.
Lihat penafsiran al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl
wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998),
vol. 2, h. 94
[4] Ibn Taimiyah, Pedoman
Islam Bernegara, h. 16
[5] Bisri Iba
Asghari, Solusi al-Qur’ân Tentang Problem Sosial, Politik, Budaya,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 109
[6] Al-Mawardi, al-Ahkam
al-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam,
pent. Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. 6
[7] A. Bakir
Ihsan, “Referensi Pemikiran Politik NU”, dalam Jurnal Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu
Ushuluddin, vol. XI, No 2, 2009, h. 170
[8] Dhiya al-Din
al-Rais, Teori Politik Islam, pent. Abu Hayyie al-Kattani, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), h. 14
[9] Dari penelitian
penulis, beberapa situs media sosial yang menurut penulis gencar “mengkampanyekan”
berdirinya khilafah Islam, seperti: http://hizbut-tahrir.or.id/. http://www.eramuslim.com/.
http://alismatsul.mw.lt/.
http://www.dakwatuna.com/.
http://www.hidayatullah.com/.
http://muslim.or.id/.
www.suara-islam.com. dan
lainnya.
[10] Abu Bakar
Ba’asyir dan juga ormas MMI bahkan menjadikan upaya tegakknya negara Islam atau
khilafah sebagai salah satu dakwahnya. Lihat dalam: Irfan Suryahardi Awwas, Dakwah
dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, (Yogyakarta: Wihda Press, 2003) h. 61
[11] Farid Wadjdi, “Mengapa
Harus Khilafah?” dalam Farid Wadjdi-Shiddiq al-Jawi (dkk), Ilusi Negara
Demokrasi, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 347.
[12] Ide Natsir tersebut
hanya menemui kebuntuan, mengingat Sukarno telah memutuskan untuk menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara dan tidak menjadikan Indonesia sebagai negara
Islam. Sebetulnya antara Islam dan Pancasila tidak ada pertentangan. Pemisahan antara
agama dan negara tidak berarti bahwa nilai-nilai agama tidak dapat diterapkan
dalam kehidupan bernegara. Karenannya, Sukarno dengan lantang menyatakan kepada
umat Islam agar membanjiri parlemen, sehingga keputusan di parlemen memiliki ruh Islam. Lihat: M.
Sidi Ritauddin, “Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, dalam
Jurnal Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. XI, No 2, 2009, h. 155
[13] Tulisannya
yang kontroversial dengan judul “Risalah Bukan Pemerintahan Agama Bukan
Negara”. Lihat dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, pent. Bahrul Ulum-Heri Junaiedi,
(Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), h. 3. Pemikirannya mengundang reaksi dari
Dhiya al-Din al-Rais yang kemudian menerbitkan buku “al-Islâm wa al-Khalîfah
fî al-‘Ashr al-Hadîts (Naqd Kitâb “al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”). Buku ini
telah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Islam dan Khilafah:
Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, ‘Ali Abdu al-Raziq”.
Salah satu kritik Rais kepada Raziq adalah saat ia menganggap bahwa sistem
khilafah sama sekali tidak berdasar dari Islam. Bahkan Raziq menganjurkan
penghapusan sistem tersebut. Lihat: Dhiya al-Din al-Rais, “Islam dan
Khilafah: Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, ‘Ali Abdu
al-Raziq”, pent Afif Muhammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), h. xxi.
[14] Asghar dikenal
sebagai pendukung model negara “sekuler-liberal”. Ia tegas menolak sistem
pemerintahan khilafah (negara Islam). Menurutnya, al-Qur’an tidak mewajibkan pemeluknya mendirikan sebuah
negara Islam. Ia bahkan menuding pendirian negara khilafah Islam adalah hasil
konstruksi sejarah para ahli hukum Islam. Asghar Ali Engineer, Islam Masa
Kini, pent. Tim FORSTUDIA, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 132.
[15] Alasan
penolakan kedua tokoh ini karena khilafah mempunyai misi menggeser Pancasila
dari ideologi bangsa Indonesia. Lihat: Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara
Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (LibForAll
Foundation, 2009), h. 18
[16] Rahmat
Solihin, “Referensi Islam dalam Memilih Pemimpin”, dalam Jurnal Konstitusi
PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol II nomer 1 Tahun 2009, h. 79
[17] Abdurrahman
Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, h. 158
[18] Yasraf Amir
Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Bandung: Mizan,
2011), h. 93
[19] M. Sidi Ritauddin,
“Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, h. 147
[20] Abdullah
Saeed, “Rethinking Citizenship Rigth of Non-Muslims in A Islamic State: Rashid
Ghannushi contribution to the evolving debate”, dalam Islam and
Cristian-Mushim Relation, vol 10, no 3, 1999, h. 317
[21] Sebagai sebuah
catatan, bahwa hingga Februari 2013 terdapat beberapa pejabat daerah (Gubernur)
non muslim (beragama Kristen). Mereka adalah: Frans Lebu Raya (Nusa Tenggara Timur), Cornelis
(Kalimantan Barat), Agustinus Teras Narang
(Kalimantan Tengah), Sinyo Harry Sarundajang (Sulawesi Utara), Karel Albert
Ralahalu (Maluku), Abraham Octavianus Atururi (Papua Barat). Sumber: http://pastorgarrytengker.blogspot.com/2013/02/daftar-gubernur-kristen-di-indonesia.html.
Diakses pada (22/4/2014). pukul 17.52 wib
[22] Sûrah ‘Âli Imrân : 28
[23] Sûrah
al-Mâidah: 51
[24] Sûrah ‘Âli Imrân: 118
[25] Lihat
penafsiran al-Zamakhsyari dalam menafsirkan surah al-Maidah ayat 51 dalam al-Kasysyâf
‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl,
(Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 2, h. 249
[26] Lihat
penafsiran Ibn Kathîr dalam menafsirkan surah Ali Imran ayat 28, 100 dan 118
yang menjelaskan larangan melilih pemimpin yang kafir dan menjalin hubungan
dengan mereka. Abu Fidâ al-Hâfid ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2011), Vol 1, h. 325, 351 dan 359.
[27] Mujar Ibn
Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum
Islam”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol
II nomer 1 Tahun 20
09, h. 92-93
[28] Mujar Ibn
Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum
Islam”, h. 103-105
[29] Muhammad
Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme,
pent. Kamran Asad Irsyadi (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 68. Lihat juga Muhammad
Khalaf Allah, “Kekuasaan Legislatif” dalam Charles Kurzman (ed), Wacana
Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, h. 28.
[30] Mujar Ibn
Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum
Islam”, h. 105
[31] Ibn Taimiyah, Pedoman
Islam Bernegara, h. 16
[32] M. Sidi Ritauddin,
“Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, h. 161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar