Oleh:
Ali Thaufan DS
“Jancuk,
isok opo koen?”. Terdengar teriakan itu saat diskusi yang tiba-tiba memanas
menyoal capres 2014. Awalnya diskusi berlangsung “sehat”, tidak ada otot saraf
yang tegang. Tetapi tiba-tiba suasana itu menjadi keruh karena masing-masing
peserta mempertahankan argument untuk membela capres yang diidolakan. Maha Suci
Tuhan yang memiliki segala isi bumi termasuk manusia yang “bandel”.
Deklarasi
para capres diwarnai dengan pemberitaan sisi “putih” dan “hitam”. Artinya,
selalu ada sisi baik dan buruk yang diungkap oleh mereka yang pro dan kontra
atas pencapresan seseorang. No one is perfect, sangatlah tepat menjawab
anggapan baik dan buruk seorang capres. Tulisan ini hadir dari “kekecewaan”
penulis melihat kampaye kotor dan bahkan penuh “ke-najis-an” yang selama ini
menjadi “sampah” media. Tidak ada yang patut diapresiasi dari semua kampaye
tersebut. Semua atas nama politik yang dapat menghalalkan segala cara; atas
nama kebebasan menyampaikan aspirasi; dan atas nama capres yang diidamkan. Jika
“diiyakan” hal yang demikian, hancurlah tanah nusantara ini.
Penulis
mencermati hujatan terhadap para capres seperti Joko Widodo (PDIP), Prabowo
Subianto (Gerindra) dan Aburizal Bakri (Golkar) yang terlalu berlebihan. Joko dianggap
“antek” Cina dan dalam menjalankan jabatan Gubernur Jakarta hanya memamerkan
kebohongan belaka. Komunikasi Joko yang saat ini dibangun dengan kedutaan luar
negeri juga dipahami secara parsial. Yakni: Joko akan tunduk pada asing. Prabowo
dianggap sebagai penculik yang, sampai hari ini intens diperdebatkan. Tak kalah
menariknya, Aburizal Bakri yang dianggap “Pembawa Bencana” masyarakat sekitar
Lapindo. Semua itu hanya sebagian kecil dari hujatan masing-masing pendukung
capres tertentu.
Stigma
negatif capres terus dan selalu dimunculkan guna mendiskriminasikannya. Stigma
ini pula yang membutakan pengakuan atas prestasi capres. Model kepemimpinan
Joko yang terjun langsung ke masyarakat akar rumput, penulis anggap sebagai
prestasi untuk saat ini. Hal ini mengingat, pola kepemimpinan para pemimpin
atau elit di Indonesia yang cenderung eksklusif dan terkesan high class.
Pola ini yang kemudian dipatahkan oleh Joko. Hadirnya Joko menjadi penawar
kerinduan rakyat yang selama ini diiming-iming dengan ungkapan “klo aku jadi
pemimpinmu aku akan terjun ke rakyat untuk penyelesaian masalah”.
Prabowo,
mantan Pangkostrad dengan segudang pengalaman ini punya banyak prestasi yang
dilupakan. Ia seorang ahli inteligen handal yang dipunyai Indonesia. Kemampuannya
ini akan sangat berharga jika digunakan untuk menjaga keutuhan NKRI. Ia juga
keturunan seorang ekonom, Sumitro yang tentu saja bakatnya mengalir dalam jiwa
Prabowo. Karenanya, ia gigih untuk menerapkan model ekonomi kerakyatan untuk
memandirikan Indonesia.
Ical
atau sapaan akrab Aburizal Bakrie pun demikian, ia konglomerat asli dasar
Indonesia. Selama ini, deretan orang kaya papan atas selalu dihiasi muka-muka
Tionghoa. Hal itu harus diakui, terkadang membuat geram. Karenannya, hadirnya
Ical sebagai konglomerat “made in” Indonesia harus diapresiasi. Ia juga
kacap soal urusan ekonomi dan mampu merumuskan “kesejahteraan Indonesia 2045”. Ulasan
ini adalah sedikit dari banyaknya prestasi para capres. Penulis tidak bisa
mengatakan bahwa mereka baik atau tidak baik sebagai capres, karena hal itu
belum teruji.
Persoalan
yang menjadi sorotan tulisan ini sebetulnya bukan banyak atau sedikitnya
prestasi para capres. Tetapi ulah para “fans-fans” mereka yang bisa dibilang “sadis”.
Toh, para “fans” penghujat tersebut tidak lebih baik. Kalau hanya menjadi
penghujat, tentu derajatnya akan sangat rendah. Untuk apa membuat “sampah” yang
mengotori media sosial? Bukannya itu akan menjadi legacy pola kampanye politik
yang amoral. Apakah tidak lebih baik memberikan sumbangan pendidikan moral
berpolitik yang baik. “’asa an takrahu syai’an wahua khairu lakum wa ‘asa an
tuhibbu syai’an wahua syar lakum”.
Tulisan
ini juga mementahkan cara pandang “parsial” penghujat yang beranggapan bahwa
para capres saat ini cacat moral. Jika memang benar adanya mereka cacat moral,
untuk melawannya harus menggunakan cara-cara bermoral pula. Bukan cara “serampangan”
yang mengabaikan moralitas. Perlu diinggat, bahwa masyarakat nusantara mempunyai
kearifan lokal yang menjunjung nilai-nilai moral.
Perlu
penulis sampaikan bahwa penggunaan judul dengan kata “Jancuk” bukan lah berarti
sesuatu yang “Jorok”. Ini adalah ungkapan untuk melawan kejahatan yang
dilakukan oleh fans-fans capres tertentu. Jancuk yang penulis maksud sekaligus
ungkapan kekecewaan karena hal utama yang paling mendasar bagi manusia yakni budi
dan moral, telah dinodai. Ungkapan Jancuk yang penulis gunakan disini menggunakan
“Epistemologi Jancuk” yang ditawarkan Kyai Emha Ainun Nadjib. Selanjutnya,
penulis juga menyoroti bahwa demokrasi ini sudah tidak sehat dan harus segera
diperbaiki. Penulis kemudian memahami bahwa ini –fase domokrasi tak sehat- adalah
tahap ujian bagi siapa saja yang besar hatinya untuk menjadi seorang pemimpin yang
tangguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar