Senin, 12 Mei 2014

“Jancuk”, Kalian Para Penghujat

Oleh: Ali Thaufan DS

Jancuk, isok opo koen?”. Terdengar teriakan itu saat diskusi yang tiba-tiba memanas menyoal capres 2014. Awalnya diskusi berlangsung “sehat”, tidak ada otot saraf yang tegang. Tetapi tiba-tiba suasana itu menjadi keruh karena masing-masing peserta mempertahankan argument untuk membela capres yang diidolakan. Maha Suci Tuhan yang memiliki segala isi bumi termasuk manusia yang “bandel”.

Deklarasi para capres diwarnai dengan pemberitaan sisi “putih” dan “hitam”. Artinya, selalu ada sisi baik dan buruk yang diungkap oleh mereka yang pro dan kontra atas pencapresan seseorang. No one is perfect, sangatlah tepat menjawab anggapan baik dan buruk seorang capres. Tulisan ini hadir dari “kekecewaan” penulis melihat kampaye kotor dan bahkan penuh “ke-najis-an” yang selama ini menjadi “sampah” media. Tidak ada yang patut diapresiasi dari semua kampaye tersebut. Semua atas nama politik yang dapat menghalalkan segala cara; atas nama kebebasan menyampaikan aspirasi; dan atas nama capres yang diidamkan. Jika “diiyakan” hal yang demikian, hancurlah tanah nusantara ini.

Penulis mencermati hujatan terhadap para capres seperti Joko Widodo (PDIP), Prabowo Subianto (Gerindra) dan Aburizal Bakri (Golkar) yang terlalu berlebihan. Joko dianggap “antek” Cina dan dalam menjalankan jabatan Gubernur Jakarta hanya memamerkan kebohongan belaka. Komunikasi Joko yang saat ini dibangun dengan kedutaan luar negeri juga dipahami secara parsial. Yakni: Joko akan tunduk pada asing. Prabowo dianggap sebagai penculik yang, sampai hari ini intens diperdebatkan. Tak kalah menariknya, Aburizal Bakri yang dianggap “Pembawa Bencana” masyarakat sekitar Lapindo. Semua itu hanya sebagian kecil dari hujatan masing-masing pendukung capres tertentu.

Stigma negatif capres terus dan selalu dimunculkan guna mendiskriminasikannya. Stigma ini pula yang membutakan pengakuan atas prestasi capres. Model kepemimpinan Joko yang terjun langsung ke masyarakat akar rumput, penulis anggap sebagai prestasi untuk saat ini. Hal ini mengingat, pola kepemimpinan para pemimpin atau elit di Indonesia yang cenderung eksklusif dan terkesan high class. Pola ini yang kemudian dipatahkan oleh Joko. Hadirnya Joko menjadi penawar kerinduan rakyat yang selama ini diiming-iming dengan ungkapan “klo aku jadi pemimpinmu aku akan terjun ke rakyat untuk penyelesaian masalah”.

Prabowo, mantan Pangkostrad dengan segudang pengalaman ini punya banyak prestasi yang dilupakan. Ia seorang ahli inteligen handal yang dipunyai Indonesia. Kemampuannya ini akan sangat berharga jika digunakan untuk menjaga keutuhan NKRI. Ia juga keturunan seorang ekonom, Sumitro yang tentu saja bakatnya mengalir dalam jiwa Prabowo. Karenanya, ia gigih untuk menerapkan model ekonomi kerakyatan untuk memandirikan Indonesia.

Ical atau sapaan akrab Aburizal Bakrie pun demikian, ia konglomerat asli dasar Indonesia. Selama ini, deretan orang kaya papan atas selalu dihiasi muka-muka Tionghoa. Hal itu harus diakui, terkadang membuat geram. Karenannya, hadirnya Ical sebagai konglomerat “made in” Indonesia harus diapresiasi. Ia juga kacap soal urusan ekonomi dan mampu merumuskan “kesejahteraan Indonesia 2045”. Ulasan ini adalah sedikit dari banyaknya prestasi para capres. Penulis tidak bisa mengatakan bahwa mereka baik atau tidak baik sebagai capres, karena hal itu belum teruji.

Persoalan yang menjadi sorotan tulisan ini sebetulnya bukan banyak atau sedikitnya prestasi para capres. Tetapi ulah para “fans-fans” mereka yang bisa dibilang “sadis”. Toh, para “fans” penghujat tersebut tidak lebih baik. Kalau hanya menjadi penghujat, tentu derajatnya akan sangat rendah. Untuk apa membuat “sampah” yang mengotori media sosial? Bukannya itu akan menjadi legacy pola kampanye politik yang amoral. Apakah tidak lebih baik memberikan sumbangan pendidikan moral berpolitik yang baik. “’asa an takrahu syai’an wahua khairu lakum wa ‘asa an tuhibbu syai’an wahua syar lakum”.

Tulisan ini juga mementahkan cara pandang “parsial” penghujat yang beranggapan bahwa para capres saat ini cacat moral. Jika memang benar adanya mereka cacat moral, untuk melawannya harus menggunakan cara-cara bermoral pula. Bukan cara “serampangan” yang mengabaikan moralitas. Perlu diinggat, bahwa masyarakat nusantara mempunyai kearifan lokal yang menjunjung nilai-nilai moral.


Perlu penulis sampaikan bahwa penggunaan judul dengan kata “Jancuk” bukan lah berarti sesuatu yang “Jorok”. Ini adalah ungkapan untuk melawan kejahatan yang dilakukan oleh fans-fans capres tertentu. Jancuk yang penulis maksud sekaligus ungkapan kekecewaan karena hal utama yang paling mendasar bagi manusia yakni budi dan moral, telah dinodai. Ungkapan Jancuk yang penulis gunakan disini menggunakan “Epistemologi Jancuk” yang ditawarkan Kyai Emha Ainun Nadjib. Selanjutnya, penulis juga menyoroti bahwa demokrasi ini sudah tidak sehat dan harus segera diperbaiki. Penulis kemudian memahami bahwa ini –fase domokrasi tak sehat- adalah tahap ujian bagi siapa saja yang besar hatinya untuk menjadi seorang pemimpin yang tangguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar