Oleh:
Ali Thaufan DS dan Ach. Baiquni S.Th.I
Pendahuluan
Ditengah
perkembangan dinamika persoalan keagamaan, heterogenitas atau keragaman
penafsiran seorang mufassir terhadap al-Qur’an sangat sulit dihindari.
Masing-masing mufassir menafsirkan al-Qur’an sesuai keilmuan yang
melatarbelakanginya; lingkungan tempatnya berada; dan mazhab yang dianut. Dengan
kata lain, penafsiran sungguh sangat subyektif. Hal ini, oleh Husain al-Dzahabî
dikatakan dapat memicu penyimpangan penafsiran al-Qur’an, karena mufassir
menafsirkan atas kehendaknya sendiri. Bahkan terkadang menafikan kaidah-kaidah
penafsiran. Oleh sebab itu untuk dapat membaca orientasi penyimpangan
penafsiran al-Qur’an, dibutuhkan pengetahuan, yakni apa yang disebut al-Dakhîl
fi Tafsîr. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Ibrahim Abdu Rahman
Khalifah melalui karyanya yang berjudul al-Dakhîl fi Tafsîr.[1]
Tulisan
ini ingin menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan al-Dakhîl fi Tafsîr yang
meliputi: Pengertian al-Dakhîl dan al-Tafsîr; Macam-macam al-Dakhîl dalam
al-Qur’an; Signifikansi unsur-unsur luar untuk menjelaskan al-Qur’an;
Unsur-unsur yang digunakan menjelaskan al-Qur’an
Pengertian
al-Dakhîl dan al-Tafsîr
Sebelum
menjelaskan al-Dakhîl fî Tafsîr, penulis merasa perlu untuk memberikan
pengertian kedua term tersebut. Secara leksikal, al-Dakhîl mempunyai ragam
makna. Al-Dakhîl berasal dari kata “da-kha-la” yang bisa berarti masuk, memasuki,
aib, kata yang asing, tamu, penyakit dan banyak lagi makna yang bisa
dikeluarkan dari kata yang berakar dari da-kha-la tersebut –tentu setelah
mengalami perubahan wazan. Al-Dakhîl yang berarti kata asing yang masuk
kedalam bahasa Arab merujuk pada kalimat: Dakhâl kalimât a’jâmiyah.[2]
Selanjutnya,
penulis akan mengulas beberapa pengertian tafsir menurut pendapat beberapa ulama.
Menurut al-Zarqanî, Tafsîr secara bahasa adalah sesuatu yang menerangkan dan
menjelaskan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”
Sedang
menurut istilah, Tafsîr adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an dengan menjelaskan
makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[3]
Menurut
Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan Tafsîr sebagai
ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri maupun tersusun dan makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[4]
Dari
dua pengertian di atas, penulis berkesimpulan bahwa istilah Dakhîl fî Tafsîr dalam
konteks penafsiran al-Qur’an adalah kejanggalan yang ditemukan dalam penafsiran
seorang mufassir terhadap al-Qur’an. Kesimpulan ini juga merujuk pada
pengertian Dakhîl fi Tafsîr yang ditawarkan Ibrahim Syuaib yang menjelaskan:
“Pengertian al-dakhîl dalam Tafsîr adalah: Penafsiran Alquran dengan al-ma’tsûr
yang tidak sahih, penafsiran Alquran dengan al-ma’tsûr yang sahih tetapi tidak
memenuhi syarat-syarat penerimaan atau penafsiran Alquran dengan pendapat yang
salah”.[5]
Jauh sebelumnya, Ibrahim Khalifah telah memberikan
pengertian yang sepadan dengan pendapat di atas, yaitu: al-Dakhîl fi Tafsîr
ditinjau dari segi kebahasaan adalah suatu kecacatan dan kesalahan yang tidak
diungkapkan secara jelas yang terdapat dalam penafsiran al-Qur’an. Kemudian,
dalam kesamaran tersebut terdapat keserasian, maka perlu adanya usaha dengan
pemikiran yang serius.[6]
Macam-macam
al-Dakhîl dalam Tafsîr al-Qur’an
Terdapat
dua macam al-Dakhîl dalam Tafsîr al-Qur’an, yakni: al-Dakhîl al-Naqli dan al-Dakhîl
al-Ra’yi. Menurut Ibrahim Khalifah, ada sembilan bentuk Dakhîl al-Naqli fi Tafsîr,
yakni:
- Penafsiran al-Qur’an dengan hadis yang tidak
sahih, atau menggunakan hadis maudhu’ dan palsu.
- Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat sahabat
yang tidak sahih, atau menggunakan hadis mauquf dan palsu.
- Penafsiran yang bersumber dari sahabat.
Sedangkan sahabat tersebut mengambil sumber-sumber isrâiliyât.[7]
Jika sumber isrâiliyât tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan
hadis, maka pendapat tersebut dapat diterima. Tetapi jika pendapat tersebut
bertentangan, maka ia termasuk dalam Dakhîl fî Tafsîr.
- Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal
dari pendapat para sahabat, sedangkan pendapat tersebut saling
bertentangan dan sulit dicari pembenarannya.
- Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal
dari pendapat para tabiin, sedangkan sanad pendapat tersebut lemah.
- Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya kisah isrâiliyât
yang mursal. Meski sesuai dengan al-Qur’an dan hadis, tetapi jika
derajatnya tidak sampai pada hasan li ghairihi, maka tetap saja sebagai
Dakhîl fî Tafsîr.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan salah satu dari tiga
bentuk Ashîl al-Naqli yang pertama –bentuk Ashîl al-Naqli akan dijelaskan
di bawah-, tetapi terdapat pertentangan yang sulit dikompromikan.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan salah satu dari
tiga bentuk Ashîl al-Naqli yang terakhir –akan dijelaskan di bawah-,
tetapi terdapat pertentangan yang sulit dikompromikan.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan salah satu dari
bentuk Ashîl al-Naqli –akan dijelaskan di bawah-, tetapi terdapat
pertentangan yang sulit dikompromikan dengan bentuk Ashîl al-Naqli yang
lebih kuat.[8]
Sedangkan
bentuk Dakhîl al-Ra’yi fî Tafsîr, yakni
- Dakhîl dalam penafsiran karena tidak memenuhi
syarat ijtihad. Meskipun dilandasi dengan niat yang baik.
- Dakhîl dalam penafsiran karena mendistorsi dan
mengabaikan makna dhahir. Hal ini sebagaimana sering dilakukan kalangan
Mu’tazilah dan filosof muslim.
- Dakhîl dalam penafsiran karena hanya mengacu
pada makna lahir saja, sehingga menafikan logika. Hal ini banyak dilakukan
kalangan Musyabihah dan Majussimah.
- Dakhîl dalam penafsiran karena memaksakan makna
secara filosofis dan mendalam seperti yang dilakukan oleh kalangan sufi
falsafi.
- Dakhîl dalam penafsiran karena menonjolkan pada
sisi kebahasaan dan memaksakan untuk memaknai al-Qur’an. Hal ini sering
dilakukan oleh mufassir ahli bahasa.
- Dakhîl dalam penafsiran karena menonjolkan sisi
kemukjizatan al-Qur’an terutama dibidang ilmu pengetahuan. Hal ini banyak
dilakukan penafsir kontemporer
- Dakhîl dalam penafsiran karena pengingkaran
pada ayat-ayat al-Qur’an.[9]
Ibrahim Khalifah memberikan pandangan guna mengatasi Dakhîl
fi Tafsîr. Ia menyebutnya dengan al-Ashîl, yakni standar dalam menafsirkan
al-Qur’an agar terhindar dari penyimpangan penafsiran. Adapun bentuk Ashîl al-Naqli
adalah sebagai berikut:
- Penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an
- Penafsiran Al-Qur’an
dengan hadis yang layak dijadikan hujjah
- Penafsiran al-Qur’an
dengan riwayat sahabat yang setara dengan hadis marfu’
- Bila pada poin di atas
terdapat kontradiksi yang tidak dapat dikompromikan, maka digunakan
takwil.[10]
- Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal
dari pendapat para sahabat, meski pendapat tersebut saling bertentangan,
tetapi dapat ditarjih.
- Penafsiran al-Qur’an yang sumbernya berasal
dari ijmak para sahabat dan tidak ada pertentangan didalamnya.
- Penafsiran al-Qur’an dengan hadis mursal yang
setara dengan marfu’ dan yang menyampaikan adalah tokoh Tafsîr yang
belajar pada sahabat, atau terdapat hadis mursal lainnya yang menguatkan.[11]
Penjelasan
macam-macam Dakhîl fi Tafsîr di atas mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa
penafsiran yang tidak dilakukan sesuai kaidah Tafsîr akan menjurus pada kekeliruan
dan penyimpangan Tafsîr. Ibrahim Syuaib, dalam penelitiannya, menemukan
kekeliruan penafsiran dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik
Indonesia 2004. Penelitian yang ia batasi pada sepuluh juz pertama, menunjukkan
adanya 16 kekeliruan dalam Tafsîr Depag tersebut.
“...bahwa dalam
sepuluh juz pertama Alquran dan Tafsîrnya Departemen Agama RI Edisi 2004
terdapat enam belas dakhîl al-naqli. Perinciannya sebagai berikut:
(1).14 (empat belas) Tafsîr karena menggunakan hadis daif, yaitu pada
al-Baqarah ayat 73, 115, 186, 188, 221, 231, 271, Âli ‘Imrân ayat 185, al-Nisâ’
ayat 11, 54, al-An’âm ayat 159, al-A’râf ayat 126, 206, dan al-Anfâl ayat 25;
(2).1 (satu) Tafsîr karena menggunakan hadis palsu, yaitu pada al Taubah ayat
18; (3) 1 (satu) Tafsîr karena menggunakan pendapat sahabat yang kontradiksi
dengan hadis sahih, yaitu pada al-Baqarah ayat 221”.[12]
Berkenaan dengan kekeliruan dalam
penafsiran, Quraish Shihab menyebutkan ada beberapa faktor:
“Subyektifitas mufasir; kekeliruan dalam
menerapan metode atau kaidah;kedangkalan dalam ilmu-ilmu dan alat; kedangkalan
pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat; tidak memperhatikan konteks,
baik asbab nuzul, hubungan antarayat, maupun kondisi sosial; tidak
memperhatikan siapa pembicaradan terhadap siapa pembicaraan ditujukan”.[13]
Pembahasan mengenai penyimpangan
ini banyak disinggung oleh Husain al-Dzahabî dalam bukunya yang berjudul Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (buku ini telah terbit
dalam bahasa Indonesia dengan judul “Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran
al-Qur’an).[14]
Al-Dzahabî menilai bahwa penyimpangan berawal dari pengutipan riwayat dalam
menafsirkan al-Qur’an yang tidak disertai sanad. Selain itu, penggunaan
rasio (Tafsîr bi ra’yi) yang berlebihan dan menonjolkan mazhab tertentu juga
berimplikasi pada bentuk penyimpangan penafsiran. Lebih lanjut, al-Dzahabî
menyebutkan faktor kesalahan dalam Tafsîr bil ra’yi. Pertama, mufassir meyakini
salah satu makna yang ada dan menggunakan maknanya untuk menerangkan berbagai
lafaz al-Qur’an. Kedua, mufassir berusaha menafsirkan berdasarkan makna yang
dimengerti oleh penutur bahasa Arab semata tanpa memperhatikan siapa yang
berbicara dengan al-Qur’an (konteks).[15]
Ia menyoroti banyak penafsiran
yang keluar dari kaidah Tafsîr. Sebagai contoh pengutipan kisah isrâiliyât yang
terlalu berlebihan. Al-Dzahabî menyontohkan penafsiran al-Tsa’labi[16]
yang banyak mengutip kisah isrâiliyât, antara lain:
Penafsiran al-Tsa’labî ketika menafsirkan Sûrah al-Kahfi: 10. Al-Dzahabî
menilai penafsiran al-Tsa’labî terdapat kejanggalan dan deviasi. Hal itu
disebabkan al-Tsa’labî bercerita panjang lebar, dimana periwayatannya berasal
dari kisah isrâiliyyât.
إِذْ أَوَى
الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ…
“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu
mencari tempat berlindung…”
Dengan
mengutip cerita-cerita isrâiliyyât, al-Tsa’labî menjelaskan kisah
mengenai ashâb al-Kahfi dari riwayat Wahab bin Munabbih. Tsa’labi
menerangkan nama-nama ashâb al-Kahfi yaitu Miktsilimitsa, pemuda yang
paling besar dan pemimpin mereka, Imlikha, yang paling tampan, rajin beribadah
dan penuh semangat, Maktsitsa, Martus, Nawanus dan Kidastitanus. Sedangkan
anjing mereka bernama Qitmir.
Menurut
al-Dzahabî, Al-Tsa’labî mengutip riwayat dari Ka’ab, “Mereka menjumpai anjing
yang sakit-sakitan di jalan membuntuti mereka. Mereka –ashabul kahfi-
berkali-kali berusaha mengusir anjing tersebut. Kemudian anjing itu berdiri di
atas kedua kakinya dan menengadahkan tangan ke langit seperti orang berdoa
dengna mengatakan ‘kalian jangan takut pada saya. Saya adalah kekasih tercinta
Allah. Tidurlah, saya akan menjagamu…”.[17]
Tsa’labi
melanjutkan kisah tersebut kemudian mengatakan: “Konon nabi Muhammad memohon
untuk dipertemukan dengan pemuda-pemuda itu tetapi Allah menjawab ‘kamu tidak
akan dapat menemui mereka di dunia ini. Utuslah empat orang sahabatmu yang
terpilih menyampaikan risalahmu dan mengajak mereka untuk beriman’. Nabi
bertanya pada jibril: ‘bagaimana cara mengutus mereka?’. Jibrib menjawab:
‘bentangkan pakaianmu dan suruhlah Abû Bakar, Umar, Utsmân dan Ali untuk duduk
di empat ujungnya. Lalu undanglah hembusan angin yang dikuasai nabi Sulaiman.
Allah akan menyuruh untuk mematuhimu’. Nabi pun melaksanakan perintah jibril
tersebut. Maka datanglah hembusan angin yang kemudian membawa empat sahabat itu
ke mulut gua. Batu yang menutup pintu gua terbuka. Lalu mereka disambut oleh
anjing yang menggerak-gerakkan kepala dan mengerdipkan matanya begitu melihat
ke empat sahabat yang datang.
Dengan
isyarat kepala, anjing itu mempersilahkan masuk ke dalam gua. Mereka memasuki
gua dan mengucap salam. Kemudian Allah mengembalikan ruh ke dalam jasad ashâb
al-Kahfi itu. Mereka berdiri dan menjawab salam empat sahabat tersebut. Dan
setelah itu mereka membalas salam nabi dan masuk Islam, kemudian menitipkan
kembali salam kepada nabi. Setelah itu mereka kembali berbaring dan melanjutkan
tidur mereka.[18]
Kisah
isrâiliyyât lain yang dikutip oleh al-Tsa’labî dalam Sûrah al-Kahfi: 94
قَالُوا يَا ذَا
الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ
نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
“Mereka berkata: ‘Hai Dzulkarnain,
sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat
kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran
kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka”
Dalam
penafsirannya, al-Tsa’labî mengutip pendapat Wahab ibn Munabbih, Muqâtil ibn
Sulaiman dan Ka’ab al-Akhbâr. Lalu menerangkan panjang lebar mengenai Ya’jûd
dan Ma’jûd. Cerita tersebut agaknya kurang dapat diterima akal dan
sangat dekat dengan tahayul.[19]
Selain
menunjukkan kekeliruan al-Tsa’labi dalam penafsiran, al-Dzahabî juga
menunjukkan kerancuan penafsiran al-Zamakhsyari[20]
dalam kitab Tafsîrnya, al-Kasysyâf. Kritik al-Dzahabî ditujukan atas
penafsiran Zamakhsyari antara lain ketika ia penafsirkan Sûrah al-Qiyâmah:
22-23.
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah
orang-orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhanya mereka melihat”.
Sebagaimana diketahui, bahwa kelompok Mu’tazilah sangat mengedepankan akal,
mereka menafsirkan ayat ini dari perspektif mereka. Mereka mengingkari bahwa
kelak akan melihat Tuhan. Mereka berkata: “Ketahuilah, bahwa saudara-saudara
kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga oleh orang-orang yang meyakini
kemungkinan melihat Allah didasarkan firman tersebut”. Mereka menjelaskan bahwa
memandang (nadhar) tidak berarti melihat; dan melihat tidak merupakan
salah satu makna dari nadhar. Nadhar itu bermacam artinya, antara lain,
mengerakkan biji mata ke arah suatu benda untuk melihat, menunggu, simpati,
memikirkan dan merenung.
Lebih
lanjut, al-Dzahabî mengutip pendapat kelompok Mu’tazilah yang berkata:
“Bila ru’yat
itu tidak merupakan salah satu bagian dari nadhar, maka pendapat yang
mempersamakan nadhar dan ru’yat dalam ayat tersebut tidak
relevan. Oleh karena itu kami semua berpendapat perlu dicari ta’wil ayat dengan
arti selain ru’yat. Sebagian diantara kami memberi penakwilan dengan
‘menunggu pahala’, meski pahala yang ditunggu tidak disebutkan dalam ayat
tersebut”.[21]
Zamakhsyari
berpendapat bahwa “Nadhar dalam ayat di atas berarti mengharap, seperti
perkataan orang yang berarti ‘Aku mengharap si Fulan melakukan sesuatu untuk
ku’. Nadhar yang berarti mengharap juga terdapat dalam sebuah syair:
وَإذَا نَطَرْتُ إلَيْكَ مِنْ ملك * وَالْبَحْرُ
دُونَكَ زِدْتَني نِعَمَا
Yang
artinya: Jika aku mengharap pemberianmu, sedangkan lautan tergelar di bawahmu.
Tentu kau akan melimpahkan karunia kepadaku”. Menurut al-Dzahabî penafsiran ini
berbeda dengan mayoritas ahlusunnah. Mereka meyakini adanya ru’yat
dengan Allah di akhirat. Pendapat mereka dikuatkan dengan hadis-hadis.[22]
Al-Dzahabî
memaparkan bahwa Zamakhsyari seringkali menafsirkan ayat guna menguatkan faham
Mu’tazilah yang menolak makna lahiriah ayat. Penafsiran tersebut terlihat
ketika ia menafsirkan Sûrah al-Baqarah: 255
وَسِعَ
كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Zamakhsyari
menyebut empat makna kata “kursi” pada ayat di atas, bahwa kursi Allah sangat
luas meliputi langit dan bumi itu tidak lain gambaran keagungan Tuhan dan
pengandaian semata, bukan arti kursi yang sebenarnya. Bahwa disana tidak
terdapat kursi dan tempat duduk. Penafsiran ini sama halnya dengan yang
terdapat dalam Sûrah al-Zumar: 67
وَمَا قَدَرُوا
اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan
langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan.”
Zamakhsyari berpendapat bahwa
ayat ini bukan menyebut genggaman Allah, juga bukan tentang “tangan kanan”,
melainkan tamsil yang menggambarkan keagungan Allah.[23]
Mengapa
diperlukan unsur-unsur luar untuk menjelaskan al-Qur’an?
Sebagai
kitab petunjuk umat manusia, al-Qur’an tidak berbicara sendiri. Ia membutuhkan
penjelasan. Pada masa awal Islam, para sahabat yang ingin mendapat penjelasan
al-Qur’an, langsung bertanya pada Nabi. Tentu saja, sebagai orang yang
menyampaikan pesan wahyu al-Qur’an, penafsiran Nabi adalah penafsiran yang
otoritatif. Namun sangat disayangkan, penafsiran Nabi terbilang sangat sedikit.
Hal ini yang menyebabkan generasi kemudian melakukan ijtihad guna mendapatkan Tafsîr
al-Qur’an.
Pada
masa tabiin, perkembangan penafsiran terus dilakukan. Hal-hal yang tidak ada
penjelasan dalam al-Qur’an dan hadis, kemudian dicari penjelasannya. Untuk
mendapatkan sebuah penafsiran tentang sejarah nabi-nabi dan juga
kisah-kisahnya, tidak jarang para sahabat menanyakan hal tersebut pada ahli
kitab yang sudah memeluk agama Islam. Penjelasan tersebut kemudian dikenal
dengan isrâiliyât.
Alasan
untuk menerima kisah-kisah isrâiliyât tidak lain karena al-Qur’an tidak secara
rinci menjelaskan kisah para nabi. Sehingga, para ulama yang pada saat itu
terdesak untuk menjawab pertanyaan –kisah para nabi- merujukkan kepada
penjelasan ahli kitab. Diantara mereka yang menjadi rujukan sumber penafsiran isrâiliyât
adalah: Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Akhbar, Wahab ibn Munabbih dan lainnya.[24]
Ibrahim
Khalaf memberikan penjelasan berkaitan dengan sebab-sebab mengunakan
unsur-unsur luar dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena sejak
penafsiran yang dilakukan oleh kalangan tabiin, pada umumnya belum ada yang
terkodifikasi dalam bentuk tulisan. Penafsirannya pun sering kali dipengaruhi oleh
kajian keilmuan yang berkembang dikalangan tempat para mufasir belajar. Riwayat-riwayat
yang mereka kutip sesuai dengan ciri khas yang berkembang dikalangan mereka
seperti murid Ibn Abbas yang ada di Mekkah berbeda dengan murid Ibn Masud yang
berada di Iraq.[25] Selanjutnya,
alasan lain yaitu menimbulkan perselisihan dikalangan para mufasir berkaitan
dengan aqidah.[26]
Unsur-unsur
yang digunakan untuk menjelaskan al-Qur’an
Diantara
unsur-unsur yang digunakan untuk menjelaskan kandungan al-Quran menurut Imam
al-Suyuti ada empat macam antara lain sebagai berikut :
Pertama, mengunakan
periwayatan dari Nabi Muhammad Saw, metode ini diangap paling valid dalam
menjelaskan kandungan al-Qur’an. Namun demikian seseorang yang ingin
menafsirkan al-Qur’an diharuskan berhati-hati dalam mengunakan hadis terutama
yang dhaif dan maudhu’ dikarenakan hadis yang seperti ini banyak sekali
ditemukan dalam beberapa literatur Tafsîr-Tafsîr terutama Tafsîr klasik.[27]
Oleh sebab itu, Imam al-Sayuti mengutip pendapat Ahmad Ibn Hambal mengatakan,
“ada tiga kitab yang tidak mempunyai sumber antara lain: al-maghazi
cerita atau dogeng, al-malahim puisi atau epos dan Tafsîr.” Dari
penjelasan ini Ahmad Ibn Hambal ingin menegaskan bahwa kitab-kitab tersebut
pada umumnya tidak mempunyai sandaran yang valid dan bersambung.[28]
Kedua, yaitu dengan
mengutip pendapat para sahabat karena penafsiran yang didasarkan pada perkataan
sahabat merupakan salah satu keterangan yang dinilai marfu’ yang disandarkan
pada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, mereka juga dikenal hidup berdampingan
dengan Nabi dan juga mereka menyaksikan turunnya wahyu serta memahami sesuatu
yang berkaitan dengan al-Quran. Namun demikian, perkataan mereka juga harus
dilihat perlu dilihat keotentikannya.[29]
Ketiga, mengambil dan
mengunakan peran bahasa karena al-Qur’an diturunkan dengan mengunakan bahasa
Arab. Pemahamannya berlandaskan pada penjelasan terminologi dan makna kata-kata
dalam perasaan mereka denga istilah tertentu. Dalam hal ini, al-Fadl ibn Ziyad
menukil sebuah riwayat Imam Ahmad yang dikutip oleh Alawi al-Maliki bahwa
ketika ditanya tentang ayat al-Qur’an yang diumpamakan dengan sebuah gubahan syair.
[30]
Keempat, penafsiran
dengan mengunakan pendekatan makna yang sesuai dengan tujuan syari’ah.
Berkenaan dengan persoalan ini, timbul perbedaan pendapat dikalangan para ahli Tafsîr
masing-masing mereka mengungkapkan makna serta kandungan dari suatu ayat
berdasarkan pada jangkauan kemampuan pemikiran
mereka.[31] Dari
sinilah, kemudian lahir beragam penafsiran yang sesuai dengan keahlian mereka
seperti ahli bahasa melahirkan Tafsîr al-Lughawi, ahli fiqh melahirkan Tafsîr
ahkam, ahli tasawuf melahirkan Tafsîr isyari, begitu juga dengan penafsiran
yang belandasan pada mazhab atau golongan yang dianut seperti syi’ah,
mu’tazilah, khawarij dan lain-lain.
Penutup
Dapat
penulis simpulkan bahwa pada dasarnya al-Dahkîl fi Tafsîr al-Qur’an
merupakan suatu kecacatan, kekeliruan dan kesalahan yang
terdapat dalam Tafsîr al-Qur’an. Jika dipetakan, kesalahan tersebut
dikarenakan: penggunaan hadis dhaif, periwayatan yang didasarkan pada isrâiliyât,
serta subyektifitas mufassir yang mendorongnya menafsiri al-Qur’an atas
kehendaknya. Sedangkan macam-macam al-Dakhîl ada dua yaitu: al-Dakhîl Naqli dan
Aqli. Namun demikian, penulis menggarisbawahi bahwa, penafsiran yang subjektif
mengundang penilaian yang subjektif pula.
[1] Ibrahim Syuaib Z, “Dakhîl
al-Naqli dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik Indonesia
2004”, (Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009), h. 3
[2] Penulis merujuk pada beberapa
kamus: Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progesif,
1997), h. 393; Munjîd fî al-Lugha, (Beirut: Dâr al-Masyrik, 2005),
cet-41, h. 207; dan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
(London: Mc Donal & Evans ltd dan Beirut: Libraire Du Liban, 1980), h. 274.
[3] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil
al-Irfân fî Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995),
vol 2, h. 6.
[4] Yang dimaksud
“petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz.
Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang tersusun”, meliputi ilmu Sarf,
I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan baginya ketika tersusun” meliputi
pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang dimaksud “hal-hal yang
melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul, naskh mansukh,
kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur’an.
Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Membahas Ilmu al-Qur’an, pent
Muzakris AS, (Bogor: Lintera Antar Nusa, 1992), h. 452.
[5] Ibrahim Syuaib Z, “Dakhîl
al-Naqli dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik Indonesia
2004”, h. 4
[6] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl
fî al-Tafsîr, (Mesir: Dar al-Banât, tt ), h. 22
[7] Kisah isrâiliyyât adalah
berita-berita yang diceritakan Ahli kitab yang masuk Islam. Lihat Al-Manna
al-Khallil Qaththân, Membahas Ilmu al-Qur’an, pent Muzdakir AS. (Bogor:
Lintera AntarNusa. 1992), h. 487
[8] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl
fî al-Tafsîr, (Mesir: Dar al-Banât, tt ), h. 33
[9] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl
fî al-Tafsîr, h. 39
[10] Secara bahasa berasal takwil
berasal dari kata ‘aul yang berarti kembali ke asal. Dengan merujuk pada
kalimat “أول الكلام تأويلاً”, maka ta’wil berarti memikirkan, memperkirakan dan
menafsirkan. Terdapat dua makna mengenai istilah ta’wil kalam, pertama,
ta’wil dengan pengertian suatu makna pembicara (orang pertama) mengembalikan
perkataannya. Kedua, ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan
makna. Pendapat kedua inilah yang dimaksudkan oleh al-Thabari dalam kitab
tafsirnya. Thabari menggunakan kalimat: “Pendapat tentang ta’wil ayat ini
adalah…”. Sehingga yang dimaksud ta’wil disini adalah tafsir. Ulama muta’akhkhirîn
memberi pengertian ta’wil dengan “Memalingkan makna lafaz yang kuat kepada
makna yang lemah karena ada dalil yang menyertainya”. Tentu saja definisi ini
sangat tidak sesuai dengan tradisi ulama klasik, sebagaimana ta’wil menurut
al-Thabâri. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththân, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ân,
h. 453
[11] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl
fî al-Tafsîr, h. 32
[12] Ibrahim Syuaib Z, “Dakhîl
al-Naqli dalam Al-Qur’an dan Tafsîrnya Departemen Agama Republik Indonesia
2004”, h. 10
[13] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2013), h. 119
[14] Kitab-kitab Tafsîr yang terdapat
penafsiran menyimpang menurut Dzahabi. Kalangan Sejarawan: al-Kasyfu
al-Bayân al-Ma’ruf bi Tafsîr al-Tsa’labî,
Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’îni Tanzîl (Tafsîr al-Khazin). Ahli Bahasa: al-Muhârrarul
Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-Azîz (karya Zamakysyari). Kalangan Mu’tazilah: Al-Kasysyâf
an Haqâ’iq at Tanzîl wa Uyûni al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl (karya
Zamakysyari). Kalangan Syiah: Tafsîr al-Qur’ân (karya Sayyid Abdullah
al-Alawî (w. 1188 H), Al-Burhân fî
Tafsîr al-Qur’ân (karya al-Bahrânî (w. 1107 H), Penafsiran Ibrâhîm ibn
Furât al-Kûfî (Ulama Syi’ah abad 13 H) dalam Q.,s 78:1-3, Penafsiran al-Thabâri
(w. 538 H) dalam Q.,s 33:33, Al-Shâfi (karya Muhsîn al-Kasyfî) dalam
Q.,s 2:55-56, Penafsiran Hasan al-Askarî. Dalam Q.,s 2:163, Buku Mir’atu
al-Anwâr wa Misykatu al-Asrâr (karya Maula Abdul Latief al-Kazarâni) dalam
Q.,s 19:1). Kalangan Khawarij: Buku Syahru Nahjîl Balâghah (karya Ibn
Abî al-Hadîd) dalam Q., s 6:97, Tafsîr Hamayan al-Zâd ila al-Ma’âd
(karya Muhammad ibn Yusuf Ithfisy al-Ibâdhi. w. 1332 H). Kalangan Sufi: Futuha
al-Makiyyah dan Tafsîr al-Mansûb (Karya Ibn Arabi), Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm (karya Sahl
al-Tustûry), Haqâiqut al-Tafsîr (karya Abdurrahman al-Salmi) dalam Q.,s
2:1). Kalangan Ilmuwan: Buku Al-Islâm wa Thibubul Hadis (karya Dr. Abdul
Aziz Ismail) dalam Q.,s 2:22, Jawâhiru fî Tafsîr al-Qur’ân (Thanthawi
Jauhari) dalam Q.,s 2:66. Lihat juga 2:67, Penafsiran al-Suyuti yang dikutip
dari Abû Fadl al-Marisi. Lihat Q.,s 77:30). Kalangan Pembaharu: Penafsiran
dalam sebuah artikel mingguan al-Siyâsah yang terbit di Mesir pada 20
Feb 1937. Yang berjudul “Al-Tasyri’ Misri wa Shilatuhu bi al-Fiqh” tentang
ayat hukum potong tangan. Dzahabi tidak menyebut nama penulisnya. Al-Hidâyah wa al-Irfân fî Tafsîr al-Qur’ân
bi al-Qur’ân (karya Abû Zaid al-Damanhuri) dalam Q.,s 3:49)
[15] Husain al-Dzahabî, Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr, (Kuwait: Dâr al-I’tishom, 1978), h. 17
[16] Nama lengkap al-Tsa’labî adalah
Abû Ishâq Ahmad ibn Ibrahîm al-Tsa’labî al-Nausaburî (w. 427 H), biasa
dipanggil Abû Ishâq. Karya Tafsîrnya berjudul al-Kasyfu wa al-Bayân an
Tafsîr al-Qur’ân yang terkenal dengan sebutan Tafsîr al-Tsa’labî.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, ia menekankan perhatiannya tentang gramatika dan fiqh.
Ia juga memberi perhatian terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Al-Tsa’labî
dikenal sebagai juru nasihat bagi masyarakat. Ia sering berpidato dan berdakwah
dengan mementingkan cerita sebagai isi dakwahnya. Cerita-cerita tersebut ia
kumpulkan dalam karyanya yang berjudul al-‘Arais. Sebagai seorang
mufassir, beberapa pujian ditujukan padanya. Seperti yang disampaikan Khilkân:
“Ia (al-Tsa’labî) adalah tokoh Tafsîr pada zamannya yang mengarang kitab Tafsîr
yang besar yang melebihi mufassir lainnya”. Sementara Ibn Ya’qûd berkomentar:
“Abû Ishâq adalah mufassir yang banyak memberi nasehat, seorang sastrawan yang tsiqoh,
banyak menulis buku, termasuk Tafsîr yang memberi ragam makna dan isyarat yang
berguna”. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 27
dan al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Dâr
al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), vol. 1, h. 197-198.
[17] al-Dzahabî, Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr, h. 28.
[18] al-Dzahabî, Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr, h. 32. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, Isrâiliyât
dalam al-Qur’an dan Hadith, (Bogor: PT Pustaka Litera Antarnusa, 1989), h.
161 dan Abu Ishaq Ahmad al-Tsa’labî, al-Kasyfu
al-Bayân al-Ma’rûf bi Tafsîr al-Tsa’labî,
(Beirut: Dâr al-Ihya’ al-Turâst al-‘Arabi), vol. 06, h. 148-157.
[19] al-Tsa’labî, al-Kasyfu
al-Bayân al-Ma’rûf bi Tafsîr al-Tsa’labî,
vol. 6, h. 193. Lihat komentar al-Dzahabî dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
vol. 1, h. 202.
[20] Nama lengkap Zamakhsyari adalah
Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar ibn Muhammad ibn Umar al-Zamakhsyari, yang
bergelar jâr Allah. Lahir pada Rajab 467 H di Zamakhsyar, sebuah kampung
di Khawarizmi. Ia seorang yang ahli dibidang Tafsîr, hadis, bahasa dan sastra.
Setiap kali melakukan kunjungan ke berbagai daerah, Zamakhsyari selalu ditanya
perihal ilmu Tafsîr. Lihat: al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol.
1, h. 362.
[21] al-Dzahabî, Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr, h. 52
[22] al-Dzahabî, Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr, h. 53. Lihat penafsiran ayat: Abû al-Qasîm Mahmûd
ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn
al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 6, h.
269.
[23] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn, vol. 1, h. 379. Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘An
Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, vol. 5, h.
320.
[24] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an, h. 106
[25] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl
fî al-Tafsîr, h. 42
[26] Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al-Dakhîl
fî al-Tafsîr, h. 43
[27] Menurut Thahir Mahmud Muhammad
Ya’kub, penggunaan hadis dhaif dalam menafsirkan al-Qur’an bahkan dilarang.
Lihat dalam, Thahir Mahmud Muhammad Ya’kub, Asbâb al-Khata’ fî al-Tafsîr,
(Dâl al-Jauzi, tt), h. 124
[28] Jalal al-Din Abd Al-Rahman Ibn
Abȋ Bakar al-Suyutȋ, al-Itqăn fî ‘Ulum
al-Qur’an , Ditahqiq oleh Markaz al-Dirăsah al-Qur’an (Saudi Arabia:al-‘Amana al-‘Am tt) h 2285
[29] Jalal al-Din al-Suyutȋ, al-Itqăn fî ‘Ulûm al-Qur’an, h. 2286
[30] Jalal al-Din al-Suyutȋ, al-Itqăn fî ‘Ulûm al-Qur’an, h. 2287
[31] Jalal al-Din Abd Al-Rahman Ibn
Abȋ Bakar al-Suyutȋ, al-Itqăn fî ‘Ulum
al-Qur’an, 2287