Oleh
Ali Topan DS
Pasca
penetapan Aburizal Bakrie (selanjutnya: Ical) sebagai calon Presiden yang di
usung Partai Golkar pada Rapimnas 2012 lalu, muncul spekulasi yang beragam.
Sebagian pengamat politik meramal Partai Golkar bisa terpecah karena penetapan
Ical sebagai Capres dinilai tendensius. Hal ini diduga Rapimnas yang sengaja
dimajukan dan terkesan tergesa-gesa. Spekulasi selanjutnya, bahwa Partai Golkar
bisa semakin solid karena telah mencuri “start” dengan menentukan capres lebih
awal.
Perencanaan
tidak selalu sesuai dengan kenyataan lapangan. Penetapan Ical sebagai Capres
Golkar mendapat banyak tantangan, baik dari internal maupun eksternal partai.
Tantangan yang harus dihadapi Ical dari internal partai adalah masih ada
keinginan dari mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla yang ingin maju
sebagai capres. Tentu saja hal ini akan dapat memecah suara internal kader
Golkar mengingat basis pendukung JK di Golkar terbilang masih banyak. Terlebih,
pasca adanya ultimatum dari hasil Rapimnas, bahwa jika ada kader Golkar yang nyapres dari partai lain, maka ia akan
dipecat. Pernyataan tersebut membuktikan adanya kekhawatiran akan perpecahan partai.
Dalam
beberapa hasil survei elektabilitas capres, JK dan Ical selalu bersaing. Survei
Pusat Data Bersatu (PDP) yang dirilis pada 18 Juli menepatkan Ical di atas JK,
Ical urutan tiga dan JK di urutan empat. Selanjutnya pada 24 Juli, Survei
Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) melakukan survei dengan melibatkan
2450 responden. Hasilnya, JK bertengger diurutan tiga, di atas Ical yang berada
diurutan empat. Sedangkan urutan pertama hasil survei masih menjadi milik
Jokowi.
Para
politisi Golkar langsung menanggapi hasil survei tersebut, menurut Akbar
Tanjung, saat Rapimnas Oktober nanti akan ada evaluasi untuk terus meningkatkan
elektabilitas Ical. Ia menegaskan tidak ada pencapresan ulang. Sekjend Golkar,
Idrus Marham tidak terlalu memikirkan hasil survei. Menurutnya, elektabilitas
Ical sebetulnya terus naik, meski perlahan. Ical sendiri tidak banyak komentar
menanggapi elektabilitasnya yang berada di bawah JK. Ical akn terus
mengintruksikan kadernya untuk bekerja keras.
Perjalanan
perjuangan Ical menuju RI 1 terbilang cukup masif. Deklarasinya sebagai capres
juga terbilang lebih awal dari partai lain yang mengusung capres. Sebut saja
Partai Demokrat yang disibukkan dengan urusan konvensi; PDIP yang “galau”
dengan calon yang akan diusung; PKB yang setengah hati mengusung Raja dangdut
Rhoma Irama, serta partai lainnya. Penetapannya sebagai capres lebih awal harus
menjadi starting point untuk
mendulang elektabilitasnya. Posisi Ical boleh dikatakan menepati posisi
strategis, ia dicalonkan dari partai besar yang memikili tradisi kemenangan
dalam pemilu, selain itu, ia ditopang dengan media yang ia miliki. Kedua
merupakan alat politik yang cukup besar untuk mencapai kemenangan.
Ical
juga tidak boleh tinggal diam jika terjadi kemelut internal partai. Seperti isu
pencalonan JK yang menggunakan kendaraan parpol selain Golkar. Ia harus tetap
menguatkan barisan tataran elit Golkar. Sekali ia melakukan kesalahan, akan
fatal akibatnya. Sejauh ini, partai Golkar memiliki tradisi kader yang tangguh.
Jika ada ketidakpuasan di dalam partai, ia tak segan keluar partai dan
mendirikan partai sendiri yang siap menandingi mantan partainya. Jika hal
tersebut luput dari pantauan Ical, maka bisa jadi hal itulah bomerang bagi
Ical.