Oleh: Ali Thaufan DS
Disampaikan pada Seminar dengan tema: Pengendalian Subsidi BBM: Mendorong Subsidi
Tepat Sasaran dan Tepat Guna demi Kemajuan Bangsa
26
Juni 2013, Fak. Tekhnik Informatika Trisakti
Kenapa
BBM Naik?
Undang-undang no 22 pasal 28 ayat 2
tahun 2001 berbunyi “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Dasar undang-undang tersebut
secara tidak langsung telah merebut sumber daya alam Indonesia. Alasannya,
penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas telah “dijual” dalam persaingan
bebas. Persaingan usaha dalam bentuk penawaran dan permintaan dicatat dengan
rapi di New York Mercantile Exchange (NYMEX). Dengan demikian, penentuan harga
dari NYMEX lah yang harus diamini bangsa Indonesia.
Memang, UU tersebut telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan
002/PUU-I/2003. Akan tetapi, PP (no 36 tahun 2004 pasal 27 ayat 1) yang hampir
sama muncul kembali dengan redaksi “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi,
keuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Hampir tidak ada
perbedaan. Padahal dengan jelas UUD 1945 pasal 33 telah menyebutkan “Barang
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kenyataan dan keadaan tersebut di atas
terpaksa harus ditelan pahit-pajit rakyat
Indonesia. Bahwa, kenaikan harga BBM diakibatkan harga minyak dunia. Mungkin
rakyat terherankan. Konon katanya Indonesia negeri surga dengan sumber daya
alam yang melimpah. Tetapi, harga bahan bakar harus mengikuti pasar
internasional.
Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi
menuai banyak kontroversi baik pihak yang mendukung atau menolak. Masing-masing
memiliki alasan yang menguatkan. Kedua pihak yang mendukung dan menolak
berdalih bahwa kenaikkan atau tidak naiknya BBM adalah untuk kepentingan
rakyat. Para analis, pengamat dan pakar memprediksi dampak dari kenaikkan BBM.
Pihak yang berada dideretan pendukung kenaikan harga berdalih jika BBM tidak
naik (harga tetap Rp. 4.500/liter) maka pemerintah harus membayar 126, 59
Triliyun untuk menanggung rugi alias nomboki.
Angka tersebut
didasarkan bahwa pemerintah selama ini telah mensubsidi sebesar Rp. 2009,43/liter
yang dikalikan pengadaan premium sebanyak 63 miliyar liter/tahun (63 milyar x Rp. 2009,43=Rp. 126,59 trilyun per tahun). Harga premium Rp. 4.500 sebanding dengan harga minyak
mentah US$ 69,50/barrel. Sedangkan harga yang berlaku dipasar
internasional sebesar US$ 105/barrel. Maka beban yang ditanggung pemerintah setara
dengan US$ 35,50/barrel. Jika dikalikan patokan harga yang tidak disubsidi (Rp.
9.000), angka tersebut mencapai Rp.
319.500/barrel. 1 barrel= 158,98729
liter atau dibulatkan menjadi 159 liter.
Sedangkan, pihak yang menolak kenaikan
BBM berdalih bahwa selama ini, dengan harga premium Rp. 4.500, pemerintah telah
diuntungkan dengan dana sebesar 97,939 Triliyun. Selama ini, pemerintah
memerintah Pertamina mengadakan 63 milyar liter premium. Angka tersebut jika
dikali dengan harga Premium saat ini (63.000.000.000x4.500) mencapai angka
283,5 triliyun. Maka, jika pemerintah berdalih merugi 126,59 triliyun, itu
adalah bentuk kebohongan. Ongkos olah minyak
mentah mulai dari pemompaan minyak
sampai ke atas muka bumi (lifting), pengilangan
sampai menjadi BBM (refining) dan pengangkutan sampai
ke pompa-pompa bensin (transporting) hanya berkisar Rp.
500-600/liter . Tidaklah heran jika banyak pakar ekonomi yang mendesak agar
menjelaskan kemana selisih uang triliyunan jika harga Premium ngotot
dinaikkan. Perdebatan ini kemudian mengundang kegalauan pemerintah
antara menaikkan atau tidak harga BBM. Pemerintah, melalui Presiden SBY
melempar perbedatan ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Adu
Kuat Politisi Senayan soal Kenaikan Harga BBM
Demonstrasi penolakan kenaikan harga
BBM tak terelakkan. Di beberapa titik strategis (Gedung DPR/MPR, Istana Negara,
Bundaran Hotel Indonesia dan tempat-tempat lainnya) para mahasiswa, buruh dan
aktivis LSM menyuarakan aspirasinya, menolak kenaikan harga BBM. Beberapa aksi
demonstrasi tersebut berujung bentrok dengan petugas.
Pada saat bersamaan, para wakil rakyat
sedang rapat “alot” di dalam gedung DPR. Anggota dewan yang terdiri dari total
560 orang adu argumentasi. Fraksi yang tergabung dalam partai koalisi (Partai
Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB) menyatakan menerima kenaikan harga BBM,
kecuali fraksi PKS. Sedangkan kubu oposisi, yaitu Fraksi Partai PDIP, Gerindra,
Hanura dengan lantang menolak kenaikan harga BBM.
Iming-iming pemerintah akan memberikan
Balsem (bantuan langsung sementara) hanya akan “membodohi” rakyat kecil. Balsem
juga dinilai akan sangat sarat nuansa politik, mengingat pemilu 2014 di depan
mata. Selain itu, para pengamat juga menyayangkan naiknya harga BBM ini
menjelang datangnya bulan Ramadhan dan Lebaran. Kenaikkan ini tentu saja akan
meyulitkan rakyat.
Masing-masing kedua kubu yang
mengusung kenaikan atau tidaknya harga BBM memiliki argumen yang sama kuat.
Sehingga rapat paripurna pun buntu hasil.
Hal tersebut memaksa pengambilan keputusan dengan cara voting. Tentu saja,
partai oposisi akan kalah dari partai pengusung kenaikan harga BBM, partai
koalisi selain PKS.
Terlepas dari perdebatan kenaikan BBM
sebagaimana yang diprediksi oleh para pengamat, rakyat dipertontonkan dengan dagelan politik khas senayan. Fraksi
partai pendukung kenaikan BBM dengan jumlah voting 338 suara mengalahkan fraksi
“pembela rakyat cilik” yang mengantongi hasil suara voting sebanyak 181.
Tontonan sidang yang diwarnai interupsi-interupsi dari perwakilan tiap fraksi
yang menyampaikan pandangannya seperti mengelabui dan membodohi rakyat
Indonesia. Wong wong cilik tentu
hanya terperangah melihat aksi interupsi-interupsi tersebut. Mereka hanya bisa
berharap, harga sembako tak melambung tinggi.
Rakyat mungkin menerima naikkan harga
BBM, tetapi dengan sangat berat hati. Anggota dewan tidak pernah dapat
mendengar langsung bagaimana hati jutaan rakyat Indonesia ngedumel serta nelongso
menerima kenyataan pahit kenaikkan harga BBM. Ribuan mahasiswa serta serikat
buruh harus tertunduk lesu menerima ketuk palu putusan kenaikan harga BBM
setelah berjibaku dengan aparat yang mengamankan jalannya paripurna DPR.
Mengawal
Kompensasi Subsidi BBM
Kenaikan harga BBM yang jelas akan
menyulitkan rakyat miskin dibalas dengan kompensasi pemberian dana Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Pemberian dana tersebut, menurut para
pengamat dinilai amat sarat unsur politik. Waktu pembagian BLSM yang terbilang
dekat dengan pemilu merupakan indikasi utama jika progam tersebut sangat mudah
dipolitisasi. Bagi pemerintah yang saat ini berkuasa dan membagikan BLSM akan
dengan mudah menggunakan pembagian BLSM sebagai alat pencitraan.
Program kompensasi kenaikan harga BBM
terdiri atas BLSM Rp 9,32 triliun, bantuan untuk siswa miskin Rp 7,5 triliun,
beras untuk rakyat miskin Rp 4,3 triliun, dan program infrastruktur dasar Rp
7,25 triliun. Setalah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM, pada sabtu 22/6,
pemerintah secara serentak membagikan secara serentak BLSM di 13 Propinsi.
Besaran BLSM yang diberikan adalah Rp. 300.000. Warga menyambut dengan antusias
pembagian uang “obat sakit hati” atas kenaikan harga premium tersebut. Para
menteri Kabinet Indonesia Bersatu II turut menantau jalannya pembagian dana
tersebut.
Meski atusias tinggi tampak diraut
muka rakyat penerima BLSM, akan tetapi kesedihan mereka tidak dapat tertutupi.
Besaran dana BLSM tentu saja tidak sebanding dengan kenaikan harga sembako saat
BBM naik. Bahkan BLSM sendiri banyak dinilai kalangan tidak tepat sasaran.
Sebuah lembaga survey, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei bahwa
72,33% warga meyakini BLSM tak tepat sasaran, 24,27% yakin tepat sasaran dan
3,4% tidak tahu. Maraknya kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan menjadi
alasan bahwa BLSM tidak akan tepat sasaran. Korupsi tersebut membuat rakyat
ragu akan ketepatan pembagian BLSM. Rakyat juga menilai bahwa Presiden SBY
adalah orang paling berjasa dan bersalah terkait progam BLSM.
Pemanfaatan dana BBM bersubsidi harus
dilakukan dengan sebaik mungkin. Jika pemerintah menjanjikan penghematan dana
subsidi BBM yang digunakan untuk kepentingan rakyat, maka pemerintah harus
menepati janji tersebut. Besaran dana yang telah dialokasikan harus mendapat
pengawalan dari pihak terkait serta rakyat. Besaran rupiah kompensasi kenaikan BBM dapat dialokasikan untuk pengadaan
infratruktur jalan, transportasi massal atau bahkan pembukaan lapangan kerja.
Dengan demikian rakyat tidak hanya berpangku tangan menunggu pembagi BLSM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar