Kamis, 27 Juni 2013

Sisi Lain Kenaikan Harga BBM Bersubsidi


Oleh: Ali Thaufan DS

Disampaikan pada Seminar dengan tema: Pengendalian Subsidi BBM: Mendorong Subsidi Tepat Sasaran dan Tepat Guna demi Kemajuan Bangsa
26 Juni 2013, Fak. Tekhnik Informatika Trisakti

Kenapa BBM Naik?
Undang-undang no 22 pasal 28 ayat 2 tahun 2001 berbunyi “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Dasar undang-undang tersebut secara tidak langsung telah merebut sumber daya alam Indonesia. Alasannya, penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas telah “dijual” dalam persaingan bebas. Persaingan usaha dalam bentuk penawaran dan permintaan dicatat dengan rapi di New York Mercantile Exchange (NYMEX). Dengan demikian, penentuan harga dari NYMEX lah yang harus diamini bangsa Indonesia.

Memang, UU tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 002/PUU-I/2003. Akan tetapi, PP (no 36 tahun 2004 pasal 27 ayat 1) yang hampir sama muncul kembali dengan redaksi “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Hampir tidak ada perbedaan. Padahal dengan jelas UUD 1945 pasal 33 telah menyebutkan “Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Kenyataan dan keadaan tersebut di atas terpaksa harus ditelan pahit-pajit rakyat Indonesia. Bahwa, kenaikan harga BBM diakibatkan harga minyak dunia. Mungkin rakyat terherankan. Konon katanya Indonesia negeri surga dengan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi, harga bahan bakar harus mengikuti pasar internasional.

Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi menuai banyak kontroversi baik pihak yang mendukung atau menolak. Masing-masing memiliki alasan yang menguatkan. Kedua pihak yang mendukung dan menolak berdalih bahwa kenaikkan atau tidak naiknya BBM adalah untuk kepentingan rakyat. Para analis, pengamat dan pakar memprediksi dampak dari kenaikkan BBM. Pihak yang berada dideretan pendukung kenaikan harga berdalih jika BBM tidak naik (harga tetap Rp. 4.500/liter) maka pemerintah harus membayar 126, 59 Triliyun untuk menanggung rugi alias nomboki.

Angka tersebut didasarkan bahwa pemerintah selama ini telah mensubsidi sebesar Rp. 2009,43/liter yang dikalikan pengadaan premium sebanyak 63 miliyar liter/tahun (63 milyar x Rp. 2009,43=Rp. 126,59 trilyun per tahun). Harga premium Rp. 4.500 sebanding dengan harga minyak mentah US$ 69,50/barrel. Sedangkan harga yang berlaku dipasar internasional sebesar US$ 105/barrel. Maka beban yang ditanggung pemerintah setara dengan US$ 35,50/barrel. Jika dikalikan patokan harga yang tidak disubsidi (Rp. 9.000), angka tersebut mencapai Rp. 319.500/barrel. 1 barrel= 158,98729 liter atau dibulatkan menjadi 159 liter.

Sedangkan, pihak yang menolak kenaikan BBM berdalih bahwa selama ini, dengan harga premium Rp. 4.500, pemerintah telah diuntungkan dengan dana sebesar 97,939 Triliyun. Selama ini, pemerintah memerintah Pertamina mengadakan 63 milyar liter premium. Angka tersebut jika dikali dengan harga Premium saat ini (63.000.000.000x4.500) mencapai angka 283,5 triliyun. Maka, jika pemerintah berdalih merugi 126,59 triliyun, itu adalah bentuk kebohongan. Ongkos olah minyak mentah mulai dari pemompaan minyak sampai ke atas muka bumi (lifting), pengilangan sampai menjadi BBM (refining) dan pengangkutan sampai ke pompa-pompa bensin (transporting) hanya berkisar Rp. 500-600/liter . Tidaklah heran jika banyak pakar ekonomi yang mendesak agar menjelaskan kemana selisih uang triliyunan jika harga Premium ngotot  dinaikkan. Perdebatan ini kemudian mengundang kegalauan pemerintah antara menaikkan atau tidak harga BBM. Pemerintah, melalui Presiden SBY melempar perbedatan ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Adu Kuat Politisi Senayan soal Kenaikan Harga BBM
Demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM tak terelakkan. Di beberapa titik strategis (Gedung DPR/MPR, Istana Negara, Bundaran Hotel Indonesia dan tempat-tempat lainnya) para mahasiswa, buruh dan aktivis LSM menyuarakan aspirasinya, menolak kenaikan harga BBM. Beberapa aksi demonstrasi tersebut berujung bentrok dengan petugas.

Pada saat bersamaan, para wakil rakyat sedang rapat “alot” di dalam gedung DPR. Anggota dewan yang terdiri dari total 560 orang adu argumentasi. Fraksi yang tergabung dalam partai koalisi (Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB) menyatakan menerima kenaikan harga BBM, kecuali fraksi PKS. Sedangkan kubu oposisi, yaitu Fraksi Partai PDIP, Gerindra, Hanura dengan lantang menolak kenaikan harga BBM.

Iming-iming pemerintah akan memberikan Balsem (bantuan langsung sementara) hanya akan “membodohi” rakyat kecil. Balsem juga dinilai akan sangat sarat nuansa politik, mengingat pemilu 2014 di depan mata. Selain itu, para pengamat juga menyayangkan naiknya harga BBM ini menjelang datangnya bulan Ramadhan dan Lebaran. Kenaikkan ini tentu saja akan meyulitkan rakyat.

Masing-masing kedua kubu yang mengusung kenaikan atau tidaknya harga BBM memiliki argumen yang sama kuat. Sehingga rapat paripurna pun buntu hasil. Hal tersebut memaksa pengambilan keputusan dengan cara voting. Tentu saja, partai oposisi akan kalah dari partai pengusung kenaikan harga BBM, partai koalisi selain PKS.

Terlepas dari perdebatan kenaikan BBM sebagaimana yang diprediksi oleh para pengamat, rakyat dipertontonkan dengan dagelan politik khas senayan. Fraksi partai pendukung kenaikan BBM dengan jumlah voting 338 suara mengalahkan fraksi “pembela rakyat cilik” yang mengantongi hasil suara voting sebanyak 181. Tontonan sidang yang diwarnai interupsi-interupsi dari perwakilan tiap fraksi yang menyampaikan pandangannya seperti mengelabui dan membodohi rakyat Indonesia. Wong wong cilik tentu hanya terperangah melihat aksi interupsi-interupsi tersebut. Mereka hanya bisa berharap, harga sembako tak melambung tinggi.

Rakyat mungkin menerima naikkan harga BBM, tetapi dengan sangat berat hati. Anggota dewan tidak pernah dapat mendengar langsung bagaimana hati jutaan rakyat Indonesia ngedumel serta nelongso menerima kenyataan pahit kenaikkan harga BBM. Ribuan mahasiswa serta serikat buruh harus tertunduk lesu menerima ketuk palu putusan kenaikan harga BBM setelah berjibaku dengan aparat yang mengamankan jalannya paripurna DPR.

Mengawal Kompensasi Subsidi BBM
Kenaikan harga BBM yang jelas akan menyulitkan rakyat miskin dibalas dengan kompensasi pemberian dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Pemberian dana tersebut, menurut para pengamat dinilai amat sarat unsur politik. Waktu pembagian BLSM yang terbilang dekat dengan pemilu merupakan indikasi utama jika progam tersebut sangat mudah dipolitisasi. Bagi pemerintah yang saat ini berkuasa dan membagikan BLSM akan dengan mudah menggunakan pembagian BLSM sebagai alat pencitraan.

Program kompensasi kenaikan harga BBM terdiri atas BLSM Rp 9,32 triliun, bantuan untuk siswa miskin Rp 7,5 triliun, beras untuk rakyat miskin Rp 4,3 triliun, dan program infrastruktur dasar Rp 7,25 triliun. Setalah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM, pada sabtu 22/6, pemerintah secara serentak membagikan secara serentak BLSM di 13 Propinsi. Besaran BLSM yang diberikan adalah Rp. 300.000. Warga menyambut dengan antusias pembagian uang “obat sakit hati” atas kenaikan harga premium tersebut. Para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II turut menantau jalannya pembagian dana tersebut.

Meski atusias tinggi tampak diraut muka rakyat penerima BLSM, akan tetapi kesedihan mereka tidak dapat tertutupi. Besaran dana BLSM tentu saja tidak sebanding dengan kenaikan harga sembako saat BBM naik. Bahkan BLSM sendiri banyak dinilai kalangan tidak tepat sasaran. Sebuah lembaga survey, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei bahwa 72,33% warga meyakini BLSM tak tepat sasaran, 24,27% yakin tepat sasaran dan 3,4% tidak tahu. Maraknya kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan menjadi alasan bahwa BLSM tidak akan tepat sasaran. Korupsi tersebut membuat rakyat ragu akan ketepatan pembagian BLSM. Rakyat juga menilai bahwa Presiden SBY adalah orang paling berjasa dan bersalah terkait progam BLSM.

Pemanfaatan dana BBM bersubsidi harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Jika pemerintah menjanjikan penghematan dana subsidi BBM yang digunakan untuk kepentingan rakyat, maka pemerintah harus menepati janji tersebut. Besaran dana yang telah dialokasikan harus mendapat pengawalan dari pihak terkait serta rakyat. Besaran rupiah kompensasi kenaikan BBM dapat dialokasikan untuk pengadaan infratruktur jalan, transportasi massal atau bahkan pembukaan lapangan kerja. Dengan demikian rakyat tidak hanya berpangku tangan menunggu pembagi BLSM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar