Oleh:
Ali Topan DS
Sejak
menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi langsung “tancap gas” melakukan
gebrakan-gebrakan baru yang menjadi progam andalannya. Sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab, ia berupaya menepati janji-janjinya saat kampanye. Aksi blusukan terjun langsung ke masyarakat
menjadi ciri khas kepemimpinannya. Setidaknya dengan terjun langsung kepada
warganya, Jokowi mendengar langsung apa saja keluh kesah rakyatnya. Adapun
salah satu progam andalan Jokowi adalah Kartu Jakarta Sehat (KJS).
Kepadatan
penduduk di Jakarta memang tidak sebanding dengan luas wilayahnya. Hal tersebut
memaksa banyak warga Jakarta baik asli ataupun pendatang rela hidup ditempat
kumuh. Tentu saja keadaan tersebut menjadikannya rentan terserang penyakit.
Dengan progam KJS, Jokowi berharap agar warga dapat terbantu saat berobat.
Bahkan dengan menggunakan KJS, pasien dapat dirawat jalan di seluruh Puskesmas
Kecamatan/Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta.
Meski
demikian, progam KJS ini belum berjalan mulus dan perlu dievaluasi. 16 Rumah
Sakit berniat menggundurkan diri dari progam tersebut. prosedur pembayaran
masih menjadi masalah utama dari progam KJS. Banyak rumah sakit yang nombok akibat jumlah tagihan pasien KJS.
Beberapa rumah sakit pun meminta adanya perbaikan sistem Indonesia Case Base Groups (INA CBGs).
Jokowi
juga menyadari bahwa pemanfaatan KJS belum berjalan maksimal. Apalagi banyak
pasien yang di kesampingkan saat berobat di Rumah Sakit tertentu dengan
menunjukkan KJS. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi, mengingat KJS adalah
progam pertama yang nantinya akan dijadikan percontohan.
Rame-rame soal kisruh KJS ini mendapat sorotan
anggota DPRD DKI Jakarta. Mereka (DPRD DKI) yang mayoritas bukan pendukung
Jokowi saat kampanye pilgub lalu, mengkritiki progam unggulan Jokowi tersebut
dan berencana untuk melakukan interpelasi dan bahkan pemakzulan. Memang,
langkah-langkah cepat Jokowi dalam kepemimpinannya sebagai orang nomor satu di
Jakarta kerap mendapat “ganjalan” dari politisi Kebon Sirih (wakil rakyat di
DPRD DKI). Ketidakcocokan pola kerja cepat ala Jokowi dan kerja lambat yang
menjadi ciri khas anggota dewan menjadi pemicu utama.
Beberapa
anggota dewan telah mengumpulkan tanda tangan. Hal ini dilakukan untuk
melakukan interpelasi, sebagaimana di syaratkan yakni dua fraksi dan 15 tanda
tangan anggota dewan. Awalnya lima fraksi dan 32 anggota dewan mendukung
interpelasi. Tetapi kita tinggal empat fraksi dan 11 anggota yang terus
berupaya melakukan interpelasi yakni, fraksi Partai Demokrat, PAN, PKB dan
Hanura.
Beberapa
pengamat politik mengemukakan bahwa langkah anggota dewan untuk interpelasi
atau bahkan pemakzulan terhadap Jokowi adalah upaya menurunkan popularitas
Jokowi. Mereka menggunakan momen kisruh KJS. Sebagaimana diketahui, popularitas
Jokowi dalam bursa capres 2014 memang sangat tinggi. Bahwa ia mengungguli ketua
umumnya di PDIP, Megawati dan Prabowo yang dikenal getol mengiklankan Jokowi semasa kampanye lalu.
Dengan bekal mengangkat isu kisruh KJS ini, sepertinya lawan-lawan politik Jokowi tetap akan kesulitan menjatuhkan popularitasnya. Dukungan terhadap Jokowi cukup deras untuk terus melanjutkan progam yang dinilai pro rakyat ini. Bahkan Organisasi Masyarakat Persatuan Indonesia (Perindo), bentukan Hary Tanoesudibyo mengelurkan maklumat yang berisi penentangan terhadap DPRD DKI Jakarta jika memakzulkan Jokowi. Wakil Gubernur, Basuki “ahok” bersedia menantang debat terbuka kepada anggota DPRD untuk membahas KJS. Sementara itu, Jokowi hanya berkomentar ringan menanggapi “nggak usah jelek-jelikin saya, saya sudah jelek”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar