Oleh: Ali Topan DS
- Biografi Muhammad
Husein al-Dzahabî
Muhammad Husain al-Dzahabî
lahir di desa Muthûbas pada 19 Oktober 1915. Desa Muthâbas terletak di tepi
utara sungai Nil. Sejak kecil al-Dzahabî sudah ditinggal oleh ayahnya. Ia telah
hafal al-Qur’an ketika belajar di kampung halamannya.
Karir pendidikan al-Dzahabî dimulai
pada Madrasah Dasuqi al-Dîni setara dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Setelah
itu ia melanjutkan di Universitas al-Azhar. Di sana ia mulai belajar dengan
tokoh-tokoh ulama di zaman itu seperti Muhammad Musthafa al-Marâghi, ‘Isa
Manun, Muhammad Zahîd al-Kutsâri, Muhammad Habîb al-Shanqîti, Muhammad Khâdir
Husaîn dan lain-lain. Ia mendapat predikat terbaik di fakultas Syari’ah pada
tahun 1936 dan predikat terbaik dalam bidang ulûm al-Qur’ân pada 15
Februari 1947. Ia juga pernah mengajar di Universitas al-Azhar Mesir Fakultas
Ushuluddin jurusan Tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Hingga wafatnya pada 03 Juli
1977.
Sebagai pakar di bidang ilmu-ilmu
al-Qur’an, al-Dzahabî banyak mengarang beberapa kitab yang berkaitan dengan
dengan ulum al-Qur’an dan ulum al-tafsir. Karya-karya tersebut
menjadi rujukan bagi akademisi yang menaruh konsen bidang tersebut. Antara lain
karya-karya Dzahabi adalah: al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Israiliyyât fî
al-Tafsîr wa al-Hadîs, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm:
Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, Ibn Arabi wa Tafsîr al-Qur’ân, al-Wahy, Muqaddimah fî
ulûm al-Qur’ân, Muqaddimah fî ulûm al-Hadîs, Tafsîr Suwar: al-Nisâ’ wa al-Nûr
wa al-Ahzâb, Atsaru Iqâmah al-Hudûd fî Istiqrâri al-Mujtama’, Maliyah al-Daulah
al-Islâmiyah, Mawqûf al-Islâm min al-Diyânât al-Samawi, Syarh Ahâdîs al-Aqîdah
fî al-Shahîhaini, al-Ahwâl al-Syakhshiyah baina Ahlu Sunnah wa al-Ja’fâriyah
dan lain-lain.
- Ketegorisasi
Penyimpangan Tafsir Menurut Husain al-Dzahabî
Perkembangan
tafsir telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad. Dalam kurun waktu 14 abad telah
banyak menghasilkan ratusan atau bahkan ribuan kitab tafsir dengan corak yang
berbeda dari apa yang melatarbelakangi penulisan tafsir oleh mufassirnya.
Keragaman dan heterogenitas penafsiran
menjadi sebuah fenomena yang lumrah. Akan tetapi perbedaan tersebut dalam
kenyataan seringkali dijadikan sebagai ajang untuk saling menjatuhkan serta
legitimasi kebenaran tafsir. Sehingga, pihak mayoritas yang dekat dan mendapat
dukungan atau legitimasi dari sebuah pemerintahan akan memenangkan persaingan
tersebut. Objektivitas kebenaran sebuah penafsiran ditentukan oleh sejauh mana
ia memberikan dukungan kepada rezim, sebaliknya penafsiran yang jauh serta
cenderung bertentangan dengan kemauan penguasa dianggap sebagai sebuah
penyimpangan.
M. Husain al-Dzahabî memaparkan
bahwa dengan berbagai sistem, orientasi dan berbagai metode, terdapat banyak
distorsi dalam memahami nash-nash Qur’an. Juga banyak deviasi makna yang bukan
saja dengan bahasa (Arab) yang benar, tetapi juga menghilangkan keindahan
Al-Qur’an itu sendiri, bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
Al-Dzahabî menilai bahwa penyimpangan
berawal dari pengutipan riwayat dalam menafsirkan al-Qur’an yang tidak disertai
sanad. Belum lagi penggunaan rasio yang berlebihan dan menonjolnya
mazhab tertentu yang menjadi warna tafsir. Lebih lanjut, al-Dzahabî menyebutkan
faktor kesalahan dalam tafsir bil ra’yi. Pertama, mufassir meyakini
salah satu makna yang ada dan menggunakan maknanya untuk menerangkan berbagai
lafaz al-Qur’an. Kedua, mufassir berusaha menafsirkan berdasarkan makna yang
dimengerti oleh penutur bahasa Arab semata tanpa memperhatikan siapa yang
berbicara dengan al-Qur’an (konteks).
Dalam buku yang berjudul Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, al-Dzahabî mengulas
beberapa penafsiran yang dianggap terdapat penyimpangan. Ia mengklasifikasikan
sembilan kategori penyimpangan tafsir, yakni, penyimpangan yang terdapat dalam
tafsir para sejarawan, para ahli tata bahasa, orang-orang yang tidak menguasai
kaidah bahasa Arab, dalam tafsir mazhab mu’tazilah, mazhab syi’ah (immamiyah
itsna ‘Asyariyah), tafsir kalangan Khawarij, tafsir sufi, tafsir ilmuwan dan
penafsiran yang dilalukan pembaharu Islam.
Setelah membaca buku tersebut,
penulis mendapati beberapa kitab tafsir yang di dalamnya terdapat penyimpangan.
Dalam bab ini penulis ingin memberikan contoh penyimpangan penafsiran kalangan ahli
sejarah, penafsiran bias mazhab teologi (kelompok Mu’tazilah, Syi’ah Imamiyah
Itsna Asyariyah dan Khawarij), penafsiran kalangan Sufi, penafsiran mufassir
dengan corak ilmi dan penafsiran kalangan pembaharu Muslim. Penulis
tidak menunjukkan penyimpangan penafsiran di kalangan ahli bahasa, kerena
penafsiran mereka berasal dari kalangan Mu’tazilah, terdapat dalam tafsir karya
Zamakhsyari.
1. Penyimpangan
penafsiran oleh kalangan ahli sejarah
Menurut al-Dzahabî penafsiran kalangan
ahli sejarah terdapat kerancuan dan menyimpang, yakni penafsiran Ali ibn
Muhammad al-Baghdadi (w. 741 H) dalam Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl atau
yang disebut dengan Tafsir al-Khâzin dan Abû Ishâq ibn Ibrâhîm al-Tsa’labî
(w. 427 H) dalam al-Kasyfu al-Bayân al-Ma’rûf bi Tafsîr al-Tsa’labî.
Al-Qur’an mengandung banyak kisah
yang menceritakan kehidupan masa lampau (sebelum Muhammad diutus sebagai
rasul). Seperti kisah nabi Musa saat ia mendapat ujian dari Khidir; kisah
lahirnya Nabi ‘Isa yang di luar kemampuan akal manusia; serta pencarian Tuhan
oleh Nabi Ibrâhîm dan kisah ashâb al-Kahfi yang benar-benar ajaib
(tertidur ratusan tahun). Kisah nabi-nabi terdahulu dan beberapa kisah lain
tentu mengandung hikmah tersendiri. Kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak luput
periwayatanya yang bersumber dari kisah-kisah isrâiliyyât.
Sehingga pro-kontra timbul atas periwayatan tersebut.
Kritik al-Dzahabî ditunjukkan atas
penafsiran Tafsir al-Khâzin Sûrah al-Anbiyâ’: 83-84 tentang kisah nabi
Ayyûb.
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى
رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ *
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآَتَيْنَاهُ أَهْلَهُ
وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru
Tuhannya: ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kamipun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan
Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua
yang menyembah Allah.”
Al-Dzahabî memaparkan bahwa
penafsiran al-Khâzin dimulai dengan mengutip riwayat Wahab ibn Munabbih yang
menceritakan Ayyûb adalah laki-laki asal Romawi bernama lengkap Ayyûb ibn Amos
ibn Narîkh ibn Rum ibn Ish ibn Ishâq ibn Ibrahîm. Allah mengangkatnya menjadi
Nabi dan melimpahkan rahmatnya berupa harta melimpah. Ia orang yang baik hati,
bertaqwa dan menyantuni fakir miskin. Atas kemurahan hati Ayyûb, sehingga
iblis-iblis biadab ingin mengodanya. Iblis naik turun langit untuk menawar
kepada Allah agar ia dapat mengoda Ayyûb sehingga jatuh imannya.
Selanjutnya Al-Khâzin menceritakan
bahwa pada suatu saat iblis mendengar suara malaikat membaca shalawat kepada Ayyûb
ketika Allah memuji di hadapan mereka. Iblis merasa benci dan iri. Kemudian ia
naik ke langit dan berkata: “Tuhanku, saya melihat Ayyûb sebagai hamba yang
engkau berikan nikmat dan harta melimpah. Maka wajar jika ia menyukuri-Mu.
Seandainya Engkau menguji dengan menghentikan nikmatmu, tentu dia tidak akan
bersyukur lagi dan menyembah-Mu.” Allah menjawab “berangkatlah kamu (iblis)
boleh melakukan apa saja terhadap harta Ayyûb”. Kemudian iblis turun ke bumi
dan mengumpulkan kolega-koleganya untuk menyusun rencana penghancuran harta
Ayyûb.
Al-Khâzin melanjutkan ceritanya,
bahwa setelah iblis memusnahkan harta Ayyûb, ternyata ia tidak mampu
mengoyahkan imannya. Iblis kembali naik ke atas langit dan memohon kepada Allah
untuk diizinkan mengabisi anak Ayyûb. Allah menjawab “Berangkatlah, kamu
(iblis) boleh membunuh anaknya.” Sesudah itu, iblis menemui Ayub dan berkata “Seandainya
engkau tau penderitaan anak-anakmu dan bagaimana mereka jungkir-balik, dengan
darah mengalir dan otak berhamburan, tentu hatimu akan luluh”. Ayyûb pun
menangis kemudian mengambil segenggam debu dan dituangkan di atas kepalanya
sambil berkata “Seharusnya ibuku tidak melahirkan saya”. Tetapi kemudian Ayyûb
bertaubat dan iblis pun terheran-heran.
Iblis belum puas dengan apa yang
telah ia lakukan kepada Ayyûb, karena iman Ayyûb tetap tak goyah. Lalu ia
kembali meminta kepada Allah agar ia diperbolehkan meminta merusak tubuh Ayyûb.
Allah menjawab “Kamu boleh menghancurkan tubuh Ayyûb, akan tetapi kamu tidak
dapat menguasai lisan, hati dan akalnya”. Iblis turun lagi ke bumi dan merusak
tubuh Ayyûb. Ketika Ayyûb sedang bersujud, iblis meniup kedua lubang hidungnya.
Tiupan itu membuat seluruh tubuh Ayyûb terbakar. Badannya pun menjijikkan,
bernanah dan bau busuk, sehingga semua orang menjauhi kecuali istrinya. Iblis
kembali mengoda Ayyûb memalui istrinya, karena Ayyûb tidak kunjung sembuh,
istrinya menawarkan Ayyûb untuk menyembelih kambing bukan karena Allah. Seketika,
Ayyûb pun marah dan menyuruh pergi istrinya.
Demikianlah cerita yang terdapat
dalam Tafsir al-Khâzin mengenai kisah Nabi Ayyûb yang mendapat cobaan dari
Allah. Al-Dzahabî menilai bahwa kisah ini sarat dengan manupulasi. Al-Khâzin
merampungkan cerita tanpa memberi komentar terhadap cerita tersebut. Adapun
kritik al-Dzahabî atas periwayatan isrâiliyyât lainnya juga terdapat
dalam tafsir Tsa’labi.
2. Penyimpangan
penafsiran bias Teologi
Penyimpangan penafsiran bias teologi
banyak dilakukan antara lain oleh ulama-ulama Mu’tazilah, Syi’ah Imamiyah Itsna
Asyariyah dan Khawarij. Sebuah penafsiran tentu tidak terlepas dari apa yang
mengitari mufassir (ماحول مفسر) baik disiplin
ilmu yang dikuasai, mazhab dan lingkungan ketika menulis tafsir. Kelompok
Mu’tazilah akan cenderung menafsirkan dengan karakter ke-mu’tazilah-annya,
demikian seterusnya. Penulis mengambil contoh penafsiran yang dilakukan tokoh
besar Mu’tazilah, Zamakhsyari dan Abd al-Jabbâr. Dalam menafsirkan al-Qur’an,
Zamakhsyari mendukung Mu’tazilah.
Menurut al-Dzahabî penyimpangan yang dilakukan oleh Zamakhsyari antara lain terdapat
dalam Tafsir al-Kasysyâf Sûrah Nisa: 164
…وَكَلَّمَ
اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah
berbicara kepada Musa dengan langsung”
Al-Dzahabî memaparkan bahwa menurut
mereka –kelompok Mu’tazilah- ayat tersebut bertentangan dengan pendapatnya
tentang sifat Allah (al-Kalam). Dalam ayat itu terdapat kata masdar
taklimâ (تكليما) untuk menguatkan kata kerja kalama
(كلّم) dan untuk menghilangkan kemungkinan masuknya arti lain yang
sebenarnya. Mereka menyatakan kata kallama (كلّم) berasal dari al-kalimu
(الكلم) yang berarti luka (الجرح). Kemudian mereka
menafsirkan ayat tersebut “Allah melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan cobaan
hidup”. Menurut al-Dzahabî, penafsiran ini dilakukan untuk menghindari makna
lahiriah yang berbenturan dengan mazhab mereka. Zamakhsyari mengutip pendapat
tokoh Mu’tazilah sebelumnya tanpa mengoreksi kebenaran makna.
Selanjutnya al-Dzahabî menyebut
penyimpangan penafsiran yang dilakukan Abdul Jabbâr (415 H) dalam kitab
tafsirnya, Tanzîl al-Qur’ân an Mathain.
Ia menafsirkan Sûrah al-A’râf: 178
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ
فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.”
Menurutnya Abd
Jabbâr, Ayat di atas menerangkan orang yang mendapat bimbingan Allah untuk
menuju Surga dan memperoleh pahala akan mendapatkan petunjuk dunia ini.
Sedangkan orang yang tersesat dan mendekati siksa adalah orang yang merugi di
dunia ini. Hal ini merupakan perintah untuk mentaati Allah, sebagaimana
firmannya: “Barang siapa yang disesatkan Allah tidak akan mendapat bimbingan”.
Menurut al-Dzahabî, ayat ini mereka
ta’wilkan sesuai dengan prinsip ajaran mereka, yaitu Allah tidak menciptakan
petunjuk dan kesesatan. Bahwa keduanya merupakan hal yang diusahakan oleh
manusia sendiri. Al-Dzahabî menyangah mereka dengan firman Allah Sûrah
al-Zumar: 62, “Allah menciptakan segala sesuatu”.
Selanjutnya penyimpangan penafsiran oleh
orang-orang Syi’ah Imamiyah Isna ‘Asyariyah.
Menurut al-Dzahabî, kelompok inilah yang banyak berpengaruh dalam penafsiran di
kalangan Syi’ah. Al-Dzahabî memberikan contoh penafsiran dalam kitab Tafsîr
al-Qur’ân karya Sayîd Abdullâh al-Alawî (w. 1242 H) Sûrah al-Mâ’idah: 55
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
Al-Dzahabi mengutip pendapat Al-Alawî,
bahwa ayat ini diturunkan ketika khalifah Ali sedang melakukan rukuk dalam
salatnya. Kemudian datang seorang pengemis , lalu Ali menyodorkan jari manisnya
dan pengemis itu mengambil cincin dari jari Ali. Al-Alawy menjelaskan bahwa
ayat ini menunjukkan kepemimpinan Ali.
Sementara al-Bahrânî dalam kitab
tafsirnya yang berjudul al-Burhân fî Tafsîr al-Qur’ân mengatakan
beberapa orang Yahudi telah masuk Islam, diantaranya Abdullah ibn Salîm, Usaid
ibn Tsa’labah, Ibn Yamîn dan Ibn Shuria. Kemudian mereka menemui Nabi dan
bertanya: “Wahai Nabi, dulu Musa menunjuk Yusya’ ibn Nûn, lalu siapa yang
engkau tunjuk sebagai penggantimu? Siapakah yang akan memimpin kami?. Kemudian
turun ayat (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ),
dan Nabi bersabda: ‘bangkitlah’. Mereka bangkit dan menuju masjid. Mereka
menjumpai pengemis yang baru keluar dari masjid. Nabi bertanya padanya: ‘wahai
pengemis, apakah ada seseorang yang memberimu sesuatu?’, pengemis pun menjawab:
‘Iya. Cincin inilah pemberian seseorang kepadaku’. Nabi bertanya lagi siapa
yang memberimu?’, pengemis itu menjawab: ‘Orang laki-laki yang sedang salat’.
Lalu Nabi bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana ia memberimu?, pengemis menjawab:
‘Dalam keadaan ruku’. Nabi bertakbir, kemudian bersabda: Ali adalah pemimpinmu
setelah aku meninggal…”
kemudian turun ayat 56 dari Sûrah al-Mâ’idah.
وَمَنْ يَتَوَلَّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْغَالِبُونَ
“Dan barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
Contoh selanjutnya dari kalangan Syi’a adalah
penafsiran Ibrâhîm ibn Furât al-Kûfî terhadap firman Allah Sûrah al-Nabâ’: 1-3
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ * عَنِ النَّبَإِ
الْعَظِيمِ *
الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ
“Tentang apakah
mereka saling bertanya-tanya. Tentang berita yang besar. Yang mereka
perselisihkan tentang ini”
Sebagaimana yang
dikutip al-Dzahabî, dalam menafsirkan ayat tersebut al-Kûfî menyebutkan sebuah
hadis yang artinya:
Diriwayatkan dari Abî Hamzah al-Tsulami, dia berkata:
saya bertanya kepada Abû Ja’far tentang firman Allah (dalam Q.,s 78:1-3),
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita besar yang mereka
perselisihkan”. Dia menjawab: “Ali ibn Abî Thâlib berkata kepada para sahabat,
‘Akulah berita besar yang diperselihsihkan semua bangsa tersebut. Demi Allah,
bagi Allah tidak ada berita besar yang lebih hebat selain berita tentang saya.
Demi Allah, tidak ada ayat yang hebat, kecuali ayat tentang saya”.
Contoh penafsiran Syi’ah
Imamiyah Isna ‘Asyâriyah lainnya terdapat dalam tafsir yang konon ditulis oleh
Hasan al-‘Askârî terhadap Sûrah al-Baqarah: 163
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah
Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”
Al-Askâri mengatakan “al-Rahîm
berarti maha pemurah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dari kalangan Syi’ah
keluarga Nabi Muhammad. Allah memperkenankan mereka untuk melakukan taqiyah.
Mereka memperlihatkan kesetiaan mereka kepada para kekasih Allah, siap melawan
musuh-musuh-Nya bila mereka telah mampu dan bersikap diam bila mereka masih
lemah.” Demikian seperti yang dikutip al-Dzahabî.
Contoh lainya dari penafsiran Syi’ah
Imamiyah Isna Asyariyah yang cukup aneh adalah penafsiran yang dilakukan Maula
Abdul Latief al-Kazarânî dalam Buku Mir’atu al-Anwâr wa Misykatu al-Asrâr.
Ia menafsirkan Q.,s Maryam: 10
كهيعص
(kaf) adalah nama perang
Karbala(
كربلاء). (ha)
hancurnya keluarga Nabi (هلك العترة). (ya) Yazîd
yang dimurkai Allah karena menganiaya Huseîn. (ain) adalah rasa haus (عطش) yang
dialami Huseîn. Sedangkan (shad) adalah kesabaran(صبر). Menurut al-Dzahabî,
penafsiran kalangan Syi’ah ini memiliki motif-motif untuk mendukung pahamnya.
Seperti prinsip ajaran taqiyah yang
dianut mereka.
Penyimpangan penafsiran juga
terdapat dari kalangan Khawarij. Istilah Khawarij dipergunakan untuk menyebut
kalangan kelompok masyarakat yang memberontak dan tidak mengakui keabsahan
imam, baik pada masa sahabat, para khulafa al-râsyidîn, tabi’in dan
imamah sepanjang masa.
Al-Dzahabî mengutip penafsiran yang
dilakukan oleh Muhammad ibn Yûsuf Ithfisy al-Ibâdhî (w. 1332 H) dalam karya
tafsir yang berjudul Hamayan al-Zâd ila al-Ma’âd. Al-Dzahabî memberikan
contoh penyimpangan penafsiran terhadap Sûrah Nûr: 55
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي
الْأَرْضِ…
“Dan Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi…”
Ibâdhi mengatakan
seperti yang dikutip al-Dzahabî: “Orang-orang yang berbeda paham dengan kita
(Khawarij) meriwayatkan dari Dhahâk, bahwa orang-orang yang beriman adalah Abû
Bakar, Umar, Utsmân dan Alî. Dan bahwa kedudukan sebagai khalifah diberikan
kepada empat sahabat tersebut. Saya akan menunjukkan hadis yang menyatakan
bahwa Utsmân dan Ali tidak berhak atas khalifah. Pada masa pemerintahan Abû
Bakar, Umar, Utsmân dan Ali serta khalifah sesudahnya terjadi penaklukan besar.
Memang Islam memungkinkan para pemeluknya untuk melakukan hal itu. Tetapi tidak
menunjukkan kebenaran Utsmân dan Ali. Meski keduanya menduduki jabatan khalifah
atas dukungan Nabi dan para sahabatnya, namun ketika meninggal dunia keduanya
telah berubah sikap, karenanya keduanya celaka. Sebagaimana dinyatakan dalam
beberapa hadis, bahwa keduanya terkena fitnah”.
Di akhir ayat yang berbunyi
وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ
ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan barangsiapa
yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik”
Ibâdhî
menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengingkari nikmat Allah adalah Utsmân
ibn Affan. Orang-orang telah memberi kepercayaan padanya, namun ia mengkhianati
kepercayaan tersebut.
Contoh penyimpangan penafsiran yang dilakukan Ibâdhi
lainnya adalah ketika menafsirkan Sûrah al-Syurâ: 23
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى…
“Katakanlah: Aku
tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam
kekeluargaan…”
Ibâdhi
menyatakan: “mencintai keluarga Nabi, yaitu anggota keluarga yang tidak berubah
sikap seperti Fâtimah, Hamzah, Abbâs dan putranya adalah wajib”. Kemudia Ibâdhi
mengatakan “Yang dimaksud keluarga Nabi yang tidak berubah sikap adalah selain
Ali dan semacamnya”
Menurut al-Dzahabî,
kitab tafsir Hamaya al-Zâd ilâ al-Ma’âd karya Ibâdhi
tersebut sangat sarat dengan unsur kebencian terhadap khalifah Utsmân dan Ali.
Mereka banyak memalsukan hadis yang menyudutkan Utsmân dan Ali sekedar untuk
memperkuat sektenya. Keutamaan atas Utsmân dan Ali mereka –kelompok Khawarij-
sangkal dan kepatuhan mereka terhadap Allah mereka ingkari.
3. Penyimpangan
Penafsiran dalam tafsir Sufi
Dikalangan Sufi, ada beberapa keganjalan
penafsiran yang diutarakan al-Dzahabî. Diantaranya penafsiran yang dilakukan
Ibn Arabi terhadap Sûrah al-Baqarah: 163
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ…
“Dan Tuhanmu adalah
Tuhan Yang Maha Esa…”
Al-Dzahabî mengutip penafsiran Ibn
Arabi yang mengatakan: “Dalam ayat ini Allah berbicara dengan kaum Muslimin
bahwa orang-orang yang menyembah benda selain Allah dalam rangka mendekatkan
diri kepada-Nya, sebenarnya orang tersebut sama dengan menyembah Allah juga.
Ingatlah ketika mereka mengatakan: ‘Sebenarnya kami menyembah benda-benda ini
hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah’. Kemudian Allah berfirman
kepada kita bahwa sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang
musyrik dengan perantaraan benda-benda sesembahan dalam rangka mendekatkan diri
kepada-Nya, adalah sama. Karena itu, kamu semua tidak berbeda dalam pengakuan
terhadap Tuhan Yang Esa”.
Contoh
lain dari penafsiran Ibn Arabi terhadap Sûrah al-Muzammil: 8-9
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ
وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا *
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
“Sebutlah nama
Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan
masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka
ambillah Dia sebagai pelindung.”
Perihal ayat di atas, Ibn Arabi
menyatakan bahwa tuhan yang disembah manusia adalah manusia itu sendiri. Maka
kita harus mengenali diri kita sendiri dan jangan melupakan, agar Allah tidak
melupakan. Mengenai ayat (رَبُّ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ), Ibn Arabi mengartikan “Tuhan yang menampakkan cahaya-Nya
kepadamu dan menerbitkannya melalui cakrawala keberadaanmu, dan Tuhan yang
bersembunyi dalam dirimu dengan membenamkan cahaya-Nya di dalam dan terhalang
oleh dirimu”.
Contoh
penafsiran Ibn Arabi lain adalah terhadap Sûrah al-Rahmân: 19-20
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ
يَلْتَقِيَانِ * بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ
“Dia membiarkan dua
lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. antara keduanya ada batas yang
tidak dilampaui masing-masing”
Ia menyatakan: “Yang dimaksud
dengan dua lautan (مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ) adalah dua lautan
besar yang bersifat fisik, yakni lautan garam yang pahit dan lautan jiwa (ruh)
yang tawar dan menyegarkan. (يَلْتَقِيَانِ) berarti keduanya
bertemu dalam wujud manusia. Sedangkan batas yang di maksud Allah adalah (بَيْنَهُمَا
بَرْزَخٌ)
nafsu hewani yang tidak ada dalam jiwa yang jernih dan tubuh yang bugar…”.
Kalangan sufi memang mendasarkan
hasil penafsirannya pada hadis Nabi yang menerangkan bahwa al-Qur’an mempunyai
makna lahir dan batin. Menurut mereka, para ulama yang hanya melihat teks
al-Qur’an hanya dapat memahami makna lahirnya saja. Sementara makna batin hanya
akan diketahui oleh orang-orang yang bersih hati dan jiwanya. Maka orang itulah
yang hanya akan mengetahui secara ‘aîn al-yaqîn –keyakinan yang
diperoleh setelah melakukan pengamatan dan pengindraan- makna (batin) yang
tidak dapat ditangkan secara ilm al-yaqîn –keyakinan yang diperoleh
setelah menguji kebenaran dan keabsahan dalil yang mendukunya- oleh orang yang
melihat al-Qur’an yang terbatas pada teks saja.
Bagi al-Dzahabî, makna lahir adalah
makna yang dimengerti oleh orang yang mengerti bahasa Arab. Ia berpendapat
bahwa semua makna dari segi kebahasaan (Arab) termasuk kategori makna lahir.
Maka untuk mengetahui makna lahir tidak diperlukan banyak syarat selain
penguasaan terhadap bahasa Arab. Berbeda dengan makna lahir, makna batin
merupakan apa yang dimaksud dan dituju oleh Allah dibalik lafaz-lafaz dan
susunan kalimat bahasa Arab. Sehingga untuk mengetahui maknanya diperlukan
syarat tertentu. Selain penguasaan terhadap bahasa Arab, diperlukan pula
ketajaman penglihatan dan kejernihan pikiran sebagai akibat dari pancaran
cahaya Ilahi yang masuk dalam hati seseorang.
Contoh lainnya dari kalangan sufi adalah
penafsiran Abdurrahman al-Salmi terhadap Sûrah al-Baqarah: 1 yang berbunyi (الم). Menurutnya huruf
alif adalah alif al-Wahdaniyah (keesaan), huruf lam
berarti lam al-lutfi (kelembutan) dan huruf mim adalah mim
mulki (kerajaan). Pengertiannya, siapa yang dapat menemukan Allah secara
hakikat dengan jalan memutuskan hubungan-hubungan dan keinginan yang bersifat
duniawi. Menurutnya, kalimat alif-lam-mim mempunyai makna alif
berarti cucilah batinmu. Lam berarti anggota tubuhmu dan mim
berbuatlah bersama Allah untuk merubah sifat-sifatmu.
Menurut al-Dzahabî, penafsiran ini
tentu sulit diterima. Terlebih pandangan kalangan sufi yang menyatakan bahwa
huruf-huruf potongan fawâtih al-suwar (pembuka surat) selalu mengandung
makna ghaib, mengandung ilmu pengetahuan dan penyingkap rahasia.
4. Penyimpangan
Penafsiran dalam tafsir corak ilmi
Munculnya tafsir dengan basis ilmu
pengetahuan memang begitu menonjol dan menjadi “trend tafsir” abad
modern. Akan tetapi kemunculan penafsiran yang erat pertaliannya dengan ilmu
pengetahuan tidak dimulai abad itu, jauh pada abad-abad pertengahan pun telah
muncul. Ulama zaman dahulu dan sekarang berpendapat bahwa dalam al-Qur’an tidak
terkandung ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga menyangkut ilmu-ilmu duniawi.
Sebagai konsekuensinya, segala sesuatu yang terjadi dari hal-hal yang bersifat
kealaman dicarikan dalil dari nash-nash al-Qur’an.
Menurut al-Dzahabî, al-Ghazâli
adalah orang yang gencar mewacanakan pengkajian Islam bercorak ilmiah. Al-Ghazâli
kemudian merangkum keterangan mengenai cabang-cabang ilmu agama secara
menyeluruh yang berkaitan dengan al-Qur’an.
Menurut
al-Dzahabî, diantara penyimpangan penafsiran kalangan ilmuwan adalah penafsiran
Tanthâwi Jauharî terhadap Sûrah al-Baqarah: 61
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا
مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا
مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا
وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ…
“Dan (ingatlah),
ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam
makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya,
ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa
berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik”
Al-Dzahabî menyoroti penafsiran
Thantâwi dalam menjelaskan beberapa macam teori kedokteran modern yang telah
mapan dan menyebutkan beberapa metode pengobatan yang dipakai pakar kedokteran
Eropa. Menurut Thantâwi, metode inilah yang dimaksud dalam al-Qur’an. Sebab
dalam ayat tersebut seakan-akan Allah menyatakan bahwa “kehidupan Badui dengan
mengkonsumsi makanan manna dan salwa, dengan menghirup udara
bersih dan kehidupan bebas itu lebih baik dari pada kehidupan kota yang keras. Makanan
sudah tercampur dengan dengan bumbu masak, daging dan berbagai macam makanan
serta kekejaman para penguasa”.
Contoh
penyimpangan penafsiran Tanthâwi menurut al-Dzahabî juga terdapat ketika
menafsiri Sûrah al-Baqarah: 67
وَإِذْ قَالَ مُوسَى
لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا
أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan (ingatlah),
ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina.’ Mereka berkata: ‘Apakah kamu hendak menjadikan
kami buah ejekan?’ Musa menjawab: ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil’”
Al-Dzahabî
memaparkan penjelasan Thantâwi yang diawali dengan menunjukkan
keajaiban-keajaiban dalam al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan
dengan cara memanggil ruh. Menurutnya ilmu memanggil ruh pertama kali muncul di
Amerika, kemudian di Eropa. Ia mengatakan: “Ayat ini berisi kisah-kisah hidup
kembalinya Uzair berikut keledainya, burung dan kisah Nabi Ibrâhîm, serta kisah
orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dalam rangka menghindari bahaya
wabah (Tha’ûn) yang kemudian meninggal tetapi dihidupkan kembali oleh Allah.
Dan karena Allah mengetahui bahwa kita tidak mampu menghidupkan kembali manusia
setelah mati. Maka sebelum menjelaskan tiga kisah di atas Allah menunjukkan
bagaimana cara memanggil ruh-ruh dalam cerita sapi betina”.
Lebih lanjut
Thantâwi menjelaskan bahwa jika kita tidak mampu memanggil arwah-arwah itu,
maka kita bertanya pada ahlinya. Namun orang yang memanggil arwah harus bersih
hatinya, tulus dan mengikuti petunjuk Nabi dan Rasul, seperti ‘Uzair, Ibrâhîm
dan Musa. Karena mereka orang yang memiliki keluhuran jiwa, maka mereka dapat
melihat arwah dengan mata kepala mereka. Dan Allah menyeru pada Nabi mu untuk
mencontoh hal yang demikian.
Kemudian al-Dzahabî
menanggapi penafsiran tersebut dengan memberi komentar: “Saya tidak ragu
mengatakan bahwa penafsiran semacam ini benar-benar keluar dari maksud
al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan pada Nabi Muhammad bukan untuk dijadikan
rujukan ilmu kedokteran, Matematika, Kimia, ilmu alam, ruh dan lain-lain.
Tetapi lebih dari itu, bahwa al-Qur’an turun sebagai pemberi petunjuk bagi
manusia untuk keluar dari kegelapan menuju ke alam yang terang”
5. Penyimpangan
penafsiran kalangan pembaharu
Al-Dzahabî menyebutkan dua tokoh pembaharu,
pertama Abû Zaid al-Damanhuri sedangkan yang kedua tidak disebutkan namanya. Dalam
hal ini penulis juga tidak menemukan definisi terhadap istilah pembaharu menurut
al-Dzahabî. Al-Dzahabî memaparkan penyimpangan yang dilakukan kalangan
pembaharu dalam sebuah artikel berjudul al-Tasyrî’ al-Misri wa Silâtuh bi
al-Fiqh al-Islâmi mengenai ayat hukum potong tangan bagi pencuri dalam Sûrah
al-Mâ’idah: 39
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”.
Penulis artikel tersebut menyebutkan
bahwa kata (فَاقْطَعُوا ) fi’il amar
(kata kerja perintah) yang terdapat pada ayat hukum potong tangan dipahami dan
diartikan sebagai sebuah kebolehan. Penulis artikel tersebut mencoba melakukan
ijtihad, bahwa kata perintah yang terdapat dalam ayat tersebut diartikan
seperti seperti kata perintah yang terdapat dalam Sûrah al-A’raf: 31
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ...
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu…”
Menurutnya potong tangan itu
bukanlah hukuman wajib yang tidak boleh diganti dengan hukuman keras lainnya
dalam kondisi dan tempat tertentu. Kedudukannya tidak berbeda dari sesuatu yang
mubah, yang tunduk pada hukum pemerintah. Demikian halnya dengan hukuman
rajam dan jild bagi pelaku perzinahan. Hukum rajam tidak
diakui oleh ulama Khawarij, karena tidak ada nash yang menyebutkannya. Lalu ia
mengatakan: “Bukankan dengan cari ini saya telah menghilangkan hambatan
penerapan hukum Islam, tanpa membatalkan nash dan menghilangkan hukumnya?. Saya
hanya memberi alternatif elastisitas hukum Islam sehingga ia dapat menyesuaikan
diri dengan ruang dan waktu”.
Menurut al-Dzahabî penulis artikel
tersebut telah lancang dalam memahami dan membicarakan hukum Islam. Bahwa ayat
yang menggunakan kata kerja fil amar menerangkan hukum potong tangan dan
tidak bisa ditawar lagi hukumnya sebagai kewajiban. Allah pasti menetapkan
hukuman dalam bentuk amar, bukan bentuk lainnya.
Contoh
penyimpangan penafsiran lainya dari kalangan pembaharu Islam yang disoroti al-Dzahabî
adalah Abû Zaid al-Damanhuri dalam kitab al-Hidâyah wa al-Irfân fi Tafsîr
al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Ia menafsirkan Sûrah Âli ‘Imrân: 49
...أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآَيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي
أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ
طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي
الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا
تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ
“…Sesungguhnya
aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu,
yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku
meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku
menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit
sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika
kamu sungguh-sungguh beriman.”
Damanhuri mengatakan “lafaz
(كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ) berbentuk
burung merupakan tamsil atas keluarnya manusia dari kegelapan menuju cahaya
ilmu. Lafaz (الْأَكْمَهَ) menyembuhkan
orang yang buta sejak dari lahirnya tamsil bagi orang yang tidak memiliki
pandangan hidup. Lafaz (وَالْأَبْرَصَ) berpenyakit
sopak tamsil bagi orang yang berlimang dalam perbuatan yang mengotori
fitrahnya. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah Nabi Isa menyembuhkan
penyakit jasmani dengan perangkat medis, atau menyembuhkan penyakit rohani
dengan bimbingan agama? sedangkan lafaz (فِي
بُيُوتِكُمْ) di rumahmu berarti Nabi Isa mengajarimu mengatur rumah”.
Demikian seperti yang dikutip al-Dzahabî. Lebih lanjut, Damanhuri menegasnya penafsiran di
atas dengan menafsirkan firman Allah Sûrah al-Mâ’idah: 110
…وَإِذْ
تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا
فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي…
“… Dan (ingatlah
pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung
dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan seizin-Ku…”
Mengenai ayat
tersebut ia mengatakan: “Dari ayat ini kita mengetahui bahwa Nabi Isa adalah
Nabi yang diutus Allah kepada Bani Israil untuk menyembuhkan jiwa mereka dan
menghidupkan hati mereka yang telah mati. Karena itu tanda-tanda kenabian
justru tampak pada tingkah lakunya dan petunjukknya”. Lebih lanjut Damanhuri
menyatakan: “bahwa ‘Isa juga hidup dan mati seperti nabi-nabi lainya sebagai
manusia bisa.”
Penafsiran Damanhuri lainnya terhadap firman Allah Sûrah al-Anbiyâ’: 79
…وَسَخَّرْنَا
مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
“… Dan telah
Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud.
Dan kamilah yang melakukannya”
Al-Dzahabî mengutip penafsiran Damanhuri
ketika mengartikan kata (يُسَبِّحْنَ). Menurutnya kata
tersebut berarti tambang-tambang yang tersimpan di bawah gunung yang dulu
ditaklukkan oleh Daud kemudian dijadikan sebagai peralatan perang. Sedangkan
lafaz (الطَّيْرَ) adalah semua binatang bersayap dan jenis kendaraan yang
berjalan cepat seperti kuda, pesawat, kereta api.
Menurut al-Dzahabî, semua penafsiran
Damanhuri tersebut telah menodai tanda-tanda kebesaran Allah yang diberikan
kepada para Nabi sebagai mu’jizat. Ia juga mengatakan banyak sekali
mu’jizat-mu’jizat Nabi yang disebut dalam al-Qur’an justru terjadi sekarang
melalui tangan-tangan terampil orang Eropa.
Dari uraian al-Dzahabî di atas,
penulis “membaca” bahwa penafsiran tidak tunggal, tetapi sangat beragam.
Terlepas penafsiran itu dianggap menyimpang atau tidak. Kecenderungan mufassir
sangat didominasi dengan kepentingan paham mazhab, kondisi pada saat penulisan
tafsir dan ilmu yang menjadi keahliannya. Seperti penafsiran yang dilakukan
kalangan Mu’tazilah dengan penalaran rasionya; Khawarij yang menebar benci
terhadap Utsman dan Ali; Syi’ah ekstrem yang berlebihan mengangkat Ali;
kalangan sufi yang mengedepankan hasil intuisinya; ilmuwan yang mengaitkan ilmu
kealaman dengan dalil al-Qur’an dan kalangan pembaharu yang mencoba
mengkonstruksi ulang penafsiran sesuai dengan zamannya.
Kitab-kitab tafsir yang terdapat penafsiran menyimpang menurut Dzahabi.
Kalangan Sejarawan: al-Kasyfu al-Bayân al-Ma’ruf bi Tafsîr al-Tsa’labî, Lubâbu al-Ta’wîl
fi Ma’îni Tanzîl (Tafsir al-Khazin). Ahli Bahasa: al-Muhârrarul Wajîz fi
Tafsîr al-Kitâb al-Azîz (karya Zamakysyari). Kalangan Mu’tazilah: Al-Kasysyâf
an Haqâ’iq at Tanzîl wa Uyûni al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl (karya
Zamakysyari). Kalangan Syiah: Tafsîr al-Qur’ân (karya Sayyid Abdullah
al-Alawî (w. 1188 H), Al-Burhân fî
Tafsîr al-Qur’ân (karya al-Bahrânî (w. 1107 H), Penafsiran Ibrâhîm ibn Furât
al-Kûfî (Ulama Syi’ah abad 13 H) dalam Q.,s 78:1-3, Penafsiran al-Thabâri (w.
538 H) dalam Q.,s 33:33, Al-Shâfi (karya Muhsîn al-Kasyfî) dalam Q.,s
2:55-56, Penafsiran Hasan al-Askarî. Dalam Q.,s 2:163, Buku Mir’atu al-Anwâr
wa Misykatu al-Asrâr (karya Maula Abdul Latief al-Kazarâni) dalam Q.,s
19:1). Kalangan Khawarij: Buku Syahru Nahjîl Balâghah (karya Ibn Abî
al-Hadîd) dalam Q., s 6:97, Tafsîr Hamayan al-Zâd ila al-Ma’âd (karya Muhammad
ibn Yusuf Ithfisy al-Ibâdhi. w. 1332 H). Kalangan Sufi: Futuha al-Makiyyah
dan Tafsîr al-Mansûb (Karya Ibn Arabi),
Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm (karya Sahl al-Tustûry), Haqâiqut
al-Tafsîr (karya Abdurrahman al-Salmi) dalam Q.,s 2:1). Kalangan Ilmuwan: Buku
Al-Islâm wa Thibubul Hadis (karya Dr. Abdul Aziz Ismail) dalam Q.,s
2:22, Jawâhiru fî Tafsîr al-Qur’ân (Thanthawi Jauhari) dalam Q.,s 2:66.
Lihat juga 2:67, Penafsiran al-Suyuti yang dikutip dari Abû Fadl al-Marisi.
Lihat Q.,s 77:30). Kalangan Pembaharu: Penafsiran dalam sebuah artikel mingguan
al-Siyâsah yang terbit di Mesir pada 20 Feb 1937. Yang berjudul “Al-Tasyri’
Misri wa Shilatuhu bi al-Fiqh” tentang ayat hukum potong tangan. Dzahabi
tidak menyebut nama penulisnya. Al-Hidâyah
wa al-Irfân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân (karya Abû Zaid al-Damanhuri)
dalam Q.,s 3:49)