Oleh: Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Pasca dibukanya “kran” demokrasi
dengan diawali gerakan reformasi besar-besaran tahun 1998, Indonesia
memasuki babak baru, era keterbukaan. Di era ini muncul berbagai macam
organisasi masyarakat (ormas). Kenyataan ini memberikan konsekuensi munculnya
berbagai ormas berbasis agama Islam dengan ragam gerakan dan ideologi yang diusung.
Seperti munculnya aliran dan kelompok gerakan radikal. Gerakan ini disebut
sebagai gerakan radikal karena upaya-upaya yang dilakukan dalam melakukan
gerakan sering kali diluar norma mayoritas, yakni melakukan dengan “kasar”.
Gerakan tersebut tentu saja dapat meresahkan masyarakat umum, terlebih memperburuk
citra ormas dan agama.
Kelahiran
kelompok-kelompok radikal di Indonesia selain ditengarai oleh pemahaman yang
dilandaskan pada aspek teologis, juga dipicu oleh dua faktor. Pertama,
ketidakstabilan masalah keamanan umat beragama di Indonesia. Kedua, adanya
penyudutan dunia internasional terhadap Islam. Faktor pertama dapat dilihat
tatkala terjadi konflik antar agama, seperti yang terjadi di Ambon pada 1999
yang mayoritas korbannya beragama Islam. Hal tersebut tentu saja menyulut
kemarahan umat Islam lainnya, sehingga mereka mengirimkan “tentara-tentara
Islam” guna membantu.
Sedangkan
faktor dua dapat dilihat sejak peristiwa bom World Trade Centre (WTC) pada 2001 dan
terlibatnya Osamah bin Laden sebagai pelakunya. Seketika itu, Amerika dan
sekutunya memunculkan stigma bahwa Islam adalah agama teroris. Sejak saat itu
pula, Amerika menyuarakan bahayanya gerakan Islam militan yang menjadi bibit
teroris keseluruh dunia Islam termasuk Indonesia.[1]
Kelompok
radikal yang muncul dalam di Indonesia antara lain; Darul Islam (DI), Majelis
Mujahiddin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan masih
banyak yang lainnya. Pada umumnya, kelompok-kelompok tersebut muncul dari sebuah keresahan karena
melihat sistem ketatanegaraan di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Sistem
(demokrasi) yang diterapkan adalah produk “kafir”. Dengan dalih tersebut, ide
dasar ormas diatas adalah penerapan syariat Islamiyah. Bagi mereka, syariat
Islam akan mampu menyelesaikan problematika bangsa. Dengan cara apapun mereka akan
menegakkan tegaknya syariat Islam Indonesia. [2]
Abu Bakar Ba’asyir merupakan
salah satu tokoh yang selalu menyeru pada penegakkan syariat Islam. Ia seorang tokoh yang pada masa orde baru dibungkam lantaran
menolak azas tunggal pancasila. Saat itu ia menjadi
buronan dan hijrah ke Malaysia, yakni pada 1985. Setelah
kembali dari negeri Jiran
pada 1999, ia berkeinginan memberikan jalan keluar
ditengah kemelut yang dihadapi Indonesia kala itu.[3]
Dengan mendirikan organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), ia dan
rekan-rekannya ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia sebagai jawaban dan
solusi persoalan Indonesia. Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memang
terkenal dan identik dengan organisasi Islam garis keras. Apapun cara dilakukan
demi tegaknya syariat Islam di Indonesia, seperti
berjihad.
Karena sifat organisasi yang MMI yang
begitu radikal
tersebut, kemudian muncul dugaan bahwa aksi teror yang terjadi di Indonesia
dengan mengatasnamakan agama Islam adalah merupakan file project yang sedang digarap MMI. Dugaan tersebut didasarkan
pada pimpinan organisasi MMI, Abu Bakar Ba’asyir, yang namanya dikaitkan dengan
peledakan bom di Masjid Istiqlal pada 1999.[4]
Selain ormas MMI yang menjadi sorotan
sebagai ormas Islam radikal, terdapat lembaga pendidikan yang juga disebut
sebagai lembaga pendidikan yang radikal, yakni Pesantren Al-Mukmin, Ngruki,
Solo. Pesantren ini didirikan oleh beberapa orang, diantaranya, Abu Bakar
Ba’asyir dan Abdullah sungkar. Keduanya adalah orang yang menentang azas
tunggal Pancasila pada masa orde baru. Label pesantren radikal yang disandang
pesantren tersebut karena aturan pesantren yang melarang penghormatan kepada
bendera merah putih (Bendera Indonesia). Selain itu, salah satu pendirinya, Abu Bakar Ba’asyir juga
identik dan selalu diakit-kaitkan dengan aksi teror. Alasan lain yang
menyebutnya sebagai pesantren radikal adalah, tersangka peledakan bom Bali dan
pengeboman dibeberapa daerah diketahui adalah alumni pesantren Al-Mukmin, yakni
Fathur Rohman al-Ghozi.[5]
Maka, selain mendapat julukan pesantren radikal, Al-Mukmin juga mendapat
julukan sarang teroris.[6]
Bahkan sejak saat itu, pemerintah mulai memandang “sinis” dan penuh kecurigaan
terhadap beberapa lembaga pendidikan pesantren.
Pesantren yang diidentikkan sebagai
sarang teroris tentu mengundang kemarahan umat Islam. Selama ini, pesantren
dianggap sebagai lembaga pendidikan untuk menguatkan basis pengetahuan
keagamaan, Islam khususnya. Jika pesantren dijadikan tempat pendidikan teroris,
tentu akan sangat membahayakan. Karena terorisme merupakan perbuatan yang
mengancam keselamatan orang dan menimbulkan rasa ketakutan. Apapun kepentingan
dan jenisnya, teroris tetaplah tindak kejahatan.[7]
Identitas sebagai muslim aliran garis
keras tampaknya sulit lepas dari sosok Abu Bakar Ba’asyir. Meski demikian,
sebenarnya ia memiliki konsep dakwah guna menegakkan syariat Islam. Melalui
ormas dan pesantren yang ia dirikan, Abu Bakar Ba’asyir mencoba menawarkan
berbagai macam konsep untuk melepaskan bangsa dari keterpurukan, yakni tegaknya
syariat Islam, menjadikan Islam sebagai solusi.
Perumusan
masalah dalam penelitian
ini adalah menjelaskan bagaimana pengaruh Abu Bakar
Ba’asyir dalam dakwah penegakan syariat Islam, serta keterlibatannya dan
pesantren al-Mukmin dalam kasus teror yang terjadi di Indonesia.
Dengan demikian, kita akan dapat mengukur sejauh mana peran Abu Bakar Ba’asyir
dalam dakwah dan juga tindakan radikal yang terjadi di Indonesia.
Dakwah
dan Pengertian Radikalisme Islam
A.
Pengertian
Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab
yang berarti panggilan, ajakan atau seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa
Arab, kata dakwah adalah bentuk dari isim masdar yang berasal dari kata kerja :
دعا, يدعو, دعوة artinya : menyeru, memanggil, mengajak. Orang
yang berdakwa disebut da’i. Sedangkan orang yang menerima dakwah disebut
mad’u.
Secara
istilah, beberapa cendekiawan mendefinisikan dakwah, antara lain: Toha Yahya
Umar, ia mendefinisikan dakwah sebagai upaya mengajak umat dengan cara
bijaksana kepada jalan yang lurus sesuai perintah Tuhan demi kebaikan hidup
dunia akhirat. Menurut Hamka, dakwah adalah seruan panggilan kepada suatu yang
mempunyai dasar positif. Dengan menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar
sebagai substansi dari dakwah tersebut. Sementara Muhammad Natsir, menjelaskan
bahwa dakwah adalah kewajiban manusia untuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Sedangkan tokoh pembaharu Mesir, Muhammad Abduh, dakwah adalah menyeru pada kebaikan dan mencegah
kebatilan. Dan ini merupakan kewajiban setiap Muslim. Dari definisi para cendekiawan di
atas, penulis berkesimpulan bahwa dakwah adalah mengajak orang baik seagama
atau bukan untuk senantiasa melakukan kebaikan demi mengharap ridho Tuhan.
Pola dalam melakukan dakwah cukup
beragam. Terdapat beberapa pendekatan yang perlu diperhatikan ketika melakukan
dakwah. Seperti dakwah kultural dan dakwah politik. Dakwah kultur yang dimaksud
adalah seorang yang hendak mengajak mad’u,
harus mengenal beberapa karakter sosial budayanya. Tentu akan sangat sulit bagi
da’i untuk mengajak mad’u jika ia tidak mengenal karakter
dan seluk beluknya. Sebagai contoh dakwah kultural adalah sebagaimana yang
dilakukan para Wali Songo. Mereka berdakwah dengan pendekatan kultur budaya jawa.
Sedangkan dakwah politik gerakan dakwah dengan melalui kekuasaan. Misalnya,
dakwah dengan berupaya menerapkan ideologi Islam sebagai aturan negara.[8] Dakwah ini seperti dilakukan Abu
Bakar Ba’asyir dalam upaya penegakan syariat Islam dalam kehidupan bernegara.
Sebagai seorang pendakwah harus
memahami macam-macam metode dakwah. Wahidin dalam buku berjudul Pengantar Ilmu Dakwah memaparkan metode
dakwah yang meliputi:
- Metode bi al-hikmah. Menurut Muhammad Abduh, hikmah adalah mengetahuai rahasia dan faidah dalam setiap hal. Sedangkan menurut Toha Yahya Umar, hikmah adalah meletakkan sesuatu pada yang semestinya dengan penuh tanggung jawab dan tidak bertentangan dengan aturan Allah. Dari pengertian hikmah di atas, tidak dipungkiri bahwa hikmah merupakan bekal bagi pendakwah. Seorang da’i, yang berhadapan dengan ragam masyarakat (mad’u) harus memiliki kapasitas yang mumpuni.
- Mauidza al-hasanah. Istilah mauidza al-hasanah mungkin sudah umum kita dengan. Apalagi dalam suatu majelis ilmu atau majelis pengajian. Secara bahasa, mauidza al-hasanah berarti nasihat kebaikan. Menurut Abdul Hamid al-Bilali adalah matode dakwah dengan lemah lembut agar para mad’u senantiasa menjaga kepatuhan kepada Allah swt. Seorang da’i tidak dibenarkan berkata senonoh atau kasar. Wajah Islam akan terlihat dari bagaimana cara da’i menyampaikan seruan atau dakwahnya.
- al-Mujadalah. Kalimat mujadalah berasal dari kata jadala yang bermakna berdebat. Maksud mujadalah disini ialah, berdebat atau berbantah-bantahan dengan baik tanpa melahirkan permusuhan dan konflik. Menghindari hal-hal kasar dan senantiasa berkata sopan dan lemah lembut.[9]
Penjelasan di atas menggambarkan
bagaimana seorang da’i atau pendakwah harus mengetahui betul etika bagi seorang
da’i. Tugas mahaberat ada dipundaknya. Kemajuan agama Islam akan terlihat
bagaimana ia menyeru para mad’u
dengan baik. Sebagaimana firman Allah, “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah
orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran: 104). Tidak dibenarkan melakukan
dakwah dengan cara-cara kasar dan anarkis. Kecuali jika memang ada ancama
terhadap kegiatan kebaikan tersebut. Islam sebagai agama dakwah menganjurkan
untuk melakukan dakwah dengan persuasif dan lemah lembut serta tidak ada
paksaan.
Dewasa ini kita sering
melihat fakta bahwa
dakwah Islam dilakukan dengan cara yang tidak semestinya. Seruan amar ma’ruf
nahi munkar dilakukan dengan cara kemungkaran. Sebagian kelompok melakukan
dakwahnya dengan berbagai macam hal mulai dari menebar ancaman sampai aksi
kekerasan. Contoh, dakwah Front Pembela Islam (FPI) yang memiliki kecenderungan
radikal. Menteri Agama, Suryadharma Ali menghimbau agar FPI merubah karekter
dakwah yang cenderung radikal menjadi dakwah yang lembah lembut dan menarik
simpati.[10]
B.
Pengertian
Radikalisme Islam
Sebelum
memahami gerakan radikalisme
Islam, perlu untuk mengetahui gambaran umum mengenai terminologi gerakan
radikal itu sendiri. Gerakan radikal, kerap muncul dari ketidakpuasan terhadap
kondisi tertentu atau tatanan dan aturan yang sudah ada. Misalnya, sekelompok
orang tidak menemukan kepuasan dalam tatanan pemerintahan demokrasi, maka
mereka dengan lantang melakukan gerakan untuk diterapkannya sistem pemerintahan
lainnya. hal tersebut juga mengandung pengertian bahwa prilaku radikal
menghendaki perubahan secara radic, menyeluruh atau merombak sebuah
sistem yang sudah ada.
Berkaitan
dengan gambaran di atas, radikalisme Islam adalah upaya yang dilakukan oleh
sebagian kelompok Islam yang tidak mendapat kepuasan terhadap sistem
pemerintahan disebuah Negara terteuntu; merasa tidak mendapat keadilan sosial;
dan menawarkan ideology Islam sebagai pegangan hidup bernegara (memberlakukan
sistem syariat Islam). Karena bagi mereka dunia ini telah “diobok-obok” oleh
intervensi barat/Amerika, maka cara lain untuk kembali mengislamkan tatanan
kehidupan adalah dengan menegakkan syariat Islam.
Jika ditelusuri, fundamentalisme dan
gerakan radikalisme Islam tidak hanya tumbuh di Indonesia saja. Tetapi tumbuh
juga di negara Timur Tengah seperti, Afganistan, Mesir, India. Gerakan ini juga
bukan gerakan baru di Indonesia. Tetapi sudah ada sejak lama, orde baru. Hanya
saja kemunculan di ruang terbuka seperti sekarang karena konsekuensi dari era reformasi.
Gerakan radikal di
Indonesia sendiri merupakan
pengaruh dari lahirnya
gerakan radikal di Timur Tengah. Munculnya Ihwanul Muslimin yang didirikan di
Mesir (1928); Jamaat Islam di Pakistan; Hizbullah di Lebanon; al-Jama’ah
al-Islamiyah di Mesir telah memberi pengaruh baik ideologi dan gerakannya di
Indonesia. Bahkan kelompok-kelompok radikal di Indonesia sering mengutus
kadernya untuk ditempa dan mendapat pendidikan dari kelompok radikal di negara
lain.
Meskipun ada perbedaan antara
radikalisme di Indonesia dan di negara lain – seperti kultur budaya,
pemerintahan dan lain sebagainya-, akan tetapi mereka memiliki “payung yang
sama”. Upaya Barat/Amerika yang terus menyudutkan Islam membangunkan mereka
(gerakan radikal) untuk melawan kedikdayaan Barat. Berjuang dengan atas nama
Islam.[11]
Mereka berkeyakina bahwa saat ini umat Islam terus dikebiri oleh Amerika.
Amerika dengan segala cara akan selalu menebar kebencian bagi umat Islam.
Kelompok
radikalis berupaya menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh pada aspek
kehidupan. Selain itu, seringkali para radikalis menyerang faham atau ideologi lainnya
seperti kapitalisme, sosialisme dan liberalism. Dan yang perlu dicatat, bahwa
ideologi
mereka juga menganjurkan jihad melawan orang kafir. Bagi mereka, jihad merupakan
ibadah seorang Muslim. Hal tersebut diatas ini merupakan karekter menonjol dari
radikalisme Islam.[12]
Bahkan, berkaitan dengan penegakan syariat Islam, Ja’far Umar Thalib menyerukan
untuk melakukan cara kekerasan sekalipun demi tegaknya syariat Islam. Baginya
jihad harus dilakukan untuk melawan pemerintahan yang dipimpin oleh orang
kafir.[13]
Radikalisme
dalam agama memang erat kaitannya dengan fundamentalisme[14]
agama. Yakni, pemeluk agama menginginkan kembalinya pada dasar-dasar agama.
Upaya kembalinya pada ajaran dasar agama –Fundamentalisme- akan bergeser
menjadi radikalisme tatkala upaya tersebut dihalangi oleh kondisi sosial yang
berseberangan. Radikalisme yang hanya berkutat pada pemikiran ideologi tidak
akan menjadi masalah. Tetapi jika radikalisme sudah bergeser menjadi sebuah
gerakan-gerakan masif akan menimbulkan masalah. Terutama jika fundamentalisme
itu sendiri tidak diakomodir dan berbenturan dengan kondisi sosial politik.[15]
Sekilas
Profil Pesantren Al-Mukmin
A.
Sejarah
Berdiri Pesantren
Pesantren al-Mukmin berdiri pada 10
Maret 1972, terletak di Solo. Pesantren ini berdiri atas inisiasi para tokoh,
yaitu, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Baraja’, Yoyo’ Rosywandi
serta para pendukung lainnya. Pendirian pesantren ini berawal dari para tokoh
yang aktif dalam pengajian sehabis salat zuhur di masjid Agung Surakarta, yang
mendirikan Madrasah Diniyah di Jalan Gading Kidul 72 Solo. Atas dukungan Radio
Dakwah Islam (RADIS) dan sambutan baik masyarakat sekitar, pesantren ini
berkembang dengan pesat.[16]
Adapula sumber yang menyebutkan bahwa pesantren
al-Mukmin didirikan oleh Muhammad Amir sejak tahun 1962. Ia mengasuh 12 santri
di Masjid yang terletak di lingkungan rumahnya. Saat itu, pesantren yang ia
dirikan dan Madrasah Diniyah yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir dan
rekan-rekannya merupakan dua lembaga pendidikan yang berbeda, berjalan
sendiri-sendiri. Tetapi pada tahun 1972, kedua lembaga itu digabung menjadi
satu yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Islam al-Mukmin.[17]
Sifat
pesantren al-Mukmin adalah independen. Tidak berada di bawah organisasi atau
partai tertentu. Pesantren ini menegaskan bahwa pesantren adalah milik umat,
karena sejak awal berdirinya, masyarakat telah banyak membantu dan mendukung.
Visi dari pesantren adalah Terbentuknya generasi muslim yang siap menerima dan
mengamalkan Islam secara secara kaffah. Sedangkan misinya adalah: Mencetak
kader Ulama dan cendekia yang amilin fi
sabilillah; Melaksanakan kegiatan pendidikan dan da’wah secara “Independen”
dan bertanggung jawab kepada umat melalui Yayasan Pendidikan dan Asuhan
Yatim/Miskin Al-Mukmin (YPIA); Melaksanakan proses pembelajaran secara integral
dalam satu kepemimpinan mudirul Ma’had
(pimpinan pesantren).[18]
B.
Model Pengajaran dan Pendidikan Pesantren Al-Mukmin
Pondok
Pesantren al-Mukmin bisa dikatakan sebagai pondok pesantren modern. Sistem
pengajaran dan pendidikan di pesantren dilakukan berjenjang. Jenjang
pendidikan di pesantren ini,
yaitu: Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Kulliyatul Mu’allimin
Al-Islamiyah (KMI) dan Kulliyatul Mu’allikat Al-Islamiyah (KMA), Ma’had Shighar
(MS), dan Ma’had ‘Aly (MA). Meski demikian pesantren juga menerapkan pola
pendidikan tradisional seperti sorogan kitan di luar kelas.
Pola
pengajaran dan pendidikan di Pesantren al-Mukmin dilakukan secara total, 24 jam
di dalam pesantren. Selain mendapat pendidikan formal di dalam kelas, para
santrinya juga mendapat pengajaran dan pendidikan di luar kelas. Hal ini
terlihat dari kewajiban santri solat lima waktu di masjid; anjuran puasa senin
dan kamis; serta ceramah dari para ustadz-ustadz adalah merupakan pola
pendidikan non formal.
Selain
mengajarkan buku-buka agama, pesantren ini juga mengajarkan buku-buku umum.
Akan tetapi, perpustakan di pesantren hanya membatasi buku-buku pemikiran Islam
tertentu. Buku-buku di perpustakaan merupakan buku-buku yang sejenis. Buku-buku
tersebut tidak lain merupakan buku-buku yang sesuai dengan visi dan misi
pesantren. Buku yang kerap menjadi kajian para santri antara lain, Al-Wala’
wa al-Bara’ karya Said
salim al-Qahthani dan Tarbiyah Jihadiyah
karya Abdullah Azzam. Selain itu, buku karya Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna
dan Fathi Yakan juga menjadi “santapan” kajian para santri.[19]
Buku-buku tersebut tentu saja sangat mewarnai corak pemikiran santri.
C.
Pesantren
Al-Mukmin dan Upaya Penerapan Syariat
Upaya penegakkan syariat Islam di
Indonesia bukanlah di suarakan oleh pesantren Al-Mukmin saja. Tetapi juga oleh
beberapa ormas yang ada di Indonesia. Seperti Majelis Muhajidin Indonesia,
Jamaah Salafi, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) dan Komite Persiapan
Penegakan Syariat Islam (KPPSI). Ormas-ormas tersebut selalu
“menggembar-gemborkan” penegakan syariat Islam. Meski tujuannya adalah
penegakan syariat, ormas-ormas di atas ternyata mempunyai cara dan orientasi berbeda
dalam pencapaian cita-citanya itu.[20]
Upaya penerapan syariat Islam yang
dilakukan pesantren Al-Mukmin adalah melalui jalur pendidikan. Menurut
Wahyudin, pimpinan pesantren, syariat Islam adalah satu-satunya cara untuk
mensejahterakan umat. Islam telah mengatur kehidupan dunia dan akhirat.
Penerapan syariat Islam perlu dilakukan dalam berbagai lini kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Melalui pendidikan pesantren inilah sosialisasi
penegakkan syariat kepada masyarakat dilakukan.[21]
Dalam proses pendidikan, pesantren
al-Mukmin sangat menekankan aspek penanaman jiwa keagamaan. Pesantren juga
memperhatikan pendidikan akidah, syariat dan bahasa Arab. Hal ini tentu
sangatlah penting mengingat akidah berkaitan dengan keimanan; syariat berkaitan
dengan bagaimana mengimplementasikan aturan Islam; dan bahasa Arab sebagai
medium memahami al-Qur’an, karena al-Qur’an sendiri berbahasa Arab.[22]
Pola pengajaran di pesantren ini cukup
memberi kesan fundamentalistik. Hal penting yang ingin dicapai adalah untuk
pemurnian ajaran agama Islam. Terlebih ketika salah satu pendiri pesantren, Abu
Bakar Ba’asyir terlibat dalam kasus terorisme. Saat itu, pesantren al-Mukmin
diidentikkan dengan pesantren yang mengajarkan terorisme. Kesan fundamentalisme
lainnya terlihat dari penyataan Abdullah Sungkar yang memberi fatwa haram
melakukan penghormatan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Pesantren ini juga mengharamkan para santrinya mengkonsumsi produk-produk
berbau Amerika, seperti minuman Coca Cola.[23]
Suasana berbeda juga tampak di dalam ruang kelas. Biasanya, di sekolah-sekolah
umum atau bahkan juga di pesantren, di dalam kelas terpampang foto Presiden dan
Wakil Prasiden. Tetapi lain hal nya di pesantren ini, foto tersebut tidak
didapati.[24]
Penerapan syariat Islam menurut
Wahyudin harus dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan. Meski para
pendiri pesantren al-Mukmin termasuk kategori Islam garis keras, akan tetapi
pesantren ini pesantren ini tidak mengajarkan kekerasan dalam mengaplikasikan
syariat Islam. Lebih lanjut menurut Wahyudin, jika ada penolakan syariat dengan
argumentasi, maka harus dilawan dengan argumentasi pula. Jika ada penolakan
dengan berperang, maka harus dilawan dengan berperang (jihad) juga.
Uraian di atas memberikan kesimpulan
bahwa pesantren al-Mukmin mempunyai strategi penerapan syariat dengan sistem
pendidikan yang diterapkan di pesantren. Pendidikan dan pengajaran di pesantren
dijadikan dakwah kepada syariat Islam. Berbeda dengan ormas tertentu yang
mengusung jargon “tegakkan syariat Islam”, tidak jarang mereka hanya
mengkampanyekan melalui aksi-aksi demonstrasi. Selain itu, pesantren ini juga
tidak mengajarkan terorisme. Adapun jika ada santri atau alumnus dari pesantren
yang terlibat dalam kasus teror, itu adalah pengaruh ajaran dari luar, bukan
ajaran pesantren. Kurikulum pesantren juga telah dikoreksi oleh Kementerian
Agama. Nasaruddin Umar, Wakil Menteri agama juga menegaskan bahwa pesantren ini
(al-Mukmin) bukanlah pesantren yang mendidik teroris.[25]
Konsep
Dakwah dan Pemikiran Radikal Abu Bakar Ba’asyir
A. Biografi singkat Abu Bakar Ba’asyir
Abu Bakar Ba’asyir dilahirkan pada 12 Dzulhijjah 1356 H, atau bertepatan 17 Agustus 1938 di sebuah Desa kecil, Pekunden
Kecamatan Mojo Agung, Kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Abud Ahmad Ba’asyir, seorang keturunan Yaman. Kesehariannya sebagai pedagang
kain. Ayahnya wafat saat Abu Bakar Ba’asyir berumur tujuh tahun. Sejak saat
itu, ia hanya diasuh ibunya yang bernama Halimah.
Abu Bakar Ba’asyir
adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara, empat orang perempuan dan tiga
laki-laki, masing-masing bernama: Seha, Fatmah, Aisyah, Salim, dan Ahmad
(perempuan keempat tidak diketahui namanya).
Pada
tahun 1959, Abu Bakar Ba’asyir
melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, atas biaya dua orang
kakaknya, Ahmad dan Salim. Setelah tamat
dari Gontor pada 1963,
ia meneruskan pendidikan dan
kuliah di Universitas Al-Irsyad, Surakarta, mengambil jurusan Dakwah. Selama masa pendidikannya, ia terlibat dan aktif
dibeberapa organisasi. Menjadi ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia Cabang
Pondok Gontor; ketua LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa
Islam) Cabang Surakarta; Sekretaris
Umum Pemuda Al-Irsyad Cabang Solo.
Pengalaman berorganisasi yang banyak
ia rasakan benar-benar menempa dan membentuk kepribadiannya. Abu Bakar Ba’asyir aktif dalam forum
pengajian. Ia pun mendirikan Radio Dakwah Islam al-Irsyad pada 1967 dan setelah
itu mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS). Karena aktifitas
dakwah yang ia pancarkan di radio banyak bersinggungan dengan pemerintah, radio
tersebut pun dilarang mengudara. Selain mendirikan radio sebagai sarana dakwah,
ia bersama rekannya Abdullah Sungkar mendirikan Pesantren Al-Mukmin sebagai.[26]
B. Konsep Dakwah Abu Bakar Ba’asyir
Dakwah Abu Bakar Ba’asyir ditekankan
pada ajaran ketauhîdan dengan mengaplikasikan syariat Islam. Abu Bakar
Ba’asyir mengutip penjelasan para ulama tentang ketauhîdan. Bahwa tauhîd itu
terbagi menjadi tiga. Pertama, tauhîd
rubûbiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah sang pengatur apa yang ada di
alam semesta ini. Hanya Allah lah yang dapat menentukan hidup, mati dan
mengatur rizki hambanya. Kedua, tauhîd
asmâ wa sifat, yaitu keyakinan terhadap sifat-sifat Allah, seperti maha
mengetahui, mendengar, bijaksana dan sifat lainnya yang dikenal dengan asmâ al-husna. Ketiga, tauhîd ulûhiyah, yaitu keyakinan kepada
hukum Allah (syariat Islam) dan mentaatinya.[27]
Abu
Bakar Ba’asyir menyebut bahwa jika seseorang hanya mengamalkan salah satu dari
pembagian tauhîd di atas, maka belumlah sempurna ketauhîdannya. Bahkan, dengan
tegas Ba’asyir menerangkan apabila seseorang hanya mengimani tauhîd rubûbiyah dan tauhîd asmâ wa sifat saja, maka ia sama
halnya dengan orang musyrik dan iblis. Ia menegaskan bahwa orang-orang musyrik
juga percaya bahwa ada Allah yang mengatur alam semesta. Serta mengimani pula
sifat-sifatnya. Maka dari itu, seseorang juga harus mengimani dan mengamalkan tauhîd ulûhiyah. Yakni yakin dan taat
pada syariat Allah. Lebih lanjut Ba’asyir menyebutkan bahwa dengan menjalankan
syariat Allah inilah, maka seseorang di sebut sempurnah tauhîdnya.[28]
Secara
sederhana, konsep kesempurnaan
tauhîd menurut Ba’asyir adalah apabila seseorang telah benar-benar telah tasdiq atau percaya akan kebenaran aturan hidup dari Allah dan
rosulNya. Selain itu ia harus benar-benar mematuhi. Aturan kebenaran (syariat
Allah/hukum Allah) tersebut
tidak cukup hanya di yakini dan patuhi, tetapi yang lebih penting juga adalah
dilaksanakan.
Terkait
tauhîd, Abu Bakar Ba’asyir juga menjelaskan bahwa setiap manusia yang lahir
dimuka bumi, pasti dalam keadaan tauhîd. Hal ini didasarkan pada firman Allah: ―Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Qs. Al A’raf:
172).
Dalam
masalah ibadah, Ba’asyir menyatakan saat ini banyak orang terjebak bahwa
pelaksanaan ibadah bukan hanya sebatas melaksanakan solat, puasa, zakat dan
haji, akan tetapi ibadah yang sesungguhnya adalah pengamalan syariat Islam.
Menurutnya, tujuan diciptakannya manusia dan jin adalah untuk mengmalkan
syariat secara kaffah (utuh) dengan
hanya mengharap ridha Allah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah, 2:208).
Bagi
Ba’asyir, pengamalan syariat yang hanya “secuil” atau sepotog-potong akan
menyebabkan umat terjerumus kehinaan hidup.[29]
Penolakan
pengamalan dan membantah syariat Islam dapat menyebabkan kemusyrikan umat
Muslim. Pendapat Ba’asyir ini didasarkan pada firman Allah:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya mereka telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab, 33 :36).
Ba’asyir
memaparkan bahwa syariat Islam diturunkan untuk semua umat manusia. Mulai dari
seorang pemimpin hingga rakyatnya. Ia mendasarkan paparannya dengan ayat-ayat
al-Qur’an. Seperti anjuran penegakan syariat bagi pada pemimpin yang didasarkan
pada ayat:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (syari’at Islam), dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orong yang fasik.” (Qs. Al-Maidah, 5 : 49).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu (syari’at Islam), dan janganlah kamu
menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.” (Qs. An-Nisaa', 4:105).
Sedangkan kewajiban pengamalan syariat bagi
rakyat didasarkan atas ayat:
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya
mereka telah sesat, kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab, 33:36).
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin,
bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara
mereka ialah ucapan ‘kami mendengar dan kami patuh’. Dan
mereka itulah orong-orang yang beruntung.” (Qs.An-Nur, 24:51).
Ba’asyir juga memberi maklumat jika saja umat
tidak menerapkan syariat Islam secara utuh maka akan terjadi musibah. Seperti,
kerusakan moral di kalangan pemimpin maupun masyarakat; kesempitan hidup lahir
dan batin; terjadinya pertengkaran dan perselisihan antara pemimpin.[30]
Ditinjau dari segi dakwah, Abu Bakar
Ba’asyir sangat memperhatikan permasalahan tauhîd. Ia menyeru agar semua elemen
umat Islam untuk menjalankan tauhîd dengan sebenar-benarnya. Penulis membaca
bahwa titik tekan dakwah Abu Bakar Ba’asyir adalah pengamalan dari keyakinan tauhîd rubûbiyah, asmâ wa sifat dan ulûhiyah.
Dari segi penyampaian gagasan
dakwahnya, Abu Bakar Ba’asyir memang cukup tegas dan lantang. Terutama dalam
hal tegaknya syariat Islam. Ia memberikan gambaran keburukan yang akan diderita
oleh siapa yang tidak menegakkan syariat Islam. Oleh karenanya, umat wajib
menegakkan syariat, bahkan harus berjihad untuknya. Menurutnya, mendakwahkan
Agama Islam wajib hukumnya bagi umatnya. Dakwah bisa dilakukan dengan
ceramah-ceramah, tabligh dan melalui media. Semua itu dimaksudkan demi tegaknya
syariat Islam
C. Pemikiran Radikal Abu Bakar Ba’asyir
Kesan radikal yang dialamatkan pada
Abu Bakar Ba’asyir didasarkan pendiriannya yang teguh untuk menegakkan syariat
Islam di Indonesia. Bersama rekan-rekannya di Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Jamaah Ansorut Tauhîd JAT) dan
juga melalui Pesantren Al-Mukmin, ia menyampaikan dakwah untuk menegakkan
syariat Islam. Bahkan demi tegaknya hal tersebut, ia menyeru untuk jihad.
Kemudian muncullah dugaan bahwa Abu Bakar Ba’asyir terlibat dengan kasus teror
di Indonesia.
Tentu saja Ba’asyir punya segudang
alasan yang mendasari pemilihan syariat Islam untuk dijadikan aturan kehidupan
dan bernegara. Diantara banyak faktor, yang paling penting, bahwa pemikiran
penegakkan syariat Islam oleh Ba’asyir didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.
Keduanya adalah pedoman hidup seorang Muslim. Selain itu, ia ingin melepaskan
“kekacauan” yang memimpa Indonesia, yakni dengan penegakan syariat Islam.
Menurutnya negara Indonesia bisa rusak karena menerapkan sistem kafir, yakni
Demokrasi.[31]
Gerakan radikal Islam tidak hanya
tumbuh di Indonesia. Sebagaimana yang penulis ulas di atas, bahwa gerakan ini
juga lahir dan berkembang di timur tengah (Ihwanul Muslimin di Mesir, Jamaat
Islam di Pakistan; Hizbullah di Lebanon). Pengaruh mereka juga merabah pada
ideologi. Demikian seperti yang terlihat pada pemikiran Abu Bakar Ba’asyir.
Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir sangat dipengaruhi oleh gagasan Sayyid Qutb
tentang jihad secara global dan radikal. Selain itu, Abu Bakar Ba’asyir juga
menerapkan strategi usrah[32]
yang menjadi khas Ikhwanul Muslimin.[33]
Pengaruh pemikiran ini dapat terlihat
dari, pertama, seruan menegakkan syariat Islam sekalipun dengan cara jihad.
Kedua, jaringan yang dibangun oleh Abu Bakar Ba’asyir untuk kepentingan
menegakkan syariat juga sangat kuat. Bagaimana tidak, seorang yang sudah
menjadi tersangka dapat mengelabuhi aparat hukum dan ngabur ke Malaysia pada 1985. Bahkan di negeri Jiran itu, ia
mendapat tempat untuk hidup.
Selain itu, pemikiran Abu Bakar
Ba’asyir dianggap radikal terkait dengan kasus teror yang menyeret namanya. Ia
dituduh sebagai bagian dari Jamaah Islamiyah (JI). JI dianggap sebagai
organisasi di bawah Al-Qaedah. JI juga merupakan organisasi lintas negara.
Hubungan Abu Bakar Ba’asyir dengan JI didasari bahwa pendiri JI di Indonesia
adalah Abdullah Sungkar. Meski demikian, Abu Bakar Ba’asyir mengaku tidak
tergabung dalam JI.[34]
Penutup
Pada
bagian akhir dari tulisan ini, penulis akan memaparkan bagaimana pengaruh Abu
Bakar Ba’asyir dalam dakwah penegakan syariat Islam, serta keterlibatannya dan
pesantren al-Mukmin dalam kasus teror yang terjadi di Indonesia.
Pertama,
pengaruh Abu Bakar Ba’asyir dalam penegakan syariat Islam sangat kuat. Ia
merupakan eksponen dan tokoh yang tidak sedikit pengikutnya. Dakwah yang di
tekankan adalah kesempurnaan bertauhid dan pengamalan syariat Islam secara
utuh. Ia tidak segan-segan menyebut orang murtad apabila ia tidak mengamalkan
syariat Islam. Dakwah seperti ini menimbulkan kesan bahwa ia seorang Muslim
garis keras.
Kedua,
terkait teror yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia, ternyata menyeret
nama pesantren. Yakni pesantren al-Mukmin, Ngruki, Solo. Tidak ada bukti yang
secara outentik menunjukkan bahwa
pesantren tersebut adalah sarang teroris. Memang, para pelaku aksi teror yang
terjadi adalah alumnus pesantren Al-Mukmin. Tetapi, al-Mukmin tidak mengajarkan
teror. Terkait tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada Abu bakar Ba’asyir
juga belum didapat fakta nyata. Hal ini didasarkan bahwa penahanan Abu Bakar
Ba’asyir adalah atas pelanggaran imigrasi, bukan terorisme. Dan yang penting
untuk dicatat, jika Ba’asyir benar terbukti dalam beberapa kasus teror, mengapa
polisi hanya memvonis penjara dan tidak menjatuhkan hukuman mati.
Pembahasan
mengenai radikalisme dan terorisme tentu masih sangat hangat untuk dibahas.
Penulis menyarankan adanya penelitian lebih lanjut mengenai radikalisme dan
terorisme. Apalagi, aksi teror ini kerap terjadi saat situasi politik sedang
goyah. Perlu ada pembacaan terkait fenomena tersebut.
Daftar
Pustaka
Baizar
Amrullah, Upaya Majelis Mujahiddin Memformulasikan Syariat Islam dalam Lembaga
Negara, (Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009)
Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia,
(Jakarta: Lipi Press, 2005)
Eko
Prasetyo, Membela Agama Tuhan, Potret
Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, (Yogyakarta: Insist Press,
2002)
A.M.
Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis
Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: Kompas, 2009)
Irfan
Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu
Bakar Ba’asyir, (Yogyakarta: Wihda Press, 2003)
Mujibburrahman,
MengIndonesiakan Islam, Representasi dan ideologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008)
Ridwan al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal
di Masjid, Studi Kasus Jakarta dan Solo, (Jakarta: Center for the Studi of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010)
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011)
http://www.time.com/time/magazine/article
http://id.wikipedia.org
http://www.rimanews.com
http://wildan71.wordpress.com
http://www.almukmin-ngruki.com
http://www.voaindonesia.com
http://news.detik.com
http://syiahali.wordpress.com
http://dakwah.info
[1] Afadhal
dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 2
[2] Ridwan
al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Jakarta
dan Solo, (Jakarta: Center for the Studi of Religion and Culture (CSRC) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010), h. 53
[3]
http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1963506,00.html.
“Under Fire”, wawancara Majalah Time dengan Abu Bakar Ba’asyir. Di unduh pada
19 April 2013
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Ba’asyir.
Di unduh pada 19 April 2013
[5] Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan, Potret Gerakan Islam
dalam Pusaran Konflik Global, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), h. 123
[6] Tesis ini dibenarkan oleh Sidney
Jones, ia mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul “al-Qaidah in South Asia
the Case of the Ngruki Network in Indonesia”, bahwa Abu Bakar Ba’asyir memiliki
kontak dengan biang aksi teror yang terjadi di Asia Tenggara.
Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 134-137.
[7] A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi,
Islam, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 26
[8] Wahidin
Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 3
[9] Wahidin
Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 244-254
[10] http://www.rimanews.com/read/20120217/54672/kemenag-imbau-fpi-rubah-model-dakwah-radikal.
di unduh pada 25 April 2013.
[11] Afadhal
dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 105
[12] Ridwan
al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Jakarta
dan Solo, (Jakarta: Center for the Studi of Religion and Culture (CSRC) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010), h, 20-22
[13] Ridwan
al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Jakarta
dan Solo, h. 33
[14] Tidak sedikit cendekiawan muslim
Indonesia yang mencoba mendefinisikan istilah fundamentalisme,
terutama fundamentalisme
Islam.
Menurut Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip Mujiburrahman, fundamentalisme Islam adalah sebuah kelompok yang
muncul sebagai upaya gerakan pembaharu, respon terhadap kaum modernis, reaksi
terhadap westernisasi dan keyakinan terhadap islam sebagai ideologi alternative.
Lihat: Mujibburrahman,
MengIndonesiakan Islam, Representasi dan ideologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008) hlm 5-6
[15] Afadhal
dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 5
[16] Afadhal
dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 133
[17] Muhammad
Wildan, Pondok
Ngruki Dan Radikalisme Agama Di Indonesia, diunduh dari: http://wildan71.wordpress.com/2010/09/26/pondok-ngruki-dan-radikalisme-agama-di-indonesia/.
pada 17 April 2012
[18] Di unduh dari situs resmi
pesantren Al-Mukmin pada 26 April 2013: http://www.almukmin-ngruki.com.
[19] Muhammad
Wildan, Pondok
Ngruki Dan Radikalisme Agama Di Indonesia, diunduh dari: http://wildan71.wordpress.com/2010/09/26/pondok-ngruki-dan-radikalisme-agama-di-indonesia/.
pada 17 April 2012
[20] Afadhal
dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 153
[21] Afadhal
dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 135
[22] Khittah Pendidikan Pesantren
Al-Mukmin. Di unduh dari situs resmi pesantren Al-Mukmin pada 26 April 2013: http://www.almukmin-ngruki.com.
[23] Afadhal
dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 138
[24] http://www.voaindonesia.com/content/pondok-pesantren-ngruki-enggan-dikaitkan-dengan-terorisme/1512140.html.
diunduh pada 26 April 2013
[26] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir,
(Yogyakarta: Wihda Press, 2003), h. 8
[27] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h.
33
[28] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h.
39
[29] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h. 40. Lihat: Baizar Amrullah, Upaya
Majelis Mujahiddin Memformulasikan Syariat Islam dalam Lembaga Negara, (Skripsi
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009), h. 29
[30] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h. 42
[32] Jika dimaknai secara literal,
usrah berasal dari bahawa Arab yang berarti keluarga. Menurut Hasan al-Banna, Usrah merupakan kaidah asas dalam binaan
dakwah. Dalam hal ini dakwah bagi Ikhwanul Muslimin. Al-Banna berkata “Wahai
Ikhwan sekalian, sistem ini amat berguna untuk kita dan dakwah ini dengan izin
Allah SWT. Ia berfungsi untuk mengontrol ikhwan yang ikhlas dan menjadikan
mereka berada dalam suasana mudah dihubungi dan menerima arahan dari masa ke
semasa untuk kepentingan dakwah yang mulia ini. Ia akan menguatkan ikatan dan
meningkatkan ukhuwah satu sama lain dari tahap kata-kata (teori) ke tahap
perbuatan dan praktikal (pelaksanaan)”. Diunduh sari situs: http://dakwah.info/fikrah-dakwah/usrah-adalah-qaedah-asas-dalam-struktur-dakwah-kita/.
Pada 30 April 2013
[33] Greg Fealy-Anthony Bubalo,
Joining the Caravan, The Midle East, Islamism and Indonesia”, pent Muzakki,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 129
[34] http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Ba'asyir.
di unduh pada 30 April 2013