Oleh: Ali Thaufan DS (Peneliti
Parameter Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi
Indonesia)
Sesaat setelah pendaftaran calon
anggota legislatif, publik dapat dengan mudah mengetahui kader-kader yang
dicalonkan partai politik. Dua puluh (20) parpol telah mencalonkan kader-kader
yang menurut mereka terbaik. Ada hal yang sedikit mengagetkan, perpindahan
kader dari parpol satu ke parpol lain. Fenomena ini hampir terjadi disemua
parpol. Ada kader datang, ada pula kader pergi.
Di era “kebrutalan” politik kita,
sekat-sekat ideologi partai politik mulai terkikis dengan sendirinya. Nuansa
pertarungan ideologi politik Indonesia kini tidak sekeras fase awal
kemerdekaan. Saat ini, ideologi Islam mengalami pertentangan keras dengan
komunis dan ideologi-ideologi lainnya. Fase ini seolah berakhir setelah
Presiden Suharto mengambil kebijakan fusi parpol. Ideologi Islam disatukan
dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ideologi Marhein menjadi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI) dan ideologi nasionalis-kekaryaan dihimpun
dalam wadah Golongan Karya (Golkar). Golkar juga menyediakan kanal-kanal bagi cendekiawan
muslim (tokoh-tokoh agama Islam) dengan membentuk lembaga sayap partai berbasis
Islam untuk menguatkan posisi Golkar pada pemilih muslim.
Puncak meleburnya sekat ideologi
politik adalah ketika Pemerintah Suharto menerapkan kebijakan asas tunggal
Pancasila. Semua organisasi sosial politik harus tunduk dan mengadopsi ideologi
Pancasila. Meski sekat ideologi politik telah disatukan oleh Presiden Suharto
melalui ideologi Pancasila, namun pertentangan itu belum berakhir. Setelah
Presiden Suharto berhenti dari jabatan, ideologi partai politik bersemi
kembali. Pada 1999, muncul banyak sekali parpol dengan beragam ideologi.
Ideologi parpol adalah bagian
terpenting parpol karena menjadi pelita dalam pengkaderan dan mengambil
kebijakan. Tanpa ideologi, perjalanan parpol akan mengalami kebutaan, berjalan
tanpa arah. Ibarat sebuah makanan, ideologi adalah garam atau bumbu, demikian
menurut Firmanzah (2008:83).
Pada dekade kedua pascareformasi,
ideologi politik masih belum terinstitusionalisasi dengan baik di internal
parpol. Hal ini setidaknya terlihat dari sikap dan pandangan politik parpol
dalam mengambil sebuah keputusan (sebagai legislatif maupun eksekutif).
Fenomena maraknya kader lompat parpol juga menunjukkan bahwa ideologi politik
nilai-nilai luhur parpol belum menjadi dasar pijakan kader untuk mengabdi
melalui parpol. Kader sering memanfaatkan parpol sebagai alat, dan begitu
sebaliknya: parpol hanya memanfaatkan kader-kadernya untuk meraup suara. Ini
terlihat jelas ketika misalnya parpol berlomba-lomba merekrut kader dari
kalangan artis sebagai strategi mendongkrak elektabilitas di Pemilu.
Ridho Imawan (Kompas, 2018:6) melihat
bahwa orientasi ideologis parpol bukan menjadi dasar perekrutan kader. Semua
orang bisa masuk dalam sebuah parpol asalnya telah memenuhi persyaratan yang
diundangkan. Adanya beberapa kesamaan dan kemiripan visi-misi parpol membuat
kader-kader seolah ringan langkah untuk berpindah dari satu parpol ke lain
parpol. Kondisi seperti ini sebetulnya tidak membutuhkan multipartai. Itulah
sebabnya muncul diskursus untuk memperkecil jumlah parpol di Indonesia, meski
hal ini sebetulnya bertentangan dengan prinsip kebebasan politik demokrasi.
Menjelang Pemilu 2019, fenomeda kader
lompat parpol terjadi kembali, terulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Okky
Asokawati misalnya, dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berasas Islam
pindah ke Nasional Demokrat (Nasdem) yang berasas Pancasila. Lucky Hakim,
seorang artis dan politisi Partai Amanat Nasional (PAN), partai berbasis
pemilih muslim, pindah ke Nasdem. Bahkan berhembus isu bahwa kepindahan Lucky
akibat konflik dirinya dengan elit PAN dan adanya aliran dana ke dirinya agar
mau pindah. Tokoh yang cukup menyita perhatian adalah Yusuf Supendi. Ia adalah
pendiri Partai Keadilan (yang kemudian berubah Partai Keadilan Sejahtera) yang
dipecat dari PKS. Pada Pemilu 2014, Yusuf bergabung ke Partai Hati Nurani
Rakyat, dan jelang Pemilu 2019, berpindah kembali ke Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP).
Pilihan pindah parpol bukan tanpa
alasan. Ketidakcocokan dengan elit berkuasa di parpol bisa menjadi alasan
utama. Faktor lain juga akibat ajakan dari rekan sesama politisi yang berbeda
parpol. Tentu saja ini cara yang instans bagi parpol dalam upaya meraup
sebanyak-banyaknya suara dan memenuhi parliementary threshold (ambang batas
parlemen). Terlebih, ambang batas parlemen untuk Pemilu 2019 ditetapkan cukup
tinggi, sebesar 4 persen. Jika suara parpol tidak sampai pada batas minimal 4
persen dari total suara sah nasional, maka parpol yang bersangkutan akan gagal
masuk DPR RI.
Fenomena kader lompat parpol jelang
Pemilu 2019 telah meruntuhkan sekat-sekat ideologi. Terlebih, migrasi dilakukan
oleh kader parpol Islam ke parpol nasionalis, begitu juga sebaliknya. Rekrutmen
caleg dari kader-kader lintas parpol memiliki kecenderungan untuk peningkatan
elektabilitas semata. Penataan regulasi tentang keanggotaan parpol perlu
pembenahan. Jika fenomena ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi
parpol: parpol akan mengarah pada oligaki ketimbang meritokrasi.