Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
(Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Setelah resmi ditetapkan sebagai
peserta Pemilihan Umum 2019, Partai Bulan Bintang (PBB) percaya diri mengusung
ketua umumnya, Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden ataupun calon wakil
presiden. Hal ini menjadi hasil keputusan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas)
parpol berlambang bulan sabit dan bintang tersebut. Oleh karenanya, PBB akan
intens menjalin komunikasi dengan parpol lain untuk membentuk koalisi.
Pencalonan Yusril sebagai capres
maupun cawapres bukan hal yang mengagetkan. Pasalnya, dalam tradisi politik
Indonesia, pencapresan diikuti oleh ketua umum parpol. Menjelang Pemilu 2019,
beberapa ketum parpol dicalonkan oleh partainya baik sebagai capres maupun
cawapres. Sebut saya Muhaimin Iskandar (Ketum PKB), Zulkifli Hasan (Ketum PAN),
dan Romahurmuzy (Ketum PPP).
Rencana pencalonan Yusril untuk
pilpres 2019 merupakan kali kedua baginya. Menjelang Pemilu 1999, Yusril juga
dikabarkan akan mencalonkan diri. Semua persyaratan telah ia penuhi. Namun,
pencalonannya kala itu, menurut pengakuannya digagalkan oleh Amin Rais (yang
saat itu menjadi Ketua MPR sekaligus Ketum PAN). Yusril menganggap Amin Rais
melakukan "dusta" dalam pemilihan presiden melalui sidang MPR.
Menurutnya, seharusnya saat itu hanya dirinya yang menjadi capres tunggal
karena Abdurahman Wahid dan Megawati terlambat mendaftarkan diri.
Pada Pilpres 2014 silam, Yusril
juga sempat diusung oleh PBB. Namanya sempat diajukan untuk berpasangan dengan
Jokowi. Jelang Pemilu 2014 lalu bahkan sempat terbentuk "Forum Rakyat
Laskar Jokowi-Yusril untuk Indonesia" untuk mendukung duet Jokowi-Yusril.
Namun, pencalonan baik sebagai capres atau cawapres kandas. Dan lebih menyedihkan
lagi, PBB tidak lolos ambang batas parlemen (DPR RI). Artinya PBB tidak mampu
menempatkan kadernya di DPR RI.
Menghadapi Pilpres 2019, Yusril
merasa percaya diri. Ia menyatakan kesiapannya jika berpasangan (sebagai
cawapres) dengan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Bahkan ia yang selama ini
kerap mengkritik kebijakan pemerintah juga bersedia berpasangan dengan Presiden
Joko Widodo. Akan tetapi, Yusril memberi syarat bahwa Jokowi harus jadi
cawapresnya.
Sebagai Ketum PBB, Yusril
mengasosiasikan PBB sebagai kelanjutan dari Partai Masyumi, parpol yang pernah
berjaya di era Orde Lama sebelum akhirnya dibubarkan pemerintah. Bagi PBB, visi
dan misinya adalah mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
bernegara. Dengan mengusung visi dan misi tersebut, Yusril berharap partainya
meraih banyak suara dan lolos parliamentary threshold (lolos ambang batas) yang
disyaratkan Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebesar 4 (empat)
persen.
Menguatnya politik identitas
(politik atas nama agama) menjadi peluang tersendiri bagi PBB. Pasca
dibekukannya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah karena
bertentangan dengan asas Pancasila, mantan anggota HTI diberi kesempatan untuk
bergabung dengan PBB. Hal ini tidak mengagetkan karena selama HTI berhadapan
dengan persoalan hukum menyangkut statusnya, Yusril aktif memberi bantuan
hukum. Bergabungnya mantan anggota HTI menjadi modal Yusril untuk melangkah
pada pencapresan.
Meskipun Yusril membuka
partainya bagi mantan anggota HTI, bukan berarti tanpa alang melintang. Yusril
harus berebut mantan anggota HTI dengan parpol Islam lain (terutama PKS dan
PAN). Selain itu, ajakan Yusril kepada mantan anggota HTI juga mendapat
resistensi dari sebagian kelompok Islam lain.
Pencalonan Yusril untuk 2019
bukan hal mudah. Pasalnya, pada periode 2014-2019 PBB tidak memiliki kursi di
DPR RI. Praktis, Yusril tak punya daya tawar dalam membangun koalisi
pencapresan karena syarat pencapresan adalah capres diusung parpol atau
gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI dan atau 25 persen
suara berdasarkan Pemilu 2014. Dengan aturan ini, peluang Yusril terlalu berat
dan sulit.
Munculnya gagasan untuk
berkoalisi dengan Gerindra, PKS dan PAN ternyata juga memunculkan problem
sendiri bagi Yusril. Wacana PAN yang memunculkan empat orangbkadernya termasuk
Amin Rais sebagai capres atau cawapres, membuat Yusril tidak nyaman jika
bergabung dengan koalisi tersebut. Hal ini disebabkan luka lama Yusril akibat
perilaku Amin yang dianggap Yusril merugikan dirinya.
Jika ingin melakukan perhitungan
politik secara rasional, seharusnya Yusril berfokus memperjuangkan PBB untuk
lolos DPR RI. Tentu saja cara ini dilakukan dengan meraih sebanyak-banyaknya
suara pemilih. Meraih suara pemilih tidak selalu dengan mencalonkan ketum
parpol sebagai capres atau cawapres. Ini terbukti dalam Pemilu 2014 lalu,
PDI-Perjuangan meraih suara terbanyak tanpa mencapreskan Megawati (ketumnya).
Sosok figur ternyata berpengaruh besar bagi elektabilitas parpol. Mampukah
Yusril melakukan hal tersebut?