Oleh: Ali Thaufan Dwi
Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)
Ada sekian banyak orang
memberi kritik baik kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Anies Baswedan
(Gubernur DKI Jakarta), tetapi pemberi kritik harus berhadapan dengan “nyinyiran”
dan cibiran orang-orang yang terlampau fanatik terhadap orang nomor satu di RI
dan Jakarta itu. Kondisi ini menunjukkan demokrasi kita tidak sehat.
Pemilihan presiden 2014 dan
Pilkada Jakarta 2017 lalu ternyata menyisahkan bermacam luka hati disebagian
kalangan. Para pendukung pasangan calon yang kalah masih belum bisa, menggunakan
istilah kekinian “move on”, atau
dalam pelafalan diucapkan “mup on”. Meski
demikian, ada pula orang yang sudah bisa melupakan kekalahan paslon yang
didukung. Untuk mendapatkan informasi move
on atau tidaknya, kita bisa melihat di beranda media sosial rekan dan teman
yang terlibat total di kampanye Pilpres dan Pilkada Jakarta lalu.
Dalam konteks kehidupan
beragama, pemikir Muslim Abu Ala al-Maududi mengulas secara mendalam sikap
fanatisme selalu berujung pertikaian. Fanatisme kesukuan yang terjadi di padang
pasir Arab era kesultanan (kekhalifahan dulu), menurut Maududi menjadi biang
kemunduran Islam. Akibat pertikaian yang disebabkan fanatisme itu, wilayah
kekuasaan Islam mulai terpecah-pecah (Maududi, 96:42).
Apa sebab fanatisme ini?
Ahmad Shidqi menjelaskan fanatisme muncul akibat hilangnya rasa confident dan rasionalitas dalam diri
seseorang. Biasanya, fanatisme itu tumbuh dan berkembang akibat problem ekonomi
yang melanda seseorang serta kekalahan bersaing dengan modernitas dan
globalisasi. Lahirnya globalisasi memberi konsekuensi adanya jurang disparitas
ekonomi yang besar. Globalisasi telah menciptakan orang kaya dengan kekayaan “selangit”
dan pada saat yang sama menciptakan orang miskin dengan kemiskinan “hingga
dasar laut”.
Dalam kondisi ini, beberapa
pemeluk agama, adat dan kebudayaan menghadapi dilema. Di tengah dilema ini,
muncul anggapan bahwa modernitas atau bahkan globalisasi adalah ancaman. Pada titik
ini lahirlah fanatisme (Shidqi: 44). Mereka anti terhadap kritik akibat dogma “psudo”
yang merasuki otaknya. Fanatisme ini juga kerap muncul akibat menguatnya “politik
identitas”. Model ini telah membuat pemilih bersikap irasional karena basis
pemilihan lebih didasarkan atas kesamaan, suku, budaya dan agama, dan menafikan
kapasitas actor politik.
Sumanto Al-Qurtubi dalam
kolom Opini di sebuah media berita online menulis bahwa pengalaman Pilkada serentak
2015 dan 2017 telah secara nyata memunculkan fanatisme di lapisan masyarakat,
baik masyarakat religius maupun sekular. Menurut Qurtubi fanatisme ini muncul
akibat orang lebih senang belajar instan, tidak mendalam. Informasi yang
diterima ditelan mentah-mentah tanpa ada proses apa yang disebut dalam istilah
Islam sebagai tabayun. Mereka yang
sudah memperoleh informasi melalui cara-cara instan menganggap informasinya
paling benar dan menjadi legitimasi melakukan tindakan. Cara pikir mereka “mengeras”
dan tidak membuka ruang berdebat (diskusi), sehingga menjadi anti kritik.
Jika fanatisme dan sikap
anti kritik ini terus dipelihara, menjangkiti pejabat dan para pendukungnya,
maka bahaya perpecahan sangat mungkin terjadi. Dalam dua tahun mendatang 2018
dan 2019 Indonesia kembali menghadapi momentum pemilihan kepala daerah dan
Pemilu serentak Pilpres dan Pileg. Bahaya fanatisme akibat momentum politik
sebelumnya (Pilkada 2015 dan 2017) terus membayangi ke depan. Setiap pihak
sebaiknya terbuka terhadap ruang dialog dan tidak terjebak jurang fanatisme.