Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumnus
Pascasarjana UIN Jakarta)
Sederet nama-nama politisi tersangkut dalam
kasus korupsi KTP elektronik (E-KTP). Mereka
diduga menikmati rupiah dan merugikan keuangan negara hingga Rp. 2,3 triliun
dari total nilai proyek sebesar Rp. 5,9 triliun. Dalam sidang yang digelar 9
maret 2017 itu, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat
dakwaan atas nama Irman dan Sugiarto. Hasilnya cukup mengejutkan karena sangat
banyak politisi, anggota DPR dan pejabat kementerian yang namanya disebut
menerima dana haram hasil korupsi.
Diantara nama-nama yang disebut menerima duit
hasil korupsi itu adalah: Yassona Laoli, Ganjar Pranowo, Olly Dondokambey (dari
PDI-Perjuangan); Anas Urbaningrum dan Marzuki Ali (dari Partai Demokrat);
Jazuli Juwaini (dari PKS); Abdul Malik Haramain (dari PKB); Teguh Juwarno (dari
PAN; Nukman Abdul Hakim (dari PPP); Ade Komaruddin dan Macias Marchus Mekeng
(dari Partai Golkar); serta Gamawan Fauzi (mantan Menteri Dalam Negeri). Tidak hanya
nama-nama tersebut, kasus ini juga menyebut keterlibatan ketua DPR RI, Setya
Novanto. Dalam surat dakwaan, ketua DPR itu diduga jatah uang sebesar Rp. 574
miliar bersama dengan Andi Narogong (penyedia jasa/barang di Kemendagri saat
itu). Uang korupsi itu diduga juga masuk ke rekening beberapa parpol.
Dilihat dari nama-nama tersebut di atas, kasus
korupsi ini menyebutkan mantan ketua parpol, ketua parpol, mantan menteri
hingga menteri yang sedang menjabat. Peristiwa ini nyaris mengulang peristiwa
beberapa tahun silam saat Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum pada
tahun 2012, dan PKS, Lutfi Hasan Ishak pada tahun 2013 menjadi tersangka KPK. Penetapan
keduanya berdampak pada menurunnya citra politisi dan parpol di masyarakat.
Munculnya nama-nama politisi dalam kasus E-KTP
ini semakin melengkapi rapot merah para politisi. Dari data yang penulis
dapatkan, untuk anggota DPR periode 2014-2019, sudah ada 7 anggota yang
ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Ini menunjukkan bahwa korupsi
sangat sulit diberantas dan selalu mendekat dengan kekuasaan. Kewenangan anggota
DPR yang demikian besar sangat mungkin menjadi pembuka kesempatan melakukan
tindak pidana korupsi.
Kasus korupsi E-KTP ini menyulut kemarahan
masyarakat. Hingga saat ini, pembuatan E-KTP masih “morat-marit”, padahal KTP
menjadi syarat wajib bagi pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya dalam
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Masyarakat harus menunggu lama proses
pembuatan, bahkan hingga menunggu berbulan-bulan. Dibeberapa daerah, blanko
E-KTP mengalami kekurangan, kehabisan.
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra
menyoroti adanya aliran dana korupsi E-KTP ke beberapa parpol. Dalam tulisannya
di harian Jawa Pos “Membubarkan Parpol Menerima Suap” ia mengemukakan idenya
untuk membubarkan parpol jika parpol tersebut melakukan korupsi. Memang, dalam
hukum pidana yang melibatkan korporasi, korporasi tidak dapat dibubarkan,
tetapi hanya pimpinan korporasi atau yang terlibat kasus yang akan dijatuhi
hukuman. Namun, bagi Yusril, menimbang pembubaran parpol penerima dana korupsi
adalah adalah hal yang baik karena korupsi secara pasti menghancurkan
sendi-sendi bernegara (Jawa Pos 11/3/2017).
Banyaknya kasus korupsi di Indonesia termasuk
E-KTP, sangat merugikan masyarakat. Wibisono Harjopranoto memaparkan bahwa
negara yang masih dipenuhi oleh orang-orang berprilaku korup akan sulit
terlepas dari masalah kesenjangan ekonomi (Koran
Jakarta 20/3/2017).
Masyarakat berharap agar penangganan kasus
korupsi proyek E-KTP ini dapat berjalan secara adil, tidak tebang pilih. Kasus ini
juga menjadi pelajaran penting bagi elit parpol agar ke depan tidak melakukan
pelanggaran yang sama. Perlu diingat, agenda besar Pemilu Serentak 2019
menanti. Elit parpol dan parpol yang korup tidak saja dihakimi di meja hijau,
tapi juga oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar