Oleh: Ali Thaufan DS (Alumnus Pascasarjana UIN
Jakarta)
Awal April 2017 di Indonesia ditandai dengan
“dagelan”perebutan kekuasaan, kursi ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) RI. Sidang paripurna DPD pada Senin 3 April diwarnai ribut dan
terjadi chaos antar anggota Senator
Senayan itu. Ribut sidang paripurna ini menjadi sorotan publik dan bahan
“gunjingan akibat tingkat laku oknum senator. Harian Kompas pada 5 April
menulis sebuah tajuk dengan judul “Dagelan Tidak Lucu” yang menggambarkan
betapa buruknya perilaku yang dipertontongkan oleh anggota DPD yang terlibat
keributan.
Ribut DPD ini sangat mengecewakan publik. Pasalnya, keributan
antara anggota DPD ini hanya bermula pada silang pendapat mengenai tata tertib
DPD yang mengatur masa jabatan ketua DPD. Hasilnya, Oesman Sapta Odang dipilih
secara aklamasi sebagai ketua baru DPD dan dilantik oleh pejabat Mahkamah Agung
(MA). Meski demikian, terpilihnya Oesman masih menjadi polemik karena pemilihan
dan pelantikannya pun tidak memenuhi kuorum anggota DPD yang hadir.
Terdapat ekses buruk bagi lembaga negara lainnya atas
keributan yang terjadi di DPD: ketidakpercayaan publik pada lembaga perwakilan.
Keributan yang terjadi di DPD ini semakin memperburuk citra para wakil daerah.
Sebelumnya, pucuk tertinggi DPD, Irman Gusman juga terjerat kasus suap gula
impor. Belakangan, DPD yang mulanya dibentuk sebagai perwakilan daerah perlahan
dipenuhi oleh kader-kader partai politik, termasuk Oesman yang menjabat ketua
umum Partai Hanura.
Sebagai sebuah lembaga negara, DPD menjadi amanat
Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan ketiga pada 2001. Pembentukan DPD
sejalan dengan agenda reformasi 1998 yang membuka ruang lebar bagi Pemerintah
Daerah untuk “berkuasa penuh” atas daerahnya, desentralisasi. Diantara hak DPD
adalah: mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi
daerah dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan Pemerintah Pusat dengan
Daerah, dan membahas RUU tentang otonomi daerah. Sedangkan fungsi DPD, Markus
Gunawan (2008: 123) mencatat sebagai berikut: “pengajuan usul, ikut dalam
pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi
tertentu, dan pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu”.
Kewenangan yang dimiliki DPD memang tidak terlalu
besar. Dalam hal pembahasan UU misalnya, DPD hanya terlibat dalam pembahasan
dan memberi petimbangan tanpa mengambil keputusan. Saldi Isra dalam kolom opini
harian Kompas menyebut DPD dalam “posisi yang serba tanggung dalam disain
lembaga perwakilan” (Kompas 5/4/2017).
Persepsi publik terhadap lembaga perwakilan DPR, DPD
hingga DPRD provinsi dan Kabupaten/Kota cenderung negatif. Bisa dilihat dari
berbagai survei publik. Pada 2008 lalu, Fatimah dan Mail Sukribo (2008: 28) menulis
buku DPR Uncensored yang didalamnya
memaparkan ketidakpuasa publik terhadap kinerja lembaga DPR. Terbaru, Global
Corruption Barometer bahkan menempatkan lembaga DPR termasuk institusi terkorup
pada 2016. DPR selalu menjadi “bulan-bulanan” media massa sehingga persepsi
buruknya sulit dilepaskan meski ada banyak yang dilakukan DPR demi kebaikan
rakyat.
Implikasi ketidakpercayaan ini bisa dilihat paling
tidak dari animo publik dan partisipasinya dalam Pemilu. Tidak mengherankan
jika dalam gelaran Pemilu terdapat daerah-daerah yang sepi pemilih. Ekspektasi
terhadap legislator dan senator tidak berbanding lurus dengan kinerjanya saat
duduk di Senayan.
DPD harus segera menyudahi polemik kepemimpinan dalam
lembaga agar publik tak tertawa diperlihatkan perilaku wakilnya. Masing-masing
pihak yang berseteru dapat duduk kembali, bermusyawarah menemukan titik temu
dan memecah masalah. Mereka harus menghilangkan ego dan gengsi jabatan demi
kebaikan bersama. Perlu diingat bahwa rakyat melihat para wakilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar