Kamis, 06 April 2017

Dewan Perwakilan Daerah yang Mengecewakan

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Awal April 2017 di Indonesia ditandai dengan “dagelan”perebutan kekuasaan, kursi ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sidang paripurna DPD pada Senin 3 April diwarnai ribut dan terjadi chaos antar anggota Senator Senayan itu. Ribut sidang paripurna ini menjadi sorotan publik dan bahan “gunjingan akibat tingkat laku oknum senator. Harian Kompas pada 5 April menulis sebuah tajuk dengan judul “Dagelan Tidak Lucu” yang menggambarkan betapa buruknya perilaku yang dipertontongkan oleh anggota DPD yang terlibat keributan.

Ribut DPD ini sangat mengecewakan publik. Pasalnya, keributan antara anggota DPD ini hanya bermula pada silang pendapat mengenai tata tertib DPD yang mengatur masa jabatan ketua DPD. Hasilnya, Oesman Sapta Odang dipilih secara aklamasi sebagai ketua baru DPD dan dilantik oleh pejabat Mahkamah Agung (MA). Meski demikian, terpilihnya Oesman masih menjadi polemik karena pemilihan dan pelantikannya pun tidak memenuhi kuorum anggota DPD yang hadir.

Terdapat ekses buruk bagi lembaga negara lainnya atas keributan yang terjadi di DPD: ketidakpercayaan publik pada lembaga perwakilan. Keributan yang terjadi di DPD ini semakin memperburuk citra para wakil daerah. Sebelumnya, pucuk tertinggi DPD, Irman Gusman juga terjerat kasus suap gula impor. Belakangan, DPD yang mulanya dibentuk sebagai perwakilan daerah perlahan dipenuhi oleh kader-kader partai politik, termasuk Oesman yang menjabat ketua umum Partai Hanura.

Sebagai sebuah lembaga negara, DPD menjadi amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan ketiga pada 2001. Pembentukan DPD sejalan dengan agenda reformasi 1998 yang membuka ruang lebar bagi Pemerintah Daerah untuk “berkuasa penuh” atas daerahnya, desentralisasi. Diantara hak DPD adalah: mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, dan membahas RUU tentang otonomi daerah. Sedangkan fungsi DPD, Markus Gunawan (2008: 123) mencatat sebagai berikut: “pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, dan pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu”.

Kewenangan yang dimiliki DPD memang tidak terlalu besar. Dalam hal pembahasan UU misalnya, DPD hanya terlibat dalam pembahasan dan memberi petimbangan tanpa mengambil keputusan. Saldi Isra dalam kolom opini harian Kompas menyebut DPD dalam “posisi yang serba tanggung dalam disain lembaga perwakilan” (Kompas 5/4/2017).

Persepsi publik terhadap lembaga perwakilan DPR, DPD hingga DPRD provinsi dan Kabupaten/Kota cenderung negatif. Bisa dilihat dari berbagai survei publik. Pada 2008 lalu, Fatimah dan Mail Sukribo (2008: 28) menulis buku DPR Uncensored yang didalamnya memaparkan ketidakpuasa publik terhadap kinerja lembaga DPR. Terbaru, Global Corruption Barometer bahkan menempatkan lembaga DPR termasuk institusi terkorup pada 2016. DPR selalu menjadi “bulan-bulanan” media massa sehingga persepsi buruknya sulit dilepaskan meski ada banyak yang dilakukan DPR demi kebaikan rakyat.

Implikasi ketidakpercayaan ini bisa dilihat paling tidak dari animo publik dan partisipasinya dalam Pemilu. Tidak mengherankan jika dalam gelaran Pemilu terdapat daerah-daerah yang sepi pemilih. Ekspektasi terhadap legislator dan senator tidak berbanding lurus dengan kinerjanya saat duduk di Senayan. 


DPD harus segera menyudahi polemik kepemimpinan dalam lembaga agar publik tak tertawa diperlihatkan perilaku wakilnya. Masing-masing pihak yang berseteru dapat duduk kembali, bermusyawarah menemukan titik temu dan memecah masalah. Mereka harus menghilangkan ego dan gengsi jabatan demi kebaikan bersama. Perlu diingat bahwa rakyat melihat para wakilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar