Oleh: Ali Thaufan DS
Rabu, 15 Februari 2017 menjadi hari bersejarah bagi
Indonesia dan beberapa daerah. Hari itu dilangsungkan Pilkada serentak
gelombang II tahun 2017. Sebelumnya, telah dilakukan Pilkada serentak pada
2015. Pilkada serentak 2017 dihelat di 101 daerah, terdiri dari 7 Provinsi, 76
Kabupaten dan 18 Kota. Dari jumlah tersebut, terdapat 310 pasangan calon dan
terdapat 9 daerah dengan calon tunggal. Total anggaran yang dibutuhkan dalam
pesta demokrasi ini sebesar Rp. 4,452 triliun.
Bangsa Indonesia patut berbangga, dalam perhelatan pesta
demokrasi itu berjalan dengan lancar, tertip dan aman. Meski terdapat beberapa
persoalan, tetapi secara umum tidak ada kendala berarti. Kinerja penyelenggara
Pemilu patut diaspresiasi. Total penyelenggara yang terlibat sebanyak 823.099
petugas penyelenggara dari tingkat kecamatan, kelurahan hingga TPS. Demikian
halnya dengan Polri yang telah mengamankan Pilkada sejak mulai tahapan hingga
pemungutan dan penghitungan suara. Total personil yang mengamankan hari H
pencoblosan sebanyak 113.554 personil Polisi, dan 12.854 TNI (Majalah Tempo 19 Februari 2017).
Tidak berselang lama dari hari pemungutan suara, KPU telah
menetapkan hasil real count beberapa
daerah. Tentunya, beberapa daerah sudah mengetahui siapa pemenang Pilkada. Bagi
kepada daerah yang terpilih, keterpilihan mereka ini menjadi semangat baru bagi
pemerintah daerah untuk melanjutkan pembangunan yang telah direncanakan. Kepala
daerah baru harus mampu menjawab tudingan masyarakat bahwa kepala daerah kerap
melakukan korupsi. Dikutip dari situs resmi Kompas.com,
pada tahun 2016 saja, terdapat 10 (sepuluh) kepala daerah tersangkut kasus
korupsi (20/2/2017). Tingginya angka korupsi yang dilakukan kepala daerah dapat
berdampak pada tingginya golput, atau
rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada.
Menjelang tahapan Pilkada 2017 dimulai, publik
dipertontonkan dengan beredarnya berita-berita hoax, berita palsu. Berita itu didesain khusus untuk menjatuhkan
orang-orang tertentu yang akan berkontestasi dalam Pilkada. Peredaran berita
palsu bahkan semakin masif saat memasuki masa kampanye. Masyarakat disuguhkan
berita yang tidak dapat dikonfirmasi sumber dan kebenarannya. Cenderung bohong.
Peredaran berita palsu ini secara langsung mengakibatkan
polarisasi di masyarakat. Masyarakat dengan mudah menjadi “masyarakat
pembenci”, dan menebar kebencian. Media sosial yang mulanya menjadi alat
komunikasi pengguna, seketika saja menjelma menjadi alat menyebar propaganda. Tidak
jarang diantara pengguna medsos akhirnya mengakhiri pertemanan di dunia maya
itu karena terlalu berlebihan merespon berita yang “berseliweran”, tidak mampu
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Masyarakat merasakan ada yang hilang pada saat Pilkada
lalu, yaitu: persatuan. Di berbagai daerah yang meggelar Pilkada, masyarakat
terbelah karena harus menentukan pilihan politik, memilih salah satu pasangan
calon. Hal itu yang mau tidak mau juga membelah persatuan mereka. Dalam sebuah
komunitas bernama “rukun tetangga” sekalipun, perbedaan pilihan selalu ada. Tidak
jarang, perbedaan pilihan ini lah yang memisahkan “sementara” persatuan mereka.
Kini, Pilkada telah selesai. Yang tersisa mungkin kedongkolan
sebagaian pendukung fanatis paslon. Ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh
jika tidak puas dengan hasil Pilkada, yaitu melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi
(MK).
Bagi daerah Pilkada yang secara clear tidak ada gugatan sengketa MK, maka konsolidasi politik lokal
mendesak dilakukan. “Pekerjaan Rumah” yang menuntut segera dilakukan adalah menyatukan
kekuatan politik pasca Pilkada. Yang menang tidak boleh jumawa, dan yang kalah tidak boleh putus asa. Jika niat para paslon
adalah bertekat membangun daerah, maka jabatan kepala daerah bukan satu-satunya
cara. Paslon yang kalah tetap dapat berpartisipasi membangun daerah dengan
pengawasan ketat terhadap jalannya pembangunan. Itulah mengapa pentingnya
persatuan pasca Pilkada.