Kamis, 01 Desember 2016

Setya Novanto, Kembali Mengabdi

Oleh: Ali Thuafan DS

Sepanjang tahun 2016 ini, partai Golkar telah dua kali mengganti kadernya untuk duduk sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada Januari lalu, Ketua DPR Setya Novanto digantikan oleh Ade Komaruddin. Dan menjelang pergantian tahun, Ade Komaruddin digantikan kembali oleh Setnov (Panggilan Setya Novanto).

Sejak terpilihnya Setnov menjadi ketua umum partai Golkar, dinamika politik Indonesia sedikit mengalami perubahan. Bergabungnya Golkar menjadi partai pendukung pemerintah membuat stabilitas politik terutama di parlemen menjadi sedikit “tenang”. Praktis, pendukung pemerintah kini menjadi mayoritas di parlemen.

Menjadi ketua umum Golkar untuk periode 2016-2019 menjadi pekerjaan berat Setnov. Pasalnya, Setnov menanggung peninggalan konflik dualisme partai Golkar yang terjadi sepanjang 2015. Ia harus mampu mengonsolidasikan kader-kader Golkar untuk merebut kejayaan Golkar seperti sedia kala.

Komunikasi politik yang dibangun Setnov cukup berhasil. Konsolidasi internal partai berjalan baik sehinggi pengurus DPP Golkar sepakat menaikkannya lagi menjadi ketua DPR. Beberapa pertemuannya dengan ketua umum parpol lain berjalan mulus. Hal tersebut terbukti saat ia ingin menduduki ketua DPR, semua fraksi parpol di DPR bersepakat mendukungnya. Nyaris tidak ada interupsi dan penolakan. Ini berbeda jauh saat Ade akan dilantik menjadi ketua DPR. Saat itu, selain mendapat penolakan dari parpol lain, Ade juga mendapat penolakan dari partainya sendiri.

Dibalik kembalinya Setnov menjadi ketua DPR tentu terdapat kepentingan yang cukup besar bagi Golkar dan pemerintahan. Golkar yang sudah menyatakan secara tegas dan terbuka akan mendukung Presiden Joko Widodo kembali maju sebagai calon presiden 2019 ingin mengambil posisi strategis, sebagian pengamat menyebut calon wakil presiden. Dalam berbagai pertemuan yang dilakukan Golkar, foto Presiden Jokowi tertampang jelas. Ini menunjukkan komitmen sepenuh hati untuk mendukung Jokowi. Meski demikian harus disadari, bahwa dalam politik segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk membeloknya dukungan Golkar kepada Jokowi.

Kembalinya Setnov menjadi ketua DPR dan posisinya sebagai ketua umum Golkar, menjadi kesempatan bagi Golkar untuk merebut hati rakyat kembali. Setnov harus terlebih dahulu merubah citra dan persepsi masyarakat tentang DPR. Dati Fatimah dan Ismail (2008: 29) melihat masyarakat belum merasa puas dengan kinerja DPR. Sejak reformasi 1998 hingga saat ini, kinerja DPR masih dianggap lemah. Anggota DPR yang terhormat menjadi wakil rakyat menjadi tidak terhormat karena dianggap menjadi wakil partai.


Citra DPR sebagai lembaga yang korup masih dipersikan oleh masyarakat. Anggapan mereka bisa dibenarkan karena terbukti beberapa anggota DPR melakukan korupsi dan menjadi “pesakitan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data Litbang Kompas mencatat, sejak 2003-2015, sudah ada 96 anggota DPR dan DPRD yang menjadi terpidana korupsi di KPK. (Kompas 2/12/2016). Dalam pembuatan Unddang-undang, DPR terkesan ingin membuat UU yang menguntungkan dirinya dan memasung lembaga negara lainnya. Hal ini terbukti saat polemik DPR akan merevisi UU KPK dengan memasukkan pasal-pasal yang dianggap melemahkan KPK.

Setnov yang juga menjadi ketua Golkar dituntut untuk menunjukkan kinerja di DPR secara profesional, tidak bekerja demi kepentingan partai Golkar. Ia harus mendorong fungsi DPR sebagai lembaga legislator, pengawas pemerintah, dan penganggaran agar dilaksanakan dengan baik. Jika kita memaknai “mengabdi” sebagai “menjadi abdi=pelayan, hamba”, maka Setnov adalah abdi DPR. Ia harus memperbaiki citra DPR, dan melayani rakyat bersama seluruh anggota DPR lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar