Sepanjang
tahun 2016 ini, partai Golkar telah dua kali mengganti kadernya untuk duduk
sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada Januari lalu, Ketua DPR Setya
Novanto digantikan oleh Ade Komaruddin. Dan menjelang pergantian tahun, Ade
Komaruddin digantikan kembali oleh Setnov (Panggilan Setya Novanto).
Sejak terpilihnya
Setnov menjadi ketua umum partai Golkar, dinamika politik Indonesia sedikit
mengalami perubahan. Bergabungnya Golkar menjadi partai pendukung pemerintah
membuat stabilitas politik terutama di parlemen menjadi sedikit “tenang”. Praktis,
pendukung pemerintah kini menjadi mayoritas di parlemen.
Menjadi
ketua umum Golkar untuk periode 2016-2019 menjadi pekerjaan berat Setnov. Pasalnya,
Setnov menanggung peninggalan konflik dualisme partai Golkar yang terjadi sepanjang
2015. Ia harus mampu mengonsolidasikan kader-kader Golkar untuk merebut
kejayaan Golkar seperti sedia kala.
Komunikasi
politik yang dibangun Setnov cukup berhasil. Konsolidasi internal partai
berjalan baik sehinggi pengurus DPP Golkar sepakat menaikkannya lagi menjadi
ketua DPR. Beberapa pertemuannya dengan ketua umum parpol lain berjalan mulus. Hal
tersebut terbukti saat ia ingin menduduki ketua DPR, semua fraksi parpol di DPR
bersepakat mendukungnya. Nyaris tidak ada interupsi dan penolakan. Ini berbeda
jauh saat Ade akan dilantik menjadi ketua DPR. Saat itu, selain mendapat
penolakan dari parpol lain, Ade juga mendapat penolakan dari partainya sendiri.
Dibalik
kembalinya Setnov menjadi ketua DPR tentu terdapat kepentingan yang cukup besar
bagi Golkar dan pemerintahan. Golkar yang sudah menyatakan secara tegas dan
terbuka akan mendukung Presiden Joko Widodo kembali maju sebagai calon presiden
2019 ingin mengambil posisi strategis, sebagian pengamat menyebut calon wakil
presiden. Dalam berbagai pertemuan yang dilakukan Golkar, foto Presiden Jokowi
tertampang jelas. Ini menunjukkan komitmen sepenuh hati untuk mendukung Jokowi.
Meski demikian harus disadari, bahwa dalam politik segala kemungkinan bisa
terjadi, termasuk membeloknya dukungan Golkar kepada Jokowi.
Kembalinya
Setnov menjadi ketua DPR dan posisinya sebagai ketua umum Golkar, menjadi
kesempatan bagi Golkar untuk merebut hati rakyat kembali. Setnov harus terlebih
dahulu merubah citra dan persepsi masyarakat tentang DPR. Dati Fatimah dan
Ismail (2008: 29) melihat masyarakat belum merasa puas dengan kinerja DPR. Sejak
reformasi 1998 hingga saat ini, kinerja DPR masih dianggap lemah. Anggota DPR
yang terhormat menjadi wakil rakyat menjadi tidak terhormat karena dianggap
menjadi wakil partai.
Citra DPR sebagai lembaga yang korup masih dipersikan oleh masyarakat. Anggapan mereka bisa dibenarkan karena terbukti beberapa anggota DPR melakukan korupsi dan menjadi “pesakitan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data Litbang Kompas mencatat, sejak 2003-2015, sudah ada 96 anggota DPR dan DPRD yang menjadi terpidana korupsi di KPK. (Kompas 2/12/2016). Dalam pembuatan Unddang-undang, DPR terkesan ingin membuat UU yang menguntungkan dirinya dan memasung lembaga negara lainnya. Hal ini terbukti saat polemik DPR akan merevisi UU KPK dengan memasukkan pasal-pasal yang dianggap melemahkan KPK.
Setnov
yang juga menjadi ketua Golkar dituntut untuk menunjukkan kinerja di DPR secara
profesional, tidak bekerja demi kepentingan partai Golkar. Ia harus mendorong fungsi
DPR sebagai lembaga legislator, pengawas pemerintah, dan penganggaran agar
dilaksanakan dengan baik. Jika kita memaknai “mengabdi” sebagai “menjadi abdi=pelayan,
hamba”, maka Setnov adalah abdi DPR. Ia harus memperbaiki citra DPR, dan melayani
rakyat bersama seluruh anggota DPR lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar